Jumat, 13 Agustus 2010

Berhiaslah Dengan Sunah-Sunah Fitrah

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal (Alumni Ma’had Ilmi)
Dimuroja’ah oleh: Ustadz Aris Munandar

Saudaraku yang semoga selalu mendapatkan taufik Allah. Sesungguhnya agama Islam adalah agama yang sempurna dan telah mengatur berbagai macam perkara yang akan mendatangkan kebaikan bagi tiap hambanya. Di antaranya, agama ini telah mengajarkan kepada umatnya mengenai sunah-sunah fitrah. Sunah-sunah ini merupakan kebiasaan yang sudah dilakukan oleh orang-orang terdahulu. Allah tabiatkan pada manusia untuk melakukannya, cenderung kepadanya, menganggapnya sebagai suatu hal yang indah, dan meninggalkannya berarti telah bertolak belakang dengan fitrah manusia atau dapat dikatakan sebagai manusia tidak normal. Maka sangatlah baik sekali jika kita memperhatikan pembahasan berikut ini.
Pengertian Sunah Fitrah
Sunah Fitrah adalah suatu tradisi yang apabila dilakukan akan menjadikan pelakunya sesuai dengan tabiat yang telah Allah tetapkan bagi para hambanya, yang telah dihimpun bagi mereka, Allah menimbulkan rasa cinta (mahabbah) terhadap hal-hal tadi di antara mereka, dan jika hal-hal tersebut dipenuhi akan menjadikan mereka memiliki sifat yang sempurna dan penampilan yang bagus.
Hal ini merupakan sunah para Nabi terdahulu dan telah disepakati oleh syariat-syariat terdahulu. Maka seakan-akan hal ini menjadi perkara yang jibiliyyah (manusiawi) yang telah menjadi tabi’at bagi mereka. (Lihat Shohih Fiqhis Sunah, I/97).
Faedah Mengerjakan Sunah Fitrah
Berdasarkan hasil penelitian pada Al Quran dan As Sunah, diketahui bahwa perkara ini akan mendatangkan maslahat bagi agama dan kehidupan seseorang, di antaranya adalah akan memperindah diri dan membersihkan badan baik secara keseluruhan maupun sebagiannya. (Lihat Shohih Fiqhis Sunah, I/97).
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, bahwa sunah fitrah ini akan mendatangkan faedah diniyyah dan duniawiyyah, di antaranya, akan memperindah penampilan, membersihkan badan, menjaga kesucian, menyelisihi simbol orang kafir, dan melaksanakan perintah syariat. (Lihat Taisirul ‘Alam, 43).
Dalil Sunah Fitrah
Sebagian dari sunah fitrah ini dapat dilihat dari hadits-hadits berikut ini:
1. Hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْفِطْرَةُ خَمْسٌ الْخِتَانُ وَالِاسْتِحْدَادُ وَقَصُّ الشَّارِبِ وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ وَنَتْفُ الْآبَاطِ
“Ada lima macam fitrah, yaitu: khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak.” (HR. Bukhari no. 5891 dan Muslim no. 258)
2. Hadits dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَشْرٌ مِنْ الْفِطْرَةِ قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ وَالسِّوَاكُ وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ وَقَصُّ الْأَظْفَارِ وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ وَنَتْفُ الْإِبِطِ وَحَلْقُ الْعَانَةِ وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ قَالَ زَكَرِيَّاءُ قَالَ مُصْعَبٌ وَنَسِيتُ الْعَاشِرَةَ إِلَّا أَنْ تَكُونَ الْمَضْمَضَةَ
“Ada sepuluh macam fitrah, yaitu memotong kumis, memelihara jenggot, bersiwak, istinsyaq (menghirup air ke dalam hidung,-pen), memotong kuku, membasuh persendian, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, istinja’ (cebok) dengan air.” Zakaria berkata bahwa Mu’shob berkata, “Aku lupa yang kesepuluh, aku merasa yang kesepuluh adalah berkumur.” (HR. Muslim no. 261, Abu Daud no. 52, At Tirmidzi no. 2906, An Nasai 8/152, Ibnu Majah no. 293)
Meskipun dalam hadits di atas disebutkan sepuluh hal, namun sunah fitrah tidaklah terbatas pada kesepuluh perkara di atas berdasarkan kaedah “Mahfumul ‘adad laysa bil hujjah” yaitu pemahaman terhadap jumlah bilangan tidaklah bisa menjadi hujjah (argumen). Di antara sunah fitrah tersebut adalah:
Khitan
Istinja’ (cebok) dengan air
Bersiwak
Memotong kuku
Memotong kumis
Memelihara jenggot
Mencukur bulu kemaluan
Mencabut bulu ketiak
Membasuh persendian (barojim) yaitu tempat melekatnya kotoran seperti sela-sela jari, ketiak, telinga, dll.
Berkumur-kumur dan istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung), juga termasuk istintsar (mengeluarkan air dari dalam hidung)
Penjelasan Sunah-Sunah Fitrah
Mencukur Bulu Kemaluan (Istihdaad)
Yang dimaksud dengan bulu kemaluan di sini adalah bulu yang tumbuh di sekitar kemaluan. Dinamakan istihdad (asal katanya dari hadiid yaitu besi-pen) karena hal ini dilakukan dengan sesuatu yang tajam seperti pisau cukur. Dengan melakukan hal ini, tubuh akan menjadi bersih dan indah. Dan boleh mencukurnya dengan alat apa saja, baik berupa alat cukur atau sejenisnya. (Al Mulakhos Al Fiqh, I/37). Bisa pula dilakukan dengan memotong/menggunting, mencukur habis, atau dengan mencabutnya. (Lihat Al Wajiz fii Fiiqhis Sunah wal Kitaabil ‘Aziz, 29 dan Fiqh Sunah, 1/37).
Memotong Kumis dan Merapikannya
Yaitu dengan memotongnya sependek mungkin. Dengan melakukan hal ini, akan terlihat indah, rapi, dan bersih. Dan ini juga dilakukan sebagai pembeda dengan orang kafir, (Lihat Al Mulakhos Al Fiqh, 37). Hadits-hadits tentang hal ini terdapat dalam pembahasan ‘memelihara jenggot’ pada bagian selanjutnya.
Memotong Kuku
Yaitu dengan memotongnya dan tidak membiarkannya memanjang. Hal ini juga dilakukan dengan membersihkan kotoran yang terdapat di bawah kuku. Dengan melakukan hal ini akan terlihat indah dan bersih, dan untuk menjauhi kemiripan (tasyabbuh) dengan binatang buas yang memiliki kuku yang panjang. (Lihat Al Mulakhos Al Fiqh, 38).
Mencabut Bulu Ketiak
Yaitu, menghilangkan bulu-bulu yang tumbuh di lipatan ketiak. Baik dilakukan dengan cara dicabut, digunting, dan lain-lain. Dengan melakukan hal ini tubuh akan menjadi bersih dan akan menghilangkan bau yang tidak enak yang disebabkan oleh keberadaan kotoran-kotoran yang melekat pada ketiak. (Lihat Al Mulakhos Al Fiqh, 38).
Apakah pada keempat sunah fitrah di atas terdapat batasan waktu untuk memotongnya?
Keempat sunah fitrah ini tidak dibatasi dengan waktu tertentu, tetapi batasan waktunya adalah sesuai kebutuhan. Kapan saja dibutuhkan, itulah waktu untuk membersihkan/memotongnya.
Tetapi sebaiknya hal ini tidak dibiarkan lebih dari 40 hari, karena terdapat hadits dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu:
وُقِّتَ لَنَا فِي قَصِّ الشَّارِبِ وَتَقْلِيمِ الْأَظْفَارِ وَنَتْفِ الْإِبِطِ وَحَلْقِ الْعَانَةِ أَنْ لَا نَتْرُكَ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Kami diberi batasan waktu oleh Rasulullah untuk mencukur kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan mencukur bulu kemaluan, tidak dibiarkan lebih dari 40 hari.” (HR. Muslim dan selainnya) (Lihat Shohih Fiqh Sunah, I/101).
Berkhitan
Berkhitan (ada yang menyebutnya dengan ’sunnat’,-pen) adalah memotong kulit yang menutupi kepala/ujung kemaluan bagi laki-laki dan memotong kulit bagian atas kemaluan bagi perempuan. (Lihat Shohih Fiqh Sunah, I/98). Tujuannya adalah untuk menjaga agar di sana tidak terkumpul kotoran, juga agar leluasa untuk kencing, dan supaya tidak mengurangi kenikmatan dalam bersenggama. (Fiqh Sunah, 1/37).
Berkhitan adalah sunah yang telah ada sejak lama sekali. Sebagaimana hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اخْتَتَنَ إِبْرَاهِيمُ بَعْدَ ثَمَانِينَ سَنَةً وَاخْتَتَنَ بِالْقَدُومِ
“Ibrahim berkhitan setelah mencapai usia 80 tahun, dan beliau berkhitan dengan Al Qodum.” (HR. Bukhari, inilah lafadz yang terdapat dalam Shahih Bukhari yang berbeda dalam kitab Fiqh Sunah, -pen)
Syaikh Sayid Sabiq mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Al Qodum di sini adalah alat untuk memotong kayu (kampak) atau suatu nama daerah di Syam. (Lihat Fiqh Sunah, 1/37).
- Hukum khitan
Ada 3 pendapat dalam hal ini:
Wajib bagi laki-laki dan perempuan.
Sunah (dianjurkan) bagi laki-laki dan perempuan.
Wajib bagi laki-laki dan sunah bagi perempuan (Lihat Shohih Fiqh Sunah, I /98).
- Wajibnya Khitan Bagi Laki-Laki
Dalil yang menunjukkan tentang wajibnya khitan bagi laki-laki adalah:
1. Hal ini merupakan ajaran dari Nabi terdahulu yaitu Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan kita diperintahkan untuk mengikutinya. Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Ibrahim -Al Kholil- berkhitan setelah mencapai usia 80 tahun, dan beliau berkhitan dengan kampak.” (HR. Bukhari)
Allah Ta’ala berfirman,
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif” dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (An Nahl: 123)
2. Nabi memerintah laki-laki yang baru masuk Islam dengan sabdanya,
أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ
“Hilangkanlah rambut kekafiran yang ada padamu dan berkhitanlah.” (HR. Abu Daud dan Baihaqi, dan dihasankan oleh Al Albani). Hal ini menunjukkan bahwa khitan adalah wajib.
3. Khitan merupakan pembeda antara kaum muslim dan Nasrani. Sampai-sampai tatkala di medan pertempuran umat Islam mengenal orang-orang muslim yang terbunuh dengan khitan. Kaum muslimin, bangsa Arab sebelum Islam, dan kaum Yahudi dikhitan, sedangkan kaum Nasrani tidak demikian. Karena khitan sebagai pembeda, maka perkara ini adalah wajib.
4. Menghilangkan sesuatu dari tubuh tidaklah diperbolehkan. Dan baru diperbolehkan tatkala perkara itu adalah wajib. (Lihat Shohih Fiqh Sunah, I /99 dan Asy Syarhul Mumthi’, I/110).
- Khitan Tetap Disyariatkan Bagi Perempuan
Adapun untuk perempuan, khitan tetap disyariatkan. Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya, “Apabila bertemu dua khitan, maka wajib mandi.” (HR. Ibnu Majah, shahih). Hadits ini menunjukkan bahwa perempuan juga dikhitan. Adapun hadits-hadits yang mewajibkan khitan, di dalamnya tidaklah lepas dari pembicaraan, ada yang dianggap dha’if (lemah) dan munkar. Namun hadits-hadits tersebut dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah.
Jika hadits ini dha’if, maka khitan tetap wajib bagi perempuan sebagaimana diwajibkan bagi laki-laki, karena pada asalnya hukum untuk laki-laki juga berlaku untuk perempuan kecuali terdapat dalil yang membedakannya dan dalam hal ini tidak terdapat dalil pembeda. Namun terdapat pendapat lain yang mengatakan bahwa khitan bagi perempuan adalah sunah (dianjurkan) sebagai bentuk pemuliaan terhadap mereka.
Pendapat ini sebagaimana yang dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah dalam kitabnya Asy Syarhul Mumthi’. Beliau mengatakan, “Terdapat perbedaan hukum khitan antara laki-laki dan perempuan. Khitan pada laki-laki terdapat suatu maslahat di dalamnya karena hal ini akan berkaitan dengan syarat sah shalat yaitu thoharoh (bersuci). Jika kulit pada kemaluan yang akan dikhitan tersebut dibiarkan, kencing yang keluar dari lubang ujung kemaluan akan ada yang tersisa dan berkumpul pada tempat tersebut. Hal ini dapat menyebabkan rasa sakit/pedih tatkala bergerak dan jika dipencet/ditekan sedikit akan menyebabkan kencing tersebut keluar sehingga pakaian dapat menjadi najis. Adapun untuk perempuan, tujuan khitan adalah untuk mengurangi syahwatnya. Dan ini adalah suatu bentuk kesempurnaan dan bukanlah dalam rangka untuk menghilangkan gangguan.” (Lihat Shohih Fiqh Sunah, I/99-100 dan Asy Syarhul Mumthi’, I/110).
Kesimpulan: Ada perbedaan pendapat tentang hukum khitan bagi perempuan. Minimal hukum khitan bagi perempuan adalah sunah (dianjurkan) dan yang paling baik adalah melakukannya dengan tujuan sebagaimana perkataan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin di atas yaitu untuk mengurangi syahwatnya.
- Dianjurkan Melakukan Khitan Pada Hari Ketujuh Setelah Kelahiran
Hal ini sebagaimana hadits dari Jabir radhiallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqah Hasan dan Husain dan mengkhitan mereka berdua pada hari ketujuh (setelah kelahiran,-pen).” (HR. Ath Thabrani dalam Ash Shogir)
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan, “Ada tujuh sunah bagi bayi pada hari ketujuh, yaitu: pemberian nama, khitan,…” (HR. Ath Thabrani dalam Al Ausath)
Kedua hadits ini memiliki kelemahan, namun saling menguatkan satu dan lainnya. Jalur keduanya berbeda dan tidak ada perawi yang tertuduh berdusta di dalamnya. (Lihat Tamamul Minnah, 1/68).
Adapun batas maksimal usia khitan adalah sebelum baligh. Sebagaimana perkataan Ibnul Qoyyim: “Orang tua tidak boleh membiarkan anaknya tanpa dikhitan hingga usia baligh.” (Lihat Tamamul Minnah, 1/69).
Sangat baik sekali jika khitan dilakukan ketika anak masih kecil agar luka bekas khitan cepat sembuh dan agar anak dapat berkembang dengan sempurna. (Lihat Al Mulakkhos Al Fiqh, 37). Selain itu, khitan pada waktu kecil akan lebih menjaga aurat, dibanding jika dilakukan ketika sudah besar.
Memelihara Jenggot
- Hukum Memelihara Jenggot Adalah Wajib
Hukum memelihara/membiarkan jenggot adalah wajib dan haram untuk dicukur. Karena mencukurnya termasuk perbuatan merubah ciptaan Allah dan termasuk perbuatan syaitan. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
وَلَآَمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا
“Dan akan Aku suruh mereka (merubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya. Barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, maka Sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.” (An Nisa’: 119)
Memotongnya juga berarti telah menyerupai wanita. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat bentuk penyerupaan (baca: tasyabbuh) seperti ini. Beliau bersabda,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنْ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita.” (HR. Bukhari dan Tirmidzi, shahih)
Nabi telah memerintahkan untuk memelihara jenggot. Dan menurut ilmu Ushul Fikih, perintah menunjukkan suatu kewajiban. Perintah tersebut dapat dilihat dari hadits-hadits di bawah ini.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ
“Cukurlah kumis, biarkanlah jenggot, dan selisilah majusi.” (HR. Muslim, 1/222/260)
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan bahwa makna memelihara di atas adalah membiarkannya sebagaimana adanya. (Syarah Shahih Muslim).
Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ
“Selisilah orang-orang musyrik, lebatkanlah jenggot, dan cukur habislah kumis.” (HR. Bukhari, 10/349/5892)
- Pernyataan Para Ulama Tentang Mencukur Jenggot
Mayoritas para ulama dan ahli fikih secara tegas menyatakan bahwa mencukur jenggot itu haram. Ibnu Hazm berkata, “Para ulama sepakat bahwa mencukur jenggot merupakan perbuatan mutslah yang terlarang.” Mutslah adalah perbuatan memperburuk atau membuat jelek. Tidaklah diragukan bahwa wajah adalah anggota tubuh yang mulia, karena di sana terdapat sejumlah indera. Wajah juga merupakan sumber/pusat ketampanan. Pada wajah terdapat ciptaan Allah yang indah yang seharusnya dijaga dan diperlakukan secara istimewa. Tidak malah dihinakan dan dibuat agar tampak buruk/jelek. Dari ‘Abdullah bin Yazid Al Anshory, beliau berkata,
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ النُّهْبَى وَالْمُثْلَةِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menjadikan hewan sebagai sasaran dan melarang mutslah.” (HR. Bukhari no. 2294)
Dalam Al Ikhtiyarot Al Ilmiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (Dan beliau mengikuti mazhab Imam Ahmad -ed) berkata, “Diharamkan mencukur jenggot berdasar berbagai hadits yang shahih dan tidak seorang ulama pun yang membolehkannya.” Ibnu Abidin dari kalangan ulama Hanafiah dalam Roddul Muhtar menyatakan, “Diharamkan bagi laki-laki memotong jenggot.” Dalam Al Umm Imam Syafi’i menegaskan haramnya mencukur jenggot. Dari kalangan Malikiyyah, Al ‘Adawi menukil pernyataan Imam Malik, “Itu termasuk perbuatan orang-orang Majusi.” Ibnu ‘Abdil Bar dalam At Tamhid berkata, “Diharamkan mencukur jenggot. Tidak ada yang melakukannya kecuali laki-laki yang bergaya seperti perempuan.” (Lihat Minal Hadiin Nabawi I’faul Lihyah, edisi terjemahan berjudul Jenggot Yes, Isbal No – Media Hidayah). (Sehingga jelas bahwa banyak ulama empat mazhab yang mengharamkan mencukur jenggot -ed).
- Rasulullah Tidak Suka Melihat Wajah Orang yang Tercukur Jenggotnya
Ketika Kisra (penguasa Persia) mengutus dua orang untuk menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menemui beliau dalam keadaan jenggot yang tercukur dan kumis yang lebat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka melihat keduanya. Beliau bertanya, “Celaka kalian! Siapa yang memerintahkan kalian seperti ini?” Keduanya berkata, “Tuan kami (yaitu Kisra) memerintahkan kami seperti ini.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan tetapi, Rabbku memerintahkanku untuk memelihara jenggotku dan menggunting kumisku.” (HR. Thabrani, Hasan)
Wahai saudaraku yang begitu mudah mencukur jenggotnya, bagaimana pendapatmu apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka melihat wajahmu? Jawaban apa yang akan engkau berikan ketika beliau memalingkan wajahnya darimu seraya berkata, “Siapa yang memerintahmu seperti ini?” Ketahuilah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah menyuruh melakukan sesuatu melainkan beliau merupakan orang yang pertama melakukannya. Oleh karenanya jenggot beliau lebat dan utuh. (Lihat Minal Hadiin Nabawi I’faul Lihyah, edisi terjemahan berjudul Jenggot Yes, Isbal No – Media Hidayah).
- Mencukur Jenggot Adalah Suatu Bentuk Pemborosan dan Dosa Secara Terang-Terangan
Tidak perlu diragukan lagi bahwa mencukur jenggot membutuhkan biaya yaitu untuk membeli alat cukur, sabun, dan silet. Ini semua termasuk membelanjakan harta yang Allah amanahkan kepada hamba-Nya tidak pada tempatnya sehingga pelakunya akan dimintai pertanggungjawaban pada hari kiamat. Seseorang tidak boleh berdalih, ‘ini kan cuma sedikit dan tidak berarti apa-apa’. Ingatlah firman Allah,
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ (7) وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah (semut hitam), niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah (semut hitam), niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (Al Zalzalah: 7-8)
Selain pemborosan harta, mencukur jenggot juga menghabiskan waktu. Padahal waktu adalah hal yang mahal dan berharga, maka harus dijaga sebaik-baiknya dan tidak boleh disia-siakan, apalagi untuk melakukan perkara yang haram.
Mencukur jenggot merupakan sebuah perbuatan dosa yang dilakukan terang-terangan. Padahal orang yang demikian tidak akan dimaafkan. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ
“Setiap umatku akan dimaafkan kecuali orang yang melakukan dosa secara terang-terangan.” (HR. Bukhari no. 5608)
Hukum “Merapikan” Jenggot
Ulama berselisih pendapat mengenai masalah ini. Adapun pendapat yang paling kuat di antara berbagai pendapat yang ada adalah tidak boleh merapikan jenggot meski hanya memotong beberapa bagian saja. Hal ini didasarkan pada sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik berupa ucapan maupun perbuatan, sebagaimana terdapat dalam hadits yang shohih. Salah satu ciri fisik Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah memiliki jenggot yang lebat.
كَانَ كَثِيرَ شَعْرِ اللِّحْيَةِ
“Rambut jenggot Nabi banyak (lebat).” (HR. Muslim)
Ketika Anas menceritakan ciri fisik Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata: “Jenggot Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memenuhi sebelah sini dan sebelah sini. Anas lalu memberi isyarat dengan tangannya pada dua tulang rahang bawahnya.” (HR. Ibnu Asakir dalam tarikhnya)
Dan para sahabat radhiallahu ‘anhum ajma’in juga mengetahui kalau Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca Al Quran dalam shalat Zuhur dan Ashar melalui gerakan jenggot beliau. (HR. Bukhari)
Sungguh betapa aneh orang yang mengaku cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun tidak menyukai penampilan beliau dan tidak mau menirunya. Padahal Allah ta’ala telah berfirman,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imron: 31)
Adapun hadits yang menyatakan bahwa Nabi memotong jenggotnya pada sisi kanan dan sisi kiri merupakan hadits yang sangat lemah sehingga tidak bisa dijadikan dalil. Sedangkan orang yang berpendapat bahwa jika jenggot telah lebih dari satu genggam maka selebihnya dipotong, berdasarkan riwayat Umar dan Ibnu Umar -radhiallahu ‘anhuma- adalah tidak tepat. Riwayat tersebut tidak dapat digunakan sebagai alasan karena bertentangan dengan hadits-hadits yang mewajibkan memelihara jenggot yang dinilai lebih kuat. Oleh karena itu, riwayat tersebut tidak dapat dijadikan dalil karena sunah Nabi harus didahulukan dari segalanya. Tidak ada pendapat yang bisa diterima, apabila menyelisihi sunah. Dalil itu terdapat pada riwayat para sahabat Nabi, bukan dalam pendapat pribadi mereka. Di samping itu, perbuatan Umar dan Ibnu Umar ini itu khusus pada haji, tidak pada setiap kesempatan, sebagaimana pendapat orang yang membolehkan merapikan jenggot.
Pendapat yang paling hati-hati adalah dengan mengikuti pendapat tersirat dari hadits-hadits yang memerintahkan memelihara jenggot. Dan memeliharanya adalah suatu pekerjaan yang mudah, tidak perlu biaya apa-apa untuk menipiskan ataupun mencukurnya, tidak buang-buang waktu dan tenaga. Wallahu a’alam bish showab. (Lihat Minal Hadiin Nabawi I’faul Lihyah, edisi terjemahan berjudul Jenggot Yes, Isbal No – Media Hidayah).
Teladanilah Rasulullah
Saudaraku yang semoga dirahmati Allah, kami ingatkan engkau dengan hadits berikut. Dari Al Asy’ats bin Sulaim, ia berkata:
سَمِعْتُ عَمَّتِي ، تُحَدِّثُ عَنْ عَمِّهَا قَالَ : بَيْنَا أَنَا أَمْشِي بِالمَدِيْنَةِ ، إِذَا إِنْسَانٌ خَلْفِي يَقُوْلُ : « اِرْفَعْ إِزَارَكَ ، فَإِنَّهُ أَنْقَى» فَإِذَا هُوَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّمَا هِيَ بُرْدَةٌ مَلْحَاءُ) قَالَ : « أَمَّا لَكَ فِيَّ أُسْوَةٌ ؟ » فَنَظَرْتُ فَإِذَا إِزَارَهُ إِلَى نِصْفِ سَاقَيْهِ
“Saya pernah mendengar bibi saya menceritakan dari pamannya yang berkata: “Ketika saya sedang berjalan di kota Al Madinah, tiba-tiba seorang laki-laki di belakangku berkata: “Angkat kainmu, karena itu lebih terjaga (kebersihan dan semakin awet,-pen).” Ternyata orang itu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku berkata: “Sesungguhnya yang kukenakan ini tak lebih hanyalah burdah yang bergaris-garis hitam dan putus.” Beliau bersabda: “Apakah engkau tidak menjadikan aku sebagai teladan?” Aku melihat kain sarung beliau, ternyata ujung bawahnya di pertengahan kedua betisnya.” (Mukhtashor Syama’il Muhammadiyah, Imam Tirmidzi, shahih)
Wahai pencukur jenggot, alasan apa yang akan engkau kemukakan ketika engkau berada di hadapan Rasulullah, tatkala beliau bertanya, “Tidakkah dalam diriku terdapat dalam keteladanan?” (Lihat Minal Hadiin Nabawi I’faul Lihyah, edisi terjemahan berjudul Jenggot Yes, Isbal No – Media Hidayah).
Ingatlah wahai saudaraku, letakkanlah akhirat di pelupuk matamu sehingga tidak tertipu oleh dunia yang fana, namun menggoda. Kehidupan dunia ini hanya sementara. Negeri akhirat itulah yang merupakan tempat tinggal kita yang abadi.
(*) Pembahasan mengenai jenggot, silakan merujuk buku Jenggot Yes, Isbal No! yang di dalamnya terdapat tulisan yang berjudul Minal Hadiin Nabawi I’faul Lihyah (Memelihara Jenggot) yang diterjemahkan oleh Al Ustadz Aris Munandar dengan penerbit Media Hidayah.
Bersiwak
Siwak adalah nama untuk sebuah kayu yang digunakan untuk menggosok gigi. Atau jika ditinjau dari perbuatannya, siwak adalah menggosok/membersihkan gigi dengan kayu atau sejenisnya untuk menghilangkan kuning gigi dan kotoran, dan juga untuk membersihkan mulut. (Lihat Taisirul ‘Alam, 35).
Sayid Sabiq rahimahullah mengatakan, “Lebih baik lagi jika yang digunakan untuk menyikat gigi adalah kayu arak yang berasal dari negeri Hijaz, karena di antara khasiatnya yaitu: menguatkan gusi, menghindarkan sakit gigi, memudahkan pencernaan, dan melancarkan buang air kecil. Walaupun demikian, sunah ini bisa didapatkan dengan segala sesuatu yang dapat menghilangkan kuning gigi dan membersihkan mulut, seperti sikat gigi, dan semacamnya.” (Fiqh Sunah, I/45). Dan pendapat ini juga dipilih oleh penyusun Shohih Fiqh Sunah. Wallahu a’lam.
- Hukum Bersiwak Adalah Sunah (Dianjurkan)
Bersiwak hukumnya sunah (dianjurkan) pada setiap saat, sebagaimana hadits dari Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ
“Bersiwak itu membersihkan mulut dan diridhoi oleh Rabb.” (Shohih, HR. An Nasa’i, Ahmad, dll) (Lihat Shohih Fiqh Sunah, I/100)
- Bersiwak Sangat Dianjurkan Jika Dilakukan Pada Waktu-Waktu Berikut:
1. Ketika berwudhu
Dari Abu Huroiroh radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوءٍ
“Seandainya tidak memberatkan umatku, sungguh aku akan memerintahkan mereka bersiwak setiap kali ber wudhu.” (HR. Bukhari)
2. Ketika hendak shalat
Dari Abu Huroiroh radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي أَوْ عَلَى النَّاسِ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ صَلَاةٍ
“Seandainya tidak memberatkan umatku, sungguh aku akan memerintahkan mereka bersiwak setiap hendak menunaikan shalat.” (HR. Bukhari)
3. Ketika membaca Al Quran
Dari ‘Ali radhiallahu ‘anhu berkata: Kami diperintahkan (oleh Rasulullah) untuk bersiwak dan beliau bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba ketika hendak mendirikan shalat datanglah malaikat padanya. Kemudian malaikat itu berdiri di belakangnya, mendengarkan bacaan Al-Qurannya, dan semakin mendekat padanya. Tidaklah dia berhenti dan mendekat sampai dia meletakkan mulutnya pada mulut hamba tadi. Tidaklah hamba tersebut membaca suatu ayat kecuali ayat tersebut masuk ke perut malaikat itu.” (HR. Baihaqi, shohih lighoirihi)
4. Ketika memasuki rumah
Dari Al Miqdam bin Syuraih dari ayahnya berkata, Aku bertanya pada Aisyah, “Apa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan ketika mulai memasuki rumah beliau?” Kemudian Aisyah menjawab: “Bersiwak.” (Shohih, HR. Muslim, Abu Daud, Ibnu Majah, an Nasa’i)
5. Ketika bangun untuk shalat malam
Dari Hudzaifah radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah senantiasa apabila hendak shalat malam (tahajjud), beliau membersihkan mulutnya dengan siwak.” (Muttafaqun ‘alaihi, HR. Muslim, Bukhari, Abu Daud, dan An Nasa’i)
- Orang Yang Berpuasa Boleh Bersiwak Baik Ketika Pagi Dan Sore Hari
Hal ini dikatakan oleh Sayyid Sabiq, tetapi beliau membawakan hadits yang lemah sebagaimana yang dinilai oleh Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah. Namun demikian, orang yang berpuasa boleh bersiwak baik ketika pagi dan sore hari karena hukum asal seseorang tidak dibebani suatu kewajiban. Seandainya bersiwak tidak diperbolehkan, tentu Allah dan Rasul-Nya telah menjelaskannya.
وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا
“Dan Tuhanmu tidaklah lupa.” (Maryam: 64) (Lihat Tamamul Minnah dan Al Wajiz fii Fiqh Sunah wal Kitab Al ‘Aziz)
- Cara Bersiwak
Cara bersiwak adalah dengan menggosokkan siwak di atas gigi dan gusinya. Di mulai dari sisi sebelah kanan dan sisi sebelah kiri. Dan memegang siwak dengan tangan kanan. (Lihat Al Mulakhos Al Fiqhiyyah).
Perihal Uban
- Dimakruhkan Mencabut Uban
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَنْتِفُوا الشَّيْبَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَشِيبُ شَيْبَةً فِي الْإِسْلَامِ إِلَّا كَانَتْ لَهُ نُورًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Janganlah mencabut uban. Tidaklah seorang muslim yang beruban dalam Islam walaupun sehelai, melainkan uban tersebut akan menjadi cahaya baginya pada hari kiamat nanti.” (Shohih, Al Jami’ush Shogiir, Abu Daud, an Nasa’i)
- Bolehnya Menyemir Uban Dengan Pacar, Inai, atau Sejenisnya dan Diharamkan Menyemirnya Dengan Warna Hitam
Dari Abu Dzar radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَحْسَنَ مَا غَيَّرْتُمْ بِهِ الشَّيْبَ الْحِنَّاءُ وَالْكَتَمُ
“Sesungguhnya bahan yang terbaik yang kalian gunakan untuk menyemir uban adalah pacar dan inai.” (Shohih Al Jami’ush Shogiir, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, An Nasa’i)
Dari Abu Huroiroh radhiallahu ‘anhu berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى لَا يَصْبُغُونَ فَخَالِفُوهُمْ
“Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak menyemir rambut mereka, maka selisilah mereka.” (Muttafaqun ‘alaihi, HR. Bukhari, Muslim, Sunan Abu Daud, An Nasa’i)
Dari Jabir radhiallahu ‘anhu, dia berkata, “Pada hari penaklukan Mekkah, Abu Quhafah (Ayah Abu Bakar-pen) datang dalam keadaan kepala dan jenggotnya telah memutih (seperti kapas). Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
غَيِّرُوا هَذَا بِشَيْءٍ وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ
“Ubahlah rambut ini dengan sesuatu, tapi hindarilah warna hitam.” (Shohih, HR. Muslim, Abu Daud, An Nasai, Ibnu Majah, dengan lafadz semisalnya)
Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَكُونُ قَوْمٌ يَخْضِبُونَ فِي آخِرِ الزَّمَانِ بِالسَّوَادِ كَحَوَاصِلِ الْحَمَامِ لَا يَرِيحُونَ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
“Pada akhir zaman nanti akan muncul suatu kaum yang bersemir dengan warna hitam seperti tembolok merpati. Mereka tidak akan mencium bau surga.” (Shohih Al Jami’ush Shogiir, Abu Daud, An Nasa’i)
Wahai saudaraku! Demikianlah agama ini menetapkan macam-macam amalan fitrah di atas. Di dalamnya terkandung keindahan, kebersihan, dan kesucian sehingga menjadikan seorang muslim berpenampilan indah dan menarik. Dengan melakukan hal ini, seorang muslim juga bersikap anti yaitu menyelisih gaya hidup orang-orang kafir.
Semoga kita menjadi orang-orang yang dimudahkan untuk melakukan sunah-sunah ini, yang seharusnya sudah menjadi tabiat bagi seorang muslim untuk melakukannya dan dalam rangka mengikuti sunah (tuntunan) dan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah memberi petunjuk bagi kita dalam perkataan dan perbuatan serta memberi keselamatan bagi amal-amal kita. Sesungguhnya Allah Maha Mulia. Shalawat dan salam atas Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keluarganya. Amin…

Rujukan:
1. Al Mulakhos Al Fiqh, Dr. Sholih bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan, Darul ‘Ashomah.
2. Asy Syarhul Mumthi’ ‘ala Zadil Mustaqni’, Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, Darul Ibnul Haitsam.
3. Al Wajiz fii Fiqhis Sunnati wal Kitabil ‘Aziz, Dr. ‘Abdul ‘Adhim Badawi, Darul Ibnu Rojab, Mesir, cetakan ketiga.
4. Fiqh Sunah, Maktabah Syamilah.
5. Jenggot Yes, Isbal No!!, Abdullah bin Abdul Hamid, Abdul Karim Al Juhaiman, Abdullah bin Jarullah Al Jarullah, Media Hidayah.
6. Mukhtashor Syama’il Muhammadiyah (Karakter dan Kepribadian Rasulullah), Imam At Tirmidzi, Pustaka At Tibyan.
7. Shohih Fiqhis Sunah wa Adillatuhu wa Tawdhihiu Mazahibil Aimmati, Abu Malik Kamal bin As Sayyid Salim, Al Maktabah At Tawfiqiyyah.
8. Taisirul ‘Alam Syarhu ‘Umdatil Ahkaam, Abdullah bin Abdurrahman bin Sholih Ali Basam, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah.
9. Tamamul Minnah, Maktabah Syamilah.

[Diambil dari http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/berhiaslah-dengan-sunah-sunah-fitrah-2.html]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar