Jumat, 13 Agustus 2010

AL-QURAN DAN AS-SUNNAH RUJUKAN MUSLIM

PRINSIP KE DUA

AL-QURAN DAN AS-SUNNAH RUJUKAN MUSLIM

Mukadimah

Seorang muslim yang telah meyakini kebenaran Islam, ia harus mengembalikan seluruh dimensi kehidupannya dalam rengkuhan nilai-nilainya yang terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Keduanya harus dijadikan referensi utama dalam cara berfikir, cara mengambil keputusan dan cara bertindak. Karena Al-Quran dan As-Sunnah inilah merupakan sumber petunjuk yang mampu membimbing manusia muslim ke jalan yang benar.

“Kami tidak menurunkan Al Qur'an ini kepadamu agar kamu menjadi susah.” (QS 20:2)

“Sesungguhnya Al Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS 17:9)

“Tidaklah beriman seseorang di antara kalian sehingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” (Lihat Arba’in Nawawi)

“Bagi setiap amal itu ada masa semangat (puncaknya, dan bagi setiap masa semangat itu ada masa lemah (malas). Barang siapa yang tetap mengikuti sunnahku di masa lemahnya, sungguh ia akan memperoleh petunjuk. Dan barang siapa yang mengikuti selain sunnahku pada masa lemahnya niscaya ia akan binasa.” (HR Ibnu Hibban dan Ahmad)

Dan apabila ada manusia muslim yang berpegang teguh pada konsep-konsep selain Al-Quran dan As-Sunnah dalam menata kehidupannya, niscaya ia akan menyimpang dari jalan yang sebenarnya. Ia akan sesat, terombang ambing dalam dunia maya yang tidak menentu dan akhirnya terjebak dalam jaring hawa nafsu yang menyesatkan.

“Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka.” (QS 2:15)

“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku(Al-Quran), maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta".(QS 20:124)

“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan haq (kebenaran dan adil) dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (QS 38:26)
Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna berkata: “Al-Quran dan As-Sunnah merupakan referensi utama bagi setiap muslim dalam mengenal (memahami) hokum-hukum Islam.”


KORELASI ANTARA PRINSIP PERTAMA DAN KEDUA

Prinsip ini sangat kuat berkaitan dengan prinsip sebelumnya yaitu tentang syumuliatul Islam (universalitas dan integralitas Islam) dalam setiap dimensi kehidupan. Dan prinsip ke dua ini, menegaskan al-mashdar (sumber) yang di mana darinya kita menggali seluruh hokum yang mengatur setiap dimensi kehidupan Islam tersebut.

Dan hanya kepada kedua sumber ini, seluruh ummat Islam harus kembali. Mereka harus mampu mengaplikasikan nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan yang ada dalam dua sumber ini dalam kisi-kisi kehidupannya.


Dan Al-Quran harus dipahami sesuai dengan kaidah-kaidah Bahasa Arab tanpa dengan takalluf (susah payah/memberatkan) dan ta’assuf (serampangan/ seporadis). Dan dalam memahami As-Sunnah Al-Muthoharah harus dikembalikan kepada Rijalul hadits (Ahli/pakar hadits) yang terpercaya.”

DALIL-DALIL TENTANG PRINSIP INI

Adapun dalil-dalil yang menegaskan bahwa setiap muslim harus kembali kepada dua sumber hokum yaitu, Al-Quran dan Al-Hadits sangatlah banyak. Di antaranya adalah;

“Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”(QS 4:59)

“…Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”(QS 16:89)

“…Dan apa yang dibawaRasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS 59:7)

Dan di antara hadits-hadits Rasulullah saw yang berkaitan dengan ini adalah;

“Bagaimana kamu (Mu’adz bin Jabal) menghukumi apabila datang kepadamu masalah hokum?, Ia berkata: “Aku akan menghukumi dengan Kitab Allah.” Beliau bertanya lagi: “Maka apabila kamu tidak menemukannya dalam Kitab Allah?”, Ia menjawab: “Maka (Aku menghukumi) dengan Sunnah Rasulullah.” Beliau bertanya kembali: “Maka apabila kamu tidak menemukannya dalam sunnah Rasulullah saw dan Kitabullah?” Ia berkata: “Aku akan berijtihad sesuai dengan pendapatku dan aku tidak akan menyimpang.” Kemudian Rasulullah saw meletakkan tangan ke dadnya seraya bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik kepada utusan Utusannya Allah terhadap sesuatu yang diridloi Rasulullah.”

“Siapa di antara kalian yang masih hidup sesudahku maka dia pasti akan melihat perbedaan yang dahsiat. Oleh karena kalian harus mengikuti Sunnahku dan Sunnah Khulafa’ur Rasyidin. Gigitlah sunnah itu dengan gigi taringmu.” (HR Abu Dawud)

Imam Al-Auzai berkata: “Bersabarlah mengikuti Sunnah, berhentilah di mana kaum Slaf berhenti, katakanlah apa yang mereka katakana, jauhilah apa yang mereka jauhi, ikutilah jaln para pendahulumu yang saleh, karena apa yang cukup bagi mereka akan cukup bagimu.”

Imam Sufyan berkata: “Tidak diterima suatu perkataan kecuali disertai amal, dan tidaklah lurus perkataan dan amal kecuali dengan niat dan tidak lurus perkataan, amal dan niat kecuali bila sesuai dengan sunnah.”

Di dalam penentuan dan penggalian hokum-hukum Islam, selalu mengacu kepada dalil-dalil syar’iah baik yang disepakati maupun yang diperselisihkan. Dan di dalam prinsip ini, Imam Syahid hanya menyebutkan dua sumber dari dalil-dalil qot’iah lainnya dikarenakan beberapa sebab berikut ini;

Pertama, Ia ingin menghimpun hati-hati umat dalam jalan yang telah disepakati, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah. Adapun dalil Ijma’ dan Qias ada sebagian Ulama yang memperselisihkan. Dan dalil-dalil yang lain seperti ‘Urf, Istihsan, Mashalih Al-Mursalah dan yang lainnya merupakan ajang perdebatan para Ulama.

Kedua, Sesungguhnya dalil-dalil yang lain, Al-Quran dan As-Sunnahlah yang mengisyaratkan kepadanya. Oleh karena itu merasa cukup dengan keduanya adalah merasa cukup dengan asal tanpa mengingkari dalil-dalil yang lain bagi yang menggunakannya.
Imam Asy-Syathibi berkata: “Sesungguhnya dalil-dalil itu ada dua macam yaitu naqliah dan aqliah. Dan ketika melakukan analisa lebih jauh lagi kita sampai sebuah konklusi bahwa dalil-dalil syar’iah hanya terangkum dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. Karena dalil-dalil yang tetap itu tidak mungkin tertumpu pada akal. Akan tetapi hanya bersandar pada Al-Kitab dan As-Sunnah. …Keduanya merupakan sumber utama dan tempat bersandarnya hokum-hukum yang ada…” (Al-Muwafaqat, Asy-Syatibi 23/42)

Methodologi Memahami Al-Quran

Untuk memahami Al-Quran, seorang muslim harus kembali kepada kaidah-kaidah Bahasa Arab dengan tanpa takalluf (menyulitkan/bicara tentang hal yang tidak berfaedah) dan ta’ssuf (berjalan tanpa ilmu pengetahuan dan petunjuk/ sporadis ). Tentunya setelah tidak ditemukan penafsiran Al-Quran dengan Al-Quran, atau dengan Al-Sunnah, atau perkataan para sahabat dan atau ucapan para tabi’in. Karena Al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab sebagaimana yang dijelaskan oleh beberapa firman Allah berikut ini;

“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur'an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (QS 12:2)

“Dan sesungguhnya Al Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam,
dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan,
dengan bahasa Arab yang jelas”.(QS 26:192-195)

Oleh karena itu, Islam mengingatkan umatnya untuk tidak memahami Al-Quran hanya bersandarkan kepada akal atau pendapatnya sendiri. Rasulullah saw bersabda: “Barang siap yang bicara tentang Al-Quran dengan pendapatnya sendiri atau dengan sesuatu yang tidak diketahui, maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya (kembalinya) dari api neraka.” (HR At-tirmidzi, An-Nasa-I, Abu Dawud)

“Barang siap yang bicara tentang Al-Quran dengan pendapatnya sendiri, maka ia akan salah.” (HR Abu Imran)

“Barang siapa bicara tentang Kitabullah dengan pendapatnya sendiri maka (apabila pendapatnya) benar, maka ia tetap salah.” (HR Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nisa-I)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar