Jumat, 13 Agustus 2010

Bersikap Lembutlah Terhadap Sesama Ahlus Sunnah

﴿ ﺭﻓﻘﺎ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺑﺄﻫﻞ ﺍﻟﺴﻨﺔ﴾
] Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي



Penyusun : Syaikh Abdul Muhsin bin Hamad bin 'Utsman al 'Abbad alu Badr





Terjemah : Dr. Ali Misri Semjan Putra
Editor : Mohammad Khairuddin dan Eko Haryanto Abu Ziyad



2009 - 1430



﴿ ﺭﻓﻘﺎ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺑﺄﻫﻞ ﺍﻟﺴﻨﺔ﴾
« باللغة الإندونيسية »


تأليف: ﻟﻠﻌﻼﻣﺔ ﻋﺒﺪ ﺍالمحسن ﺍﻟﻌﺒﺎﺩ ﺍﻟﺒﺪﺭ‬



ترجمة: على مصري سمجان بوترا
مراجعة: محمد خير الدين و أبو زياد إيكو هاريانتو


2009 - 1430




Bersikap Lembutlah Terhadap Sesama Ahlus Sunnah
﴿ ﺭﻓﻘﺎ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺑﺄﻫﻞ ﺍﻟﺴﻨﺔ﴾
(Versi 2 - Revisi)



© Copyright bagi ummat Islam. Risalah ini boleh diperbanyak, dicetak dan disebarkan dalam berbagai bentuk apapun selama tidak untuk tujuan komersial dan menyebutkan sumbernya. Artikel ini didownload dari Ebook Center Abu Salma (http://dear.to/abusalma]






PENGANTAR REDAKSI

Amma Ba’du :
Berikut ini adalah versi ke-2 dari risalah Rifqan Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah, yang risalah versi perdananya telah kami tampilkan sebelumnya di blog ini. Di versi ke-2 ini, kami menambah beberapa pengayaan agar lebih banyak faidah yang bisa diambil, diantaranya :
1. Biografi ringkas Syaikh Al-‘Allamah ‘Abdul Muhsin Al‘Abbad.
2. Kata Pengantar Syaikh Al-‘Allamah ‘Abdul Muhsin Al‘Abbad pada cetakan terbaru risalah Rifqan Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah.
3. Penjelasan Syaikh Al-‘Allamah ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad tentang untuk siapakah buku ini ditujukan.
4. Tanggapan Syaikh terhadap orang yang mentahdzir risalah Rifqan beliau ini, yang dikutip dari bab terakhir buku beliau al-Hatstsu ‘ala ittiba`is Sunnah wat Tahdzir minal Bida’ wa Bayan Khathariha.
5. Penjelasan Syaikh bahwa beliau tidak mencela dan mentahdzir Syaikh Rabi’ bin Hadi.
Semoga risalah ini dapat berfaidah dan bermanfaat bagi kaum muslimin. Dan semoga Allah membalas penulis risalah ini, penerjemah dan siapa saja yang mendistribusikannya -dalam rangka menyebarkan ilmu dan persatuan- dengan balasan yang baik. Amim, Ya Rabbal ‘Alamin.


 Biografi Syaikh
Sekilas mengenai biografi Syaikh. Beliau adalah Al-Allamah (seorang ulama kredibel), al-Muhaddits (ahli hadits), al-Faqih (pakar fikih), az-Zahid (seorang yang zuhud), al-Wara’ (seorang yang menjauhi diri dari yang tidak halal), yaitu Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hamad bin ‘Utsman al‘Abbad Alu Badr –semoga Allah memelihara beliau dan memperpanjang usia beliau dalam ketaatan kepada-Nya dan memberkahi amal dan lisan beliau-, dan kami tidak mensucikan seorangpun di hadapan Allah Azza wa Jalla.
Alu Badr merupakan keturunan Alu Jalas dari Kabilah ‘Utrah, salah satu kabilah al-‘Adnaniyah. Kakek tingkatan kedua beliau adalah ‘Abdullah yang memiliki laqab (julukan) ‘Abbad, yang kemudian akhirnya keturunan beliau dikenal dengan intisab (disandarkan nasabnya) kepada laqab ini, diantaranya adalah Syaikh ‘Abdul Muhsin sendiri. Ibu beliau adalah putri dari Sulaiman bin ‘Abdullah Alu Badr.

Kelahiran beliau. Beliau lahir setelah shalat Isya’ pada malam Selasa, tanggal 3 Ramadhan tahun 1353H di ‘Zulfa’ (300 km dari utara Riyadh). Beliau tumbuh dan dewasa di desa ini dan belajar baca tulis di sekolah yang diasuh oleh masyayikh (para ulama) Zulfa.

Perjalanan menuntut ilmu. Ketika dibangun Madrasah Ibtida’iyah pertama kali di Zulfa pada tahun 1368H, Syaikh masuk ke madrasah ini pada tahun ketiga dan memperoleh ijazah Ibtida’iyah pada tahun 1371H.
Kemudian Syaikh pindah ke Riyadh dan masuk ke Ma’had al‘Ilmi Riyadh, salah satu tempat belajar Syaikh Ibnu Baz Rahimahullahu sebelumnya. Setelah lulus, Syaikh melanjutkan studinya di Kuliah Syari’ah di Riyadh.
Menjelang tahun terakhir studi beliau di perkuliahan, beliau mengajar di Ma’had Buraidah al‘Ilmi, ketika akan ujian akhir kuliah, beliau kembali ke Riyadh dan menyelesaikan ujian beliau.
Sungguh Allah benar-benar memuliakan beliau, walaupun beliau sibuk mengajar namun beliau tetap bisa mencapai peringkat pertama di antara rekan-rekan beliau yang bejumlah hampir 60 lulusan. Beliau selalu berada di peringkat pertama, mulai dari awal belajar beliau hingga beliau lulus dan mendapatkan ijazah dari Ma’had ‘Ilmi dan Kuliah Syari’ah di Riyadh.
Syaikh sangat berantusias sekali di dalam menimba ilmu, baik di Universitas maupun di masjid-masjid, beliau banyak belajar dari para ulama besar, semisal al-‘Allamah Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh, al-‘Allamah ‘Abdul Aziz bin Baz, al-‘Allamah Muhammad al-Amin asy-Syinqithi, al-‘Allamah ‘Abdurrahman al-‘Afriqi, al-‘Allamah ‘Abdurrazaq ‘Afifi, al-‘Allamah Hammad al-Anshari dan lainnya Rahimahumullahu ajma’in.
Syaikh menceritakan bahwa beliau pernah belajar kepada Syaikh ‘Abdurrahman al-‘Afriqi di Riyadh pada tahun 1372, tentang ilmu hadits dan mushthalahnya. Beliau Hafizhahullahu berkata tentang Syaikh al-‘Afriqi Rahimahullahu :
كَانَ مُدَرِّسًا نَاصِحًا وَعَالِمًا كَبِيْرًا ، وَمُوَجِّهًا وَمُرْشِدًا وَقُدْوَةً فِي الْخَيْرِ ، رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى
“Beliau adalah seorang pengajar, penasehat dan cendikiawan besar. Beliau adalah seorang penyuluh, penuntun dan tauladan di dalam kebaikan. Semoga Allah Ta’ala merahmati beliau.”
Ketika pertama kali didirikan Universitas Islam Madinah, dan mata kuliah yang pertama kali ada adalah kuliah syari’ah, Samahatus (yang mulia) Syaikh Muhammad bin Ibrahim memilih beliau untuk menjadi dosen dan mengajar di sana. Syaikh mulai mengajar pertama kali pada hari Ahad tanggal 03/06/1381H, dan beliau adalah orang pertama kali yang memberikan pelajaran pada hari itu. Semenjak tanggal itu, Syaikh senantiasa mengajar di Universitas Islam Madinah, bahkan hingga saat ini beliau tetap masih mengajar padahal beliau telah pensiun, dengan izin khusus kerajaan. Pada tahun 1393H., Syaikh diangkat sebagai wakil rektor Universitas Islam Madinah dan rektornya adalah Samahatus Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz Rahimahullahu. Syaikh senantiasa menggantikan Syaikh Bin Baz apabila beliau berhalangan, sehingga seringkali Universitas Islam Madinah saat itu diidentikan banyak orang, sebagai Universitas Bin Baz dan ‘Abdul Muhsin. Setelah Syaik Bin Baz didaulatkan sebagai kepala Al-Lajnah ad-Da`imah lil Buhuts Al-‘Ilmiyah wal Ifta’ (Komisi Tetap Dewan Riset Ilmiah dan Fatwa), maka Syaikh ‘Abdul Muhsin menggantikan kedudukan beliau di Universitas Madinah sebagai rektor.
Sekalipun telah menjadi rektor dengan segala kesibukannya, Syaikh tidak pernah absen mengajar dua kali seminggu di Fakultas Syari’ah. Ketika Syaikh ‘Abdul Muhsin menjadi rektor di Universitas Islam Madinah, perpustakaan Universitas benar-benar kaya dengan warisan salaf berupa makhthuthat (manuskrip-manuskrip) yang mencapai 5.000 manuskrip. Al-‘Allamah Hammad al-Anshori sampai-sampai berkata :
“Warisan salaf yang dikopi untuk Universitas Islam Madinah sangat banyak dilakukan di zaman Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad, ketika beliau menjadi rektor Universitas Islam tersebut.”
Manuskrip-manuskrip tersebut, mayoritas dalam bidang ilmu hadits dan aqidah salafiyah. Dan yang lebih mengagumkan lagi, Syaikh walaupun menjadi seorang rektor Universitas, beliau lebih sering melakukan tugasnya sendiri dan lebih sering menghabiskan waktunya di Universitas, sejak pagi hingga sore hari. Sampai-sampai Al-‘Allamah Hammad al-Anshari mengatakan, “Seharusnya ditulis biografi khusus tentang perikehidupan al-‘Allamah ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad.” Di tengah-tengah kekagumannya, al-‘Allamah al-Anshari menuturkan :
وَمَرَّةً جِئْتُهُ بَعْدَ الْعَصْرِ بِمَكْتَبِهِ وَهُوَ رَئِيْسُ الْجَامِعَةِ ، فَجَلَسْتُ مَعَهُ ثُمّ قُلْتُ : يَا شَيْخ أيْنَ الْقَهْوَة‫؟ ، فَقَالَ : ﺍﻵﻥَ الْعَصْرَ وَلاَ يُوْجَدُ مَنْ يَعْمَلُهَا ، وَمَرَّةً عَزَمْتُ ﺃﻥْ أَسْبَقَهُ فِي الْحُضُورِ ﺇِﱃَ‬ الْجَامِعَةِ فَرَكِبْتُ سَيَّارَةً وَﺫَهَبْتُ ، فَلَمَّا وَصَلْتُ ﺇِﱃَ الْجَامِعَةِ فَإِﺫﺍ الشَّيْخُ عَبْدُ الْمُحْسِنِ يَفْتَحُ بَابَ‬ الْجَامِعَةِ قَبْلَ كُلِّ أَحَدٍ‬

“Suatu ketika aku tiba di kantor beliau, dan beliau ketika itu sebagai rektor Universitas. Kemudian aku duduk bersama beliau dan aku berkata kepadanya, ‘Ya Syaikh, mana kopinya?’, lantas beliau menjawab : ‘Sekarang ini waktu ashar (sore), tidak ada orang yang kerja sekarang ini.’ Di lain waktu, aku bertekad untuk mendahului kehadiran beliau di Universitas, lantas aku naik mobil dan bergegas berangkat –pagi-pagi-. Ketika aku sampai di Universitas, ternyata Syaikh ‘Abdul Muhsin (sudah tiba duluan dan) membuka pintu gerbang Universitas sebelum semua orang datang.”
Saya berkata, “Subhanallahu, sungguh sangat langka orang seperti beliau ini, walaupun beliau memiliki kedudukan dan gelar yang tinggi, namun beliau tidak silau sama sekali dengan kedudukannya. Beliau menganggap diri beliau sama seperti lainnya, bahkan beliau menganggap kedudukan beliau tersebut adalah amanah. Semoga Allah menganugerahi llmu dan kebaikan bagi Syaikh kami, al-‘Allamah ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad al-Badr.”

Diantara guru beliau, adalah Syaikh ‘Abdullah bin Ahmad al-Mani’, Syaikh Zaid bin Muhammad al-Munifi, Syaikh Falih bin Muhammad ar-Rumi, Al-Allamah Syaikh Muhammad bin Ibrahim, Al-Allamah Abdullah bin Abdurrahman al-Ghaits, Al-Allamah Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Al-Allamah Syaikh Muhammad Amin asy-Syinqithi, Al-Allamah Syaikh Abdurrahman al-Afriqy, Al-Allamah Syaikh Abdur Razaq Afifi, Al-Allamah Syaikh Umar Falatah. Dan masih banyak lagi Rahimahumullahu jami’an.

Diantara murid beliau. Beliau memiliki banyak sekali murid yang menimba ilmu darinya, beristifadah (memetik faidah) dan meminum air telaga ilmu yang segar lagi murni. Berikut ini adalah diantara murid-murid beliau yang terkenal, yaitu Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali, Syaikh ‘Ubaid bin ‘Abdillah al-Jabiri, Syaikh ‘Ashim bin ‘Abdillah Alu Ma’mar al-Qaryuthi (beliau juga diantara murid Syaikh al-Albani Rahimahullahu yang ternama). Syaikh Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili, Syaikh Sulaiman bin Salimullah ar-Ruhaili, Syaikh ‘Abdurrazaq bin ‘Abdul Muhsin al-‘Badr (putera beliau sendiri). Syaikh ‘Abdul Malik Ramadhani al-Jaza`iri, Syaikh Tarhib ad-Dausari, dan masih banyak lagi Hafizahumullah jami’an.

Karya Ilmiah dan Ceramah Beliau. Syaikh memiliki kurang lebih 40 karya ilmiah, sebagaimana yang beliau diktekan kepada murid beliau, Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad al-‘Umaisan Hafizhahullahu di dalam buku Ithaful ‘Ibad bi Fawa`id Durusi as-Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hamad al‘Abbad, sebagai berikut :
• Al-Qur’an al-Karim :
1. Ayatu Mutasyabihat al-Alfazh fi al-Qur’an al-Karim wa Kaifa Tamyiz Bainahuma.

• Hadits :
2. Isyruna Haditsan min Shahihil Bukhari, penelitian terhadap sanad-sanadnya dan ulasan terhadap redaksi-redaksi haditsnya.
3. Isyruna Haditsan min Shahihil Muslim, penelitian terhadap sanad-sanadnya dan ulasan terhadap redaksi-redaksi haditsnya..
4. Dirasah Hadits “Nadhdharallahumra`an Sami’a Maqalatiy… ” Riwayatan wa Dirayatan.
5. Fathul Qawiyyil Matin fi Syarhil Arba’ina wa Tatimmah al-Khamsina lin Nawawi wa Ibni Rajab Rahimahumallahu.
6. Syarh Hadits Jibril fi Ta’limid Din.
7. Kayfa Nastafidu minal Kutubi al-Haditsiyyah as-Sittah.
8. Ijtina`i ats-Tsamar fi Mushthalah Ahlil Atsar (ini buku pertama Syaikh yang beliau tulis di Ma’had Buraidah, tahun 1379H).
9. Al-Fawa`id al-Muntaqah min Fathil Bari wa Kutubin Ukhra
• ‘Aqidah :
10. Qathful Jana ad-Dani, Syarh Muqaddimah Ibnu Abi Zaid al-Qirwani.
11. Al-Hatstsu ’ala ittiba`is Sunnah wat Tahdzir minal Bida’ wa Bayanu Khathariha.
12. Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah fish Shahabatil Kiram Radhiyallahu ‘anhum wa ardhahum.
13. Min Aqwalil Munshifin fish Shahabi al-Khalifah Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu.
14. Tahqiq wa Ta’liq ‘ala Kitabai Tathhir al-I’tiqad ‘an Adraanil Ilhad lish Shan’ani wa Syarh Shudur fit Tahrimi Raf ’il Qubur lisy Syaukani.

• Keutamaan Amal, Akhlaq, Adab, Nasehat dan Biografi:
15. Min Akhlaqi Rasulil Karim Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
16. Fadhlus Shalati ‘alan Nabiyyi Shallallahu ‘alaihi wa Salam wa Bayanu Ma’naha wa Kaifaiyatiha wa Syai’un mimma Ullifa fiha.
17. Fadhlu Ahli Bait wa ‘Uluwwi Makanatihim ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah.
18. Fadhlul Madinah wa Adabu Sukkaniha wa Ziaratiha.
19. Rifqan Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah.
20. Atsaru al-‘Ibadat fi Hayatil Muslim.
21. Tsalatsu Kalimat fil Ikhlashi wal Ihsani wal Iltizami bis Syari’ah.
22. Al-‘Ibrah fisy Syahri Shaum.
23. Min Fadha’ilil Hajj wa Fawa`idihi.
24. Bi Ayyi Aqlin wa Dinin Yakunu at-Tafjir wat Tadmir Jihadan!!!
25. Budzlun Nushhi wat Tadzkir Libaqaya al-Maftunin bit Takfir wat Tafjir.
26. Kaifa yu`addi al-Muwazhzhaf al-Amanah.
27. ‘Alimun Jahbidz wa Malikun Fadz.
28. Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz Rahimahullahu Namudzaj minar Ra’ilil Awwal.
29. Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Utsaimin Rahimahullahu minal Ulama`ir Rabbaniyyin.
30. Asy-Syaikh ‘Umar bin Muhammad Fallatah Rahimahullahu wa Kaifa ‘Araftuhu.

• Rudud (Bantahan) :
31. Al-ghuluw fi Ba’dhil Qurabah wa Jafa`un fil Anbiya` wash Shahabah.
32. Al-Intishar lish Shahabah al-Akhyar fi Raddi Abathil Hasan al-Maliki.
33. Al-Intishar li Ahlis Sunnah wal Hadits fi Raddi Abathil Hasan al-Maliki.
34. Ad-Difa’ ‘anis Shahabah Abi Bakrah wa Marwiyatihi wal Istidlal liman’i Wilayatin Nisa` ‘alar Rijali.
35. Ar-Raddu ‘alar Rifa’i wal Buthi fi Kidzbihima ‘ala Ahlis Sunnah wa Da’watihima ilal Bida’i adh-Dhall.
36. At-Tahdzir min Ta’zhim il Atsar ghayr al-Masyru’ah.
37. Ar-Raddu ‘ala man kadzaba bil Ahaditsis Shahihah al-Waridah fil Mahdi.
38. Aqidah Ahlis Sunnah wal Atsar fil Mahdi al-Muntazhar.

• Fikih :
39. Ahammiyatul ‘Inayah bit Tafsir wal Hadits wal Fiqh.
40. Syarh Syuruthis Shalah wa Arkaniha wa Wajibatiha li syaikhil Islam Muhammad bin ‘Abdil Wahhab.
41. Manhaj Syaikhil Islam Muhammad bin ‘Abdil Wahhab fit Ta’lif.

Diantara kajian rutin beliau yang telah terekam adalah sebagai berikut :
1. Syarh Shahihil Bukhari (142 kaset), selebihnya belum direkam.
2. Syarh Kitabil Imarah min Shahih Muslim (8 kaset), sebenarnya Syaikh memiliki pelajaran Syarh Shahih Muslim, namun sayangnya tidak terekam.
3. Syarh Sunan an-Nasa`i (414 kaset).
4. Syarh Sunan Abi Dawud (373 kaset).
5. Syarh Sunan at-Turmudzi, ceramah beliau ini masih berlangsung.
6. Syarh Alfiyyah Suyuthi fil Hadits (57 kaset).
7. Syarh Adabul Masyyi ilash Shalah li Syaikhil Islam Muhammad bin ‘Abdil Wahhab (14 kaset).
8. Syarh al-‘Arba’ina wa Tatimmal Khamsina lin Nawawi wa Ibni Rajab Rahimahumallahu (23 kaset).
9. Fadhlul Madinah wa Adabu Sukkaniha wa Ziyaratiha (4 kaset)
10. Kitabush Shiyami min Al-Lu’lu’ wal Marjan (7 kaset).
11. Syarh ‘Aqidah ibnu Abi Zaid al-Qirwani (9 kaset).
12. Tathhirul I’tiqad lish Shan’ani (7 kaset).
13. Syarhus Shudur lisy Syaukani (4 kaset).

Juga memiliki ceramah-ceramah ilmiah lainnya, diantaranya adalah :
14. Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu ‘anhu baina Ahlil Inshaf wa Ahlil Ijhaf.
15. Al-Iman bil Ghaib.
16. Arba’ Washaya lisy Syabab.
17. Atsaru ‘Ilmil Hadits.
18. Taqyidun Ni’am bisy Syukri.
19. Mahabbatur Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Salam (2 kaset).
20. Tawqirul ‘Ulama` wal Istifadah min Kutubihim.
21. Atsarul ‘Ibadah fi Hayatil Muslimin.
22. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin wa Syai`un min Siratihi wa Da’watihi.
23. Asy-Syaikh ‘Umar bin ‘Abdurrahman Fallatah, Kaifa Araftuhu.
24. Khatharul Bida’.

Kaset-kaset rekaman beliau ini direkam oleh Tasjilat (studio) Ibnu Rajab di Madinah, Al-Ashalah di Jeddah, Sabilul Mu’minin di Dammam dan Minhajus Sunnah di Riyadh.

Putera-putera beliau. Diantara putera-putera beliau adalah :
1. Syaikh DR. ‘Abdurrazaq bin ‘Abdil Muhsin Hafizhahullahu.
2. Muhammad bin ‘Abdil Muhsin Hafizhahullahu.
3. ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin Hafizhahullahu.
4. ‘Umar bin ‘Abdil Muhsin Hafizhahullahu.
5. ‘Utsman bin ‘Abdil Muhsin Hafizhahullahu.
6. ‘Ali bin ‘Abdil Muhsin Hafizhahullahu.
7. ‘Abdurrahman bin ‘Abdil Muhsin Hafizhahullahu.

Pujian Ulama terhadap beliau. Diantara bukti dari keutamaan dan kemuliaan seorang ulama, adalah adanya pujian dan sanjungan yang dilontarkan oleh ulama lain. Diantara ulama Ahlus Sunnah yang memuji beliau adalah:
1. Al-‘Allamah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz Rahimahullahu. Beliau Rahimahullahu bertutur memuji ceramah dan risalah Syaikh ‘Abdul Muhsin yang berjudul “Aqidah Ahlis Sunnah wal Atsar fil Mahdi al-Muntazhar” :
“Kami ucapkan terima kasih kepada Ustadz yang mulia, Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hamad al-‘Abbad atas ceramah beliau yang lurus dan sarat (manfaat)…”
2. Al-‘Allamah Al-Muhaddits Syaikh Hammad al-Anshari Rahimahullahu. Beliau Rahimahullahu berkata :
“Sesungguhnya Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad, tidak pernah kulihat dengan kedua mataku, orang yang semisal beliau di dalam kewara’an.”
Beliau Rahimahullahu juga berkata :
“Sesungguhnya Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad layak ditulis biografinya, beliau dahulu bekerja di Universitas (Islam Madinah), dan aku mendambakan untuk dapat menuliskan atau merekam biografi beliau.”
3. Al-‘Allamah Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan Rahimahullahu. Beliau Rahimahullah berkata memuji para ulama sunnah di dalam kaset ceramahnya yang berjudul al-As`ilah as-Suwaidiyah pada tanggal 5 Rabi’ul Akhir 1417 H :
‫ﻛَﺬﻟِﻚَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ ﺍﻟْﺒَﺎﺭِﺯِﻳْﻦَ ﺍﻟَّﺬِﻳْﻦ لَهُم ﻗﺪﻡٌ ﰲِ ﺍﻟﺪَّﻋْﻮَﺓِ ، ﻓَﻀِﻴْﻠَﺔُ ﺍﻟﺸَّﻴْﺦِ ﻋَﺒْﺪُ الْمُحْسِنِ ‫ﺍﻟْﻌَ‬‫ﺒَّ‬‫ﺎﺩ ، ﻓَﻀِﻴْﻠَﺔُ ﺍﻟﺸَّﻴْﺦ ﺭَﺑِﻴْﻊ ﻫَﺎﺩِﻱ ، ‫ﻛَﺬﻟِﻚ ﻓَﻀِﻴْﻠَﺔُ ﺍﻟﺸَّﻴْﺦِ صَالِح ﺍﻟﺴُّﺤَﻴْﻤِﻲ ، ‫ﻛَﺬﻟِﻚ ﻓَﻀِﻴْﻠَﺔُ ﺍﻟﺸَّﻴْﺦِ مُحَمَّد ﺃﻣَﺎﻥ الْجَامِي ، ﺇﻥَّ ﻫَﺆُﻻَﺀ لَهُمْ ﺟُﻬُﻮْﺩٌ ﰲِ ﺍﻟﺪَّﻋْﻮَﺓِ وَالإخْلاَصِ ، ﻭَﺍﻟﺮَّﺩ‬ ‫ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻦْ ﻳُﺮِﻳْﺪُﻭْﻥَ الانْحِرَافَ ﺑِﺎﻟﺪَّﻋْﻮَﺓِ ﻋَﻦْ ﻣَﺴَﺎﺭِﻫَﺎ ﺍﻟﺼَّﺤِﻴْﺢِ ، ﺳَﻮَﺍﺀ ﻋَﻦْ ﻗَﺼﺪٍ ﺃﻭْ ﻋَﻦْ غَيْرِ ‫ﻗَﺼﺪٍ‬
“Demikian pula dengan para tokoh ulama terkemuka yang berada di barisan terdepan di dalam dakwah, yaitu Fadhilah Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad, Fadhilah Syaikh Rabi’ Hadi, demikian pula dengan Fadhilah Syaikh Shalih as-Suhaimi, serta Fadhilah Syaikh Muhammad Aman al-Jami. Sesungguhnya mereka memiliki andil besar di dalam dakwah dan keikhlasan, mecounter orang-orang yang hendak menyimpangkan dakwah dari arahnya yang benar, baik dengan kesengajaan maupun tidak sengaja…”
4. Muhaddits (seorang ahli hadits) Negeri Yaman, Al-‘Allamah Muqbil bin Hadi al-Wadi’i Rahimahullahu Ta’ala. Beliau pernah ditanya dengan pertanyaan siapakah ulama Arab Saudi yang layak diambil ilmunya.” Maka Syaikh Rahimahullahu menjawab:
‫ﺃﻣﺎ ﺍﻟﺬِﻳﻦَ ﺃﻧْﺼَﺢ ﺑِﺎﻷﺧْﺬِ ﻋﻨْﻬُﻢ ﻭَﺍﻟﺬِﻳﻦَ ﺃﻋْﺮِﻓُﻬُﻢ ﻓَﻬُﻮَ ﺍﻟﺸَّﻴْﺦ : ﻋَﺒْﺪ ﺍﻟﻌَﺰﻳْﺰِ ﺑْﻦ ﺑَﺎﺯ -ﺣﻔِﻈﻪ‬ُ ‫ﺍﷲُ-، ﻭَﺍﻟﺸﻴﺦ ﳏﻤّﺪ ﺑْﻦ صاَلِح ﺑْﻦ ﻋُﺜَﻴﻤِﲔ -ﺣﻔِﻈﻪ‬ُ ‫ﺍﷲُ-، ﻭﺍﻟﺸﻴﺦ ﺭَﺑِﻴﻊ ﺑْﻦ ﻫَﺎﺩﻱ‬ -ﺣﻔِﻈﻪ‬ُ ‫ﺍﷲُ-، ﻭﺍﻟﺸﻴﺦ صاَلِح ﺍﻟﻔَﻮْﺯﺍﻥ‬ -ﺣﻔِﻈﻪ‬ُ ‫ﺍﷲُ-، ﻭﺍﻟﺸﻴﺦ الْمُحْسِن ‫ﺍﻟْﻌَ‬‫ﺒَّ‬‫ﺎﺩ -ﺣﻔِﻈﻪ‬ُ ‫ﺍﷲُ-.
“Adapun ulama yang aku kenal dan kusarankan untuk diambil ilmunya adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz Hafizhahullahu, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin Hafizhahullahu, Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali Hafizhahullahu, Syaikh Shalih Fauzan Hafizhahullahu, Syaikh ‘Abdul Muhsin al‘Abbad Hafizhahullahu …”
Dan masih banyak lagi deraian pujian dan sanjungan yang ditujukan kepada beliau, seandainya dikumpulkan semua, niscaya akan menjadi panjang dan menjadi buku tersendiri.

* * *


 PENGANTAR SYAIKH
Pada Cetakan Ke-2 dari buku beliau.

Segala puji hanyalah milik Allah. Shalawat, salam dan keberkahan semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, kepada keluarga dan sahabat beliau, serta kepada siapa saja yang loyal dengannya, berpegang teguh dengan sunnahnya, dan berpetunjuk dengan petunjuknya hingga hari kiamat.

Amma Ba’du :
Beberapa tahun yang lalu, pasca wafatnya Syaikh kami yang mulia, Syaikhul Islam ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz pada tahun 1420H, dan wafatnya al-‘Allamah Syaikh Muhammad bin Shalih ‘Utsaimin pada tahun 1421H –Rahimahumallahu-, mulai tampak pertikaian dan perpecahan di tengah-tengah Ahlus Sunnah, sebagai akibat dari sikap sebagian mereka yang gemar mencari-cari kesalahan dari sebagian saudara mereka sesama Ahlus Sunnah, kemudian mentahdzirnya. Sementara itu, mereka yang disalahkan membalas balik dengan ucapan yang serupa.
Faktor yang membantu penyebaran fitnah pertikaian ini, yaitu sikap mereka yang dengan mudahnya saling menjatuhkan dan saling mentahdzir, disertai bantahan-bantahannya yang dipublikasikan melalui media informasi website di internet. Dengan demikian, setiap orang yang ingin melontarkan (opini)nya, maka ia dapat melontarkannya kapan saja –sesuai waktu- yang dikehendakinya, di malam hari atau pun siang hari (melalui situs-situs internet ini, pent.). Dimana opini tersebut, dapat begitu saja diakses dan “ditelan” mentah-mentah bagi orang yang meyakininya, sehingga pertikaian dan perselisihan ini semakin meluas. Akhirnya ada orang yang terkagum-kagum kepada pribadi tokoh tertentu, atau terkagum-kagum dengan ucapan-ucapan yang dilontarkannya, maka jadilah orang ini fanatis terhadap tokoh tersebut, sehingga ia tidak lagi bersikap wajar dengan penyikapan yang objektif, sebagaimana sikap yang seharusnya kepada seorang Ahlus Sunnah lain, ketika ia melakukan suatu kesalahan. Namun sebaliknya, ia malah memusuhi bahkan sampai mencela sebagian orang yang tidak mau mendukung model sikap yang saling menjatuhkan tersebut.
Di awal tahun 1424H, saya telah menulis tentang tema pembahasan ini yang berjudul “Rifqan Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah (Berlemah lembutlah Wahai Ahlus Sunnah Sesama Kalangan Ahlus Sunnah) , dan aku utarakan dalam pembukaan (muqaddimah)nya sebagai berikut :
“Tidak diragukan lagi, menjadi kewajiban Ahlus Sunnah di setiap zaman dan tempat untuk saling bersatu dan saling berkasih sayang di antara mereka, serta saling tolong menolong dalam perkara kebajikan dan ketakwaan.
Akan tetapi, sungguh amat disayangkan, sekarang ini banyak muncul pertentangan dan perselisihan di kalangan Ahlus Sunnah. Sebagian dari mereka sibuk mencela saudaranya sesama Ahlus Sunnah, memprovokasi orang-orang untuk menjauhi, dan terkadang melakukan tindakan boikot terhadapnya. Padahal sudah semestinya energi mereka dikerahkan total untuk menghadapi orang-orang yang bukan Ahlus Sunnah, yaitu kepada orang-orang kafir dan ahli bid’ah yang memusuhi Ahlus Sunnah. Adapun sesama Ahlus Sunnah hendaknya ditumbuhkan sikap saling lemah lembut dan saling berkasih sayang. Kalau umpamanya suatu ketika mereka perlu mengingatkan saudaranya yang salah, itupun hendaknya dilakukan dengan cara yang halus dan lembut.”
Setelah risalah ini tersebar luas, ada beberapa orang dari kalangan Ahlus Sunnah –semoga Allah mengampuniku dan mereka- yang menyampaikan protes dan keberatannya dengan materi risalah tersebut. Dan aku telah mengangkat hal ini di dalam risalah lainnya yang kutulis (berjudul) “Al-Hatstsu ‘ala ittibai’s Sunnah wat Tahdziru minal Bida’ wa Bayanu Khathariha (Dorongan untuk mengikuti sunnah dan peringatan dari bid’ah serta penjelasan akan bahayanya)” . Dan mereka yang memprotes risalah tersebut, pada bagian muqaddimah (pendahuluan) ini, aku meminta mereka supaya mereka mau berlemah lembut dengan saudara-saudara mereka sesama Ahlus Sunnah.
Aku tidak pernah memaksudkan pengertian Ahlus Sunnah di dalam risalahku “Rifqan Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah” tersebut, ditujukan kepada kelompok-kelompok atau pun partai-partai yang menyimpang dari prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah , seperti Al-Manshurah di Mesir . Mengenai partai ini, berkata pendirinya yang menyeru kepada para pengikutnya :
“Dakwah kalian ini lebih berhak didatangi manusia dan anda tidak mendatangi seorangpun ..… karena dakwah ini menghimpun semua kebaikan, dan adapun (dakwah) selainnya tidaklah selamat dari kekurangan!!”
(Mudzakkarat ad-Da’wah wad Da’iyyah, karya Hasan al-Banna, hal. 232, cet. Darusy Syihab).
Beliau juga berkata :
“Sikap kami terhadap dakwah-dakwah yang beraneka ragam yang bermunculan di zaman ini yang memecah belah hati dan membingungkan fikiran, adalah kami timbang dengan timbangan dakwah kami. Apabila selaras (dengan dakwah kami) maka kami terima, dan apabila menyelisihi (dakwah kami) maka kami berlepas diri darinya. Kami meyakini bahwa dakwah kami adalah universal tidak meninggalkan satu sisi pun, baik dari dakwah-dakwah yang sudah eksis, kecuali diisyaratkan kepadanya…”
(Majmu’ah ar-Rasa`il, karya Hasan al-Banna, hal. 240, cet. Darud Da’wah, 1411).
Sebagai konsekuensi dari ucapan ini adalah, mereka menyambut seorang Rafidhah apabila menyepakati mereka, dan mereka akan berlepas diri kepada siapa saja yang menyelisihi mereka, sekalipun ia adalah seorang sunni yang berada di atas thariqah (manhaj) salaf. Demikian pula (risalah ini bukan ditujukan) untuk orang-orang yang bersembunyi di London yang memerangi Ahlus Sunnah dengan mempublikasikain majalah mereka -yang mereka namai dengan- “As-Sunnah”, yang di dalamnya terdapat celaan kepada para ulama Kerajaan Saudi, dan mereka (orang-orang yang bersembunyi di London ini) menyifati para du’at yang sejalan dengan mereka sebagai orang-orang yang merdeka, karena menampakkan protes dan celaan mereka kepada para ulama, terutama kepada para ulama yang menjadi sumber (dalam ilmu)!!
Salah seorang tokoh terhormat telah menulis sebuah risalah yang berjudul “Majallah as-Sunnah?”, ia menghimpun di dalam risalahnya tersebut sejumlah hal ini (maksudnya, celaan dan hujatan kepada para ulama, pent.) dari majalah-majalah mereka.
Juga (risalah ini bukan ditujukan) untuk mereka yang menampakkan dakwahnya di Delhi India , yang dakwahnya tidak keluar dari enam hal (ajaran), yang mayoritas pengikutnya bodoh dan tidak memiliki pemahaman terhadap agama (yang memadai), dan tidak pula memperioritaskan dakwahnya kepada masalah yang paling penting diantara yang penting, yaitu mentauhidkan Allah di dalam peribadatan dan menjauhi syirik, yang mana ini merupakan misi dakwahnya dari seluruh Rasul, sebagaimana dalam Firman Allah Ta’ala :
‫وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu".” (QS.16:36)

Maka barangsiapa yang berdo’a kepada para penghuni kubur, beristighatsah dengan mereka, dan menyembelih kurban untuk mereka, maka tidak ada gunanya dakwah mereka!
Dan sesungguhnya saya di dalam pengantar ini, menekankan sebuah wasiat bagi para pemuda Ahlus Sunnah agar mereka senantiasa menyibukkan diri dengan ilmu, dan menghabiskan waktu mereka untuk mencari ilmu, agar mereka memperoleh faidah dan selamat dari keterpedayaan yang telah disebutkan di dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam :
‫نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ ‬
“Dua kenikmatan yang kebanyakan manusia sering terpedaya dengannya, yaitu nikmat sehat dan waktu lapang.”
Dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya (no.6412), dan hadits ini merupakan hadits yang pertama di dalam Kitab ar-Riqaq.

Diantara buku-buku para ulama kontemporer yang selayaknya mereka baca adalah Majmu’ Fatawa (Kumpulan Fatwa-Fatwa) syaikh kami, Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah di zamannya, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz Rahimahullahu, Fatawa al-Lajnah ad-Da`imah lil Buhuts al-Ilmiyyah wal Ifta’ (Fatwa-Fatwa Komite Tetap Dewan Riset Ilmiah dan Fatwa). Tulisan-tulisan syaikh kami, al-‘Allamah Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi Rahimahullah terutama Adhwa’ul Bayan fi Idhahil Qur `an bil Qur`an. Dan tulisan-tulisan dua ulama besar, yaitu Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin dan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani Rahimahumallahu.
Aku juga menasehatkan kepada para penuntut ilmu di seluruh negeri untuk memetik faidah dari mereka-mereka yang menyibukkan diri dengan ilmu, dari kalangan Ahlus Sunnah di negeri tersebut, seperti murid-murid Syaikh al-Albani di Yordania yang mendirikan sebuah Markaz (dakwah centre) pasca wafatnya beliau dengan menggunakan namanya (yaitu Markaz al-Imam al-Albani pent.), al-Maghrawi di Maghrib , juga kepada Syaikh Muhammad ‘Ali Firkuz dan Syaikh al-‘Ied asy-Syarifi di Aljazair, dan selain mereka dari kalangan Ahlus Sunnah.
Juga termasuk nasehatku kepada Ahlus Sunnah, adalah seandainya ada yang tersalah diantara mereka, maka hendaknya dijelaskan kesalahannya sebatas kesalahannya, serta tidak berlepas diri darinya disebabkan kesalahan tersebut, dan tetaplah mengambil faidah darinya. Apalagi jika tidak ada orang yang lebih tinggi darinya, di dalam ilmu dan keutamaan.
Saya nasehatkan kepada para pemuda supaya menjauhi diri dari kesibukan mencari-cari aib para penuntut ilmu, mengikuti (informasi di) situs-situs internet yang menghimpun aib-aib mereka, dan ikut-ikut mentahdzir mereka dengan sebab hal ini. Syaikh Muhammad bin Sulaiman al-Asyqar telah berbuat kesalahan, ketika mencela hak sahabat Abu Bakrah Radhiyallahu ‘anhu dan riwayat-riwayat beliau, dan menaruh perhatian terhadap masalah kekuasan wanita, dan keikutsertaan wanita dalam pemerintahan di bidang yang lain.
Saya telah membantah beliau dalam sebuah risalah yang berjudul, “Ad-Difa’ ‘an ash-Shahabi Abi Bakrah wa Marwiyatihi wal Istidlal liman’i wilayatin Nisa` ‘alar Rijal (Pembelaan terhadap Sahabat Abu Bakrah dan riwayat-riwayat beliau, serta pendalilan atas larangan kekuasaan wanita terhadap kaum pria).” Di sini, saya memperingatkan atas ketergelincirannya yang membahayakan ini, namun hal tersebut tidak saya lakukan terhadap buku-buku beliau lainnya yang bermanfaat, dan dalam rijal (para perawi) kitab ash-Shahihain dan selainnya, terdapat para perawi yang disifati dengan kebid’ahan namun diterima periwayatannya, disertai peringatan para ulama atas bid’ahnya agar waspada terhadapnya.
Pada awal bulan Ramadhan tahun 1423H, sebelum disebarkannya risalah Rifqan Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah, enam bulan (sebelumnya) saya mengirimkan surat nasehat kepada salah seorang yang memiliki pengaruh kuat kepada sebagian pemuda Ahlus Sunnah , dan ia telah membalasnya dengan surat yang ramah, yang di dalamnya ia memohon kepada Allah supaya menjadikan nasehatku ini bermanfaat. Demikianlah, sungguh indah apa yang dipaparkan oleh Syaikh.
Menyebutkan bahwa dirinya adalah seorang yang sedang mendapatkan nasehat tentang hal-hal yang aku tunjukkan (sebagai kritik dan nasehat, pent.) kepadanya di dalam suratku.
Saya memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar berkenan memberikan taufiq-Nya kepadaku, kepadanya dan kepada seluruh saudara-saudara kita di kalangan Ahlus Sunnah terhadap setiap hal yang membawa kepada kebaikan dan dampak yang terpuji, dan agar menjauhkan kita semua dari segala hal yang dapat menghantarkan kita kepada bahaya dan dampak yang buruk baik di dunia maupun di akhirat.

Berikut ini adalah isi surat (nasihat) tersebut :
Wa Ba’du.
Sesungguhnya saya menuliskan nasehat ini kepada Anda yang saya hormati, dengan harapan agar Anda dapat menjadikannya sebagai bahan pertimbangan diri (introspeksi), karena “Agama itu nasehat”, dan “Mukmin yang satu dengan mukmin lainnya bagaikan bangunan yang satu, yang satu dengan lainnya saling menguatkan.” Serta diantara hak muslim atas muslim lainnya, adalah saling menasehati dan bekerjasama di atas kebajikan.
Pertama, Anda telah menyebutkan kepadaku di pertemuan yang diadakan bersama Anda –yang saya muliakan- pada beberapa waktu yang lalu, bahwa Anda adalah orang yang lebih tua dariku. Saya saat ini telah memasuki usia delapan puluh tahunan, dan Anda dalam hal ini telah mendahului usia saya ini. Karena itulah saya yang mengajar Anda pada tahun 1380H dan setelahnya, termasuk periwayatan al-Akabir minal Ashagir (yang tua mengambil ilmu dari yang muda).
Namun orang seperti saya dan seperti Anda, sama-sama membutuhkan untuk menyibukkan diri dengan ilmu yang bermanfaat daripada sibuk dengan setiap hal yang dapat membawa kepada perpecahan di antara Ahlus Sunnah.
Kedua, sebelumnya saya telah mendengar ucapan Anda yang telah lalu, yaitu bahwa Anda telah menyibukkan diri Anda dengan ilmu hadits dan para perawinya ketimbang menyibukkan diri dengan al-Qur`an dan mentadabburi maknanya.
Maka saya katakan, “Anda sekarang telah disibukkan dengan memperbincangkan sebagian Ahlus Sunnah dan selain mereka, ketimbang Anda disibukkan dengan Al-Qur`an dan Al-Hadits. Karena kesibukkan Anda yang memalingkan Anda dari ilmu al-Kitab dan as-Sunnah ini, maka betapa sedikit hasil karya ilmiah Anda akhir-akhir ini di dalam (ilmu al-Kitab dan as-Sunnah).
Tidak diragukan lagi, bahwa membantah mereka yang bukan termasuk Ahlus Sunnah, dan kalangan yang membangkitkan fitnah serta merendahkan mereka dengan menganggap sebagai para ulama yang tidak faham fiqhul waqi’ (pemahaman realitas) , adalah sesuatu yang pada tempatnya (benar). Namun yang tidak pada tempatnya, adalah adanya kecenderungan mencari-cari kesalahan mereka dari sesama Ahlus Sunnah, dan mencela mereka dikarenakan ketidaksepakatan mereka dengan Anda dalam beberapa pemikiran. Jika memang ada penyebutan akan kesalahan-kesalahan mereka, namun janganlah menyibukkan diri dengannya, apalagi mengulang-ulanginya, dan selalu memperbincangkannya di dalam majelis. Sehingga hal ini menjadikan ketika Anda berdiskusi mengenainya, Anda menjadi murka dan mengangkat suara Anda (berteriak), yang mana hal semacam ini –beserta hal lainnya yang terlarang- dapat mempengaruhi kesehatan Anda.
Ketiga, dewasa ini telah meluas penyebutan al-jarh wa at-ta’dil, dan perbincangan (aib-aib) sebagian Ahlus Sunnah dan selain mereka, serta menyebarkan hal ini di situs-situs internet, sehingga dengan cara ini mendatangkan pertanyaan satu persatu, diantaranya dari Eropa, Amerika, Afrika Utara dan selainnya mengenai sebagian orang yang penilaian jarh (pencelaan) mereka berasal dari Anda, dan dari Syaikh (fulan) dengan disertai perluasan dari Syaikh (fulan) di dalam memperbincangkan kehormatan sebagian masyayikh dan para penuntut ilmu, baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Padahal Allah telah menjadikan ceramah-ceramah dan tulisan-tulisan mereka bermanfaat. Adapun tahdzir terhadap mereka dan dampak yang terjadi adalah adanya sikap saling menghajr (memarjinalkan) dan menjauhi. Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Salam bersabda :‬
بَشِّرُوا وَلا تُنَفِّرُوا وَيَسِّرُوا وَلا تُعَسِّرُوا
”Berilah kabar gembira dan janganlah kalian membuat mereka lari, mudahkanlah dan janganlah kalian persulit.”
Motif seorang Ahlus Sunnah yang bersalah, diharapkan karena antusiasnya di dalam kebaikan. Namun demikian, tetap diingatkan atas kesalahannya, jika memang kesalahannya merupakan kesalahan yang sudah benar-benar jelas. Namun jangan sampai menjatuhkannya, menghajr-nya dan jangan pula mentahdzir, sehingga tetap dapat memetik faidah darinya (di dalam perkara yang benar,pent.)
Adapun talazum (kecocokan) antara diri Anda dengan syaikh (fulan) , dan berkenaan dengan penyandaran tajrih kepada Anda dan kepadanya, namun aku yakin bahwa Anda tidak mensepakati dirinya dalam beberapa ucapannya terhadap individu-individu tertentu. Dengan adanya penyandaran itu, maka dikira sesuatu yang bukan berasal dari Anda, dipersepsikan sebagai sesuatu berasal dari Anda.
Karena itulah, harapanku kepada Anda adalah supaya Anda tidak menyibukkan diri Anda dengan tajrih (mencela) mereka, mereka sesama Ahlus Sunnah. Dan hendaklah Anda bersikap kepadanya dengan penyikapan yang pada batasannya, agar para penuntut ilmu dan selain mereka, baik di dalam maupun luar negeri, dapat selamat dari menyibukkan diri dengan qila wa qala (desas-desus), akhirnya sibuk dengan mendatangkan pertanyaan satu persatu mengenai, “Apa pendapat Anda tentang jarh Fulan, atau Fulan ini kepada Fulan atau Fulan”, padahal tidak ada kaitannya antara Anda dengan orang ini.
Anda adalah orang yang telah dikenal dengan kesungguhan di dalam belajar dan mengajar, Anda memiliki karya-karya tulis yang bermanfaat, dan Anda termasuk orang yang teratas di antara rekan-rekan Anda ketika Anda masih menempuh studi, dan Anda memiliki tulisan-tulisan tentang ilmu yang berfaidah. Adapun “dia”, maka ia termasuk orang yang terakhir di antara rekan-rekannya, nilainya ijazahnya hanyalah ”jayyid” (setara dengan C, pent.), dia tidak memiliki andalan di dalam ilmunya, dan tidak pula memiliki tulisan-tulisan (yang bermanfaat), serta modal utamanya hanya sibuk di dalam (mencela) kehormatan manusia.
Sungguh pada diri sahabat Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Salam di hari Hudaibiyah terdapat uswah (ketauladanan) bagi Anda, sampai-sampai sebagian mereka berkata setelah mereka meratapi apa yang terjadi pada mereka :
“Wahai manusia, tuduhlah akal kalian sendiri di dalam (persoalan menjalankan) agama”
Saya memohon kepada Allah Azza wa Jalla supaya memberikan taufiq kepada semua yang diridhai-Nya, menunjukkan kepada kita bahwa yang benar merupakan kebenaran, dan memberikan taufiq kepada kita untuk mengikutinya, dan menunjukkan kepada kita bahwa yang batil merupakan kebatilan, dan memberikan taufiq kepada kita untuk menjauhinya, sesungguhnya Ia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa …
Segala Puji hanyalah milik Allah, Rabb semesta alam. Semoga shalawat, salam dan keberkahan senantiasa tercurah kepada hamba dan utusan-Nya, Nabi kita Muhammad, dan kepada keluarga serta segenap sahabatnya.

* * *



MUQADDIMAH

Segala puji hanya milik Allah, yang telah mempersatukan hati orang-orang beriman, yang mendorong mereka untuk berkumpul dan bersatu, serta memperingatkan mereka dari perpecahan dan perselisihan. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah semata yang tidak ada sekutu bagiNya, yang menciptakan dan menentukan, menetapkan syari’at dan memudahkannya. Allah Maha Penyayang terhadap hamba-hambaNya yang beriman.
Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya, yang memerintahkan untuk memberikan kemudahan dan kabar gembira. Beliau bersabda :
يَسِّرُوا وَلا تُعَسِّرُوا، وَبَشِّرُوا وَلا تُنَفِّرُوا
Artinya :
"Mudahkanlah dan jangan kalian persulit. Berilah kabar gembira dan jangan kalian membuat orang lari (menjauh)”
Semoga shalawat, salam dan keberkahan senantiasa tercurah kepada beliau, dan keluarganya yang disucikan, serta para sahabatnya yang disebut oleh Allah sebagai orang-orang yang keras terhadap orang-orang kafir dan berkasih sayang sesama mereka. Semoga shalawat, salam, dan keberkahan tadi juga tercurah kepada orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik dan benar hingga hari kiamat kelak.
Ya Allah berilah aku petunjuk dan tunjukkanlah (kebenaran) kepadaku, serta jadikanlah aku sebagai sebab bagi orang lain untuk mendapatkan petunjuk. Ya Allah bersihkanlah hatiku dari rasa dengki, dan luruskanlah lisanku dalam menyampaikan kebenaran. Ya Allah, aku berlindung kepadaMu agar tidak menjadi orang yang menyesatkan atau disesatkan, orang yang menggelincirkan atau yang digelincirkan, orang yang mendzalimi atau didzalimi, membodohi atau dibodohi.

Amma ba’du.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang mengikuti jalan yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Mereka menisbatkan (menyandarkan) diri kepada Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk berpegang teguh kepada Sunnahnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ بَعْدِي، تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
Artinya :
"Wajib bagi kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah para Khulafa`ur Rasyidin sesudahku yang mendapatkan petunjuk. Berpegang teguhlah kalian dengan Sunnah tersebut, dan gigitlah (kuat-kuat) dengan gigi geraham kalian”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah memperingatkan kita agar tidak menyelisihi Sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam hal ini beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Artinya :
Berhati-hatilah kalian terhadap segala perkara yang baru (dalam masalah agama). Maka sesungguhnya setiap perkara yang baru (dalam masalah agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat”
Dalam hadits yang lain, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
مَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي ، فَلَيْسَ مِنِّى
Artinya :
"Barangsiapa yang membenci Sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku”
Keadaan Ahlus Sunnah ini berbeda dengan kelompok lainnya, yaitu kalangan para pengikut hawa nafsu dan para pelaku bid’ah. Para pengikut hawa nafsu dan para pelaku bid’ah menempuh jalan yang tidak ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
Aqidah Ahlus Sunnah muncul seiring dengan pengangkatan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi nabi dan rasul, sementara aqidah ahlul hawa (para pengikut hawa nafsu) muncul setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat. Diantaranya ada yang muncul pada akhir generasi sahabat, dan ada pula yang muncul setelah masa itu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberitakan kepada para sahabat beliau bahwa barangsiapa diantara mereka berumur panjang niscaya akan menjumpai perpecahan dan perselisihan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلافًا كَثِيرًا
Artinya :
"Dan sesungguhnya barangsiapa diantara kalian yang berumur panjang, maka ia akan melihat perselisihan yang banyak”
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi tuntunan sikap untuk menempuh jalan yang lurus, yaitu dengan mengikuti Sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah para Khalifahnya yang mendapatkan petunjuk (Khulafa’ur Rasyidin). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah memperingatkan kita agar menjauhi perkara-perkara yang baru (bid'ah) dalam agama, dan memberitahukan bahwa semua itu adalah sesat.
Suatu hal yang sangat tidak masuk akal bila para sahabat tidak mengetahui kebenaran dan petunjuk (dengan jelas dan gamblang), sementara orang-orang yang datang setelah mereka (diklaim) lebih mengetahui kebenaran dan petunjuk. Sesungguhnya bid’ah yang diada-adakan oleh orang-orang setelah generasi sahabat itu tidak lain adalah keburukan. Seandainya perkara bid’ah yang mereka ada-adakan itu lebih baik, niscaya para sahabat akan lebih mendahului mereka dalam melakukannya.
Bid’ah adalah keburukan yang menimpa banyak orang yang datang setelah para sahabat. Mereka adalah orang-orang yang melakukan penyimpangan terhadap apa-apa yang dilakukan dan dipegangi oleh para sahabat Radhiyallahu anhu. Imam Malik Rahimahullah berkata :
لَنْ يُصْلِحَ آخِرَ هَذِهِ الأُمَّةِ إلاَّ بِمَا صَلُحَ بِهِ أَوَّلُهَا
Artinya :
"Umat ini tidak akan baik, kecuali dengan hal-hal yang telah menyebabkan baik generasi awalnya”
Oleh karena itu, Ahlus Sunnah selalu menyandarkan dirinya kepada as-Sunnah. Adapun selain Ahlus Sunnah, seperti kelompok Jabariyah, Qadariyah, Murji’ah dan Al-Imamiyah al-Itsna Asya'ariyah, mereka menyandarkan diri kepada prinsip mereka yang batil, atau menyandarkan kepada tokoh-tokoh mereka, seperti kelompok Jahmiyah, Zaidiyah, Asy’ariyah, dan Ibadhiyah.
Dalam hal ini, tidak bisa Ahlus Sunnah dikatakan sebagai Wahabiyah, yaitu dinisbatkan kepada Syaikh Muhamamad bin Abdul Wahhab Rahimahullah. Hal ini karena Ahlus Sunnah tidak pernah menyandarkan diri kepada beliau, baik ketika beliau masih hidup maupun setelah wafatnya. Syaikh Muhamamd bin Abdul Wahhab sendiri tidak pernah mengajarkan sesuatu yang baru, untuk kemudian ajaran tersebut dinisbatkan kepada dirinya. Bahkan sebaliknya, beliau adalah orang yang teguh mengikuti jalan para Salafush Shalih, menzhahirkan as-Sunnah, menyebarkannya dan mengajak orang-orang untuk berpegang teguh dengannya.
Memang ada sementara orang yang menyebut Ahlus Sunnah sebagai aliran Wahabi. Pemberian stigma ini dilakukan oleh orang-orang yang tidak suka dan dengki atas gencarnya dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah. Stigma seperti ini sengaja dihembuskan agar orang-orang ragu mengikuti kebenaran dan petunjuk yang diajarkan beliau. Stigma seperti itu juga dimanfaatkan agar orang-orang tetap tenggelam dalam bid’ah yang mereka ada-adakan dan menyelisihi prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Imam Syathibi berkata dalam kitab Al-I’tisham (I/79), “Abdurrahman Al-Mahdi berkata, ‘Malik bin Anas pernah ditanya tentang Ahlus Sunnah.’ Beliau menjawab, ‘Dia adalah nama yang tidak mempunyai sandaran selain As-Sunnah. Kemudian beliau membaca firman Allah :
وَأَنَّ هَـذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيماً فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ
Artinya :
“Sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus. Karena itu, ikutilah jalan tersebut! Janganlah kamu mengikuti jalan-jalan lain, karena jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan kamu dari jalanNya” [Al-An’am : 153]
Ibnul Qayyim berkata dalam kitab Madarijus Salikin (III/179), “Sebagian imam kaum muslimin pernah ditanya mengenai as-Sunnah. Mereka menjawab, ‘Sebuah nama yang tidak mempunyai sandaran melainkan As-Sunnah itu sendiri.’ Maksudnya bahwa Ahlus Sunnah tidak mempunyai nama yang dijadikan penisbatan selain As-Sunnah”.
Dalam kitab Al-Intiqa` (hal.35) karya Ibnu Abdil Barr, disebutkan bahwa pernah ada seseorang bertanya kepada Imam Malik. Orang tersebut bertanya, ‘Siapakah Ahlus Sunnah?’. Beliau menjawab, “Ahlus Sunnah adalah orang yang tidak mempunyai julukan tertentu untuk mengidentifikasikan diri mereka. Mereka bukanlah Jahmiyun (julukan untuk pengikut aliran Jahmiyah), tidak pula Qadari (julukan untuk pengikut aliran Qadariyah), juga bukan Rafidhi (julukan untuk pengikut aliran Rafidhah)”.
Tidak diragukan lagi, menjadi kewajiban Ahlus Sunnah di setiap zaman dan di setiap tempat untuk saling bersatu dan saling berkasih sayang di antara mereka, serta saling tolong menolong dalam perkara kebajikan dan takwa.
Akan tetapi, sungguh amat disayangkan, sekarang ini banyak muncul pertentangan dan perselisihan di kalangan Ahlus Sunnah. Sebagian dari mereka sibuk mencela saudaranya sesama Ahlus Sunnah, memprovokasi orang-orang untuk menjauhi, dan terkadang melakukan tindakan boikot terhadapnya. Padahal sudah semestinya energi mereka dikerahkan total untuk menghadapi orang-orang yang bukan Ahlus Sunnah, yaitu kepada orang-orang kafir dan ahli bid’ah yang memusuhi Ahlus Sunnah. Adapun sesama Ahlus Sunnah hendaknya ditumbuhkan sikap saling lemah lembut dan saling berkasih sayang. Kalau umpamanya suatu ketika mereka perlu mengingatkan saudaranya yang salah, itupun hendaknya dilakukan dengan cara yang halus dan lembut.
Memperhatikan keadaan yang seperti itu, saya memandang perlu menulis beberapa nasehat untuk mereka. Saya memohon kepada Allah Azza wa Jalla, semoga Dia berkenan memberikan manfaat dari kalimat-kalimat yang akan saya sampaikan ini.
Dengan tulisan ini saya tidak lain hanyalah bermaksud mengadakan perbaikan semampu saya. Dan tulisan ini hanya akan membawa manfaat bila mendapat taufik dari Allah Ta’ala. Hanya kepada Allah saya bertawakkal, dan hanya kepadaNya-lah saya kembali.
Selanjutnya, risalah ini saya beri judul : RIFQAN AHLUSSUNNAH BI AHLISSUNNAH [Lemah Lembut Sesama Ahlus Sunnah]
Saya bermohon semoga Allah memberi taufik dan keteguhan kepada saya, juga kepada semuanya, serta memperbaiki hubungan diantara mereka, mempertautkan hati mereka, menunjuki mereka jalan keselamatan, dan mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan do’a.

* * *



NIKMAT MAMPU BERBICARA DAN MENJELASKAN
Sesungguhnya kenikmatan yang Allah Ta’ala berikan kepada hamba-hambanya tak terhitung dan terhingga banyaknya. Termasuk salah satu nikmat agung yang dikaruniakan oleh Allah kepada kita, adalah nikmat mampu berbicara. Dengan kemampuan tersebut seseorang bisa mengutarakan keinginannya, mampu menyampaikan perkataan yang benar, dan memerintahkan yang ma’ruf serta mencegah yang mungkar dengan lisannya. Siapa yang tidak dikaruniai kenikmatan ini (yaitu orang bisu, red.), jelas dia tidak akan mampu melakukan hal di atas. Dia hanya bisa berkomunikasi dan bertukar pemahaman dengan orang lain melalui perantara isyarat, atau perantara tulisan, itupun jika dia memiliki kemampuan menulis. Allah Ta’ala berfirman :
وَضَرَبَ اللّهُ مَثَلاً رَّجُلَيْنِ أَحَدُهُمَا أَبْكَمُ لاَ يَقْدِرُ عَلَىَ شَيْءٍ وَهُوَ كَلٌّ عَلَى مَوْلاهُ أَيْنَمَا يُوَجِّههُّ لاَ يَأْتِ بِخَيْرٍ هَلْ يَسْتَوِي هُوَ وَمَن يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَهُوَ عَلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
Artinya :
“Dan Allah membuat perumpamaan dua orang lelaki, yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatupun dan dia menjadi beban bagi penanggungnya, kemana saja dia suruh oleh penanggungnya itu dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikan pun. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan yang berada di atas jalan yang lurus?” [An-Nahl : 76]
Tentang tafsir ayat ini, ada yang mengatakan bahwa Allah memberikan permisalan perbandingan antara diriNya dengan berhala yang disembah. Adapula yang mengatakan bahwa Allah memberi permisalan antara orang kafir dan orang yang beriman. Imam Qurthubi menjelaskan dalam kitab tafsirnya (IV/149), “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa penjelasan-penjelasan tersebut semuanya baik, karena telah tercakup”.
Permisalan di atas secara jelas menerangkan kekurangan seorang budak bisu yang tidak mampu memberikan manfaat kepada orang lain. Pemiliknya pun tidak mampu mengambil manfaat kapan dia membutuhkannya. Allah Ta’ala berfirman :
فَوَرَبِّ السَّمَاء وَالأَرْضِ إِنَّهُ لَحَقٌّ مِّثْلَ مَا أَنَّكُمْ تَنطِقُونَ
Artinya :
“Demi Rabb langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi), seperti perkataan yang kamu ucapkan” [Adz-Dzariyat : 23]
Allah bersumpah dengan diriNya tentang pastinya kedatangan hari kebangkitan dan pembalasan amal manusia, sebagaimana pastinya ucapan yang menjadi perwujudan dari orang yang berbicara. Pada ayat tersebut Allah Ta’ala memaparkan sebagian karuniaNya dalam bentuk nikmat ucapan,
Allah Ta’ala juga berfirman
خَلَقَ الإِنسَانَ ، عَلَّمَهُ الْبَيَانَ
Artinya :
“Dia menciptakan manusia, )dan( mengajarinya berbicara” [Ar-Rahman : 3-4]
Al-Hasan Al-Bashri menafsirkan bahwa al-bayan (penjelasan) maknanya adalah berbicara. Jadi, Allah Ta’ala menyebutkan nikmat berbicara ini, karena dengan berbicara manusia bisa mengutarakan apa yang diinginkannya.

Allah Ta’ala berfirman.
أَلَمْ نَجْعَل لَّهُ عَيْنَيْنِ ، وَلِسَاناً وَشَفَتَيْنِ
Artinya :
“Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah dan dua buah bibir?” [Al-Balad : 8-9]

Ibnu Katsir menjelaskan dalam kitab tafsirnya tentang firman Allah Ta’ala, “Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata”, maksudnya dengan kedua mata tersebut dia mampu melihat; “dan lidah” yaitu dengan lidahnya dia mampu berbicara, mampu mengungkapkan apa yang tersimpan dalam hatinya; “dan kedua bibirnya”, yaitu dengan bibirnya dia dapat mengucapkan sebuah perkataan, atau memakan makanan, juga sebagai penghias wajah dan mulutnya.”
Akan tetapi, kita tahu bahwa nikmat berbicara ini akan menjadi kenikmatan yang hakiki, apabila digunakan untuk membicarakan hal-hal yang baik. Apabila digunakan untuk perkara yang buruk, maka hal itu justru akan menjadi musibah bagi pemiliknya. Dalam keadaan seperti itu, maka orang yang tidak diberi nikmat berbicara, lebih baik keadaannya dibandingkan dengan orang yang menggunakan nikmat ini dalam perkara yang buruk.

* * *


MENJAGA LISAN AGAR SELALU BERBICARA BAIK

Allah Ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً ، يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً عَظِيماً
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan siapa mentaati Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar” [Al-Ahzab : 70-71]
Dalam ayat lain disebutkan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضاً أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa. Janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentu kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” [Al-Hujurat : 12]

Allah Ta’ala juga berfirman :
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ ، إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ ، مَا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
Artinya :
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk disebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” [Qaf : 16-18]
Begitu juga firman Allah Ta’ala :
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَاناً وَإِثْماً مُّبِيناً
Artinya :
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesunguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata” [Al-Ahzab : 58]
Dalam kitab Shahih Muslim hadits no.2589, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bertanya kepada para sahabat,
أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ؟ ، قَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ ، قَالَ : ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ، قِيلَ : أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ؟ ، قَالَ : إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ .
“Tahukah kalian apa itu ghibah ?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.“ Beliau berkata, “Ghibah adalah engkau menceritakan hal-hal tentang saudaramu yang tidak dia suka.” Ada yang menyahut, “Bagaimana apabila yang saya bicarakan itu benar-benar ada padanya?” Beliau menjawab, “Bila demikian itu berarti kamu telah melakukan ghibah terhadapnya, sedangkan bila apa yang kamu katakan itu tidak ada padanya, berarti kamu telah berdusta atas dirinya.”
Allah 'Azza wa Jalla berfirman :
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً
Artinya :
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung jawaban” [Al-Israa : 36]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلاَثًا وَيَكْرَهُ لَكُمْ ثَلاَثًا ، فَيَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ ، وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ، وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا ، وَيَكْرَهُ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ ، وَإِضَاعَةِ الْمَالِ
“Sesungguhnya Allah meridhai kalian pada tiga perkara dan membenci kalian pada tiga perkara pula. Allah meridhai kalian pada perkara (1) menyembah Allah semata dan (2) tidak mempersekutukannya, serta berpegang teguh pada tali (agama) Allah seluruhnya dan janganlah berpecah belah. Dan Allah membenci kalian pada perkara (1) berkata tanpa dasar (qila wa qala), (2) banyak bertanya (yang tidak berfaidah), serta (3) menyia-nyiakan harta”
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنْ الزِّنَا ، مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ ، فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ ، وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاسْتِمَاعُ ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ ، وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا ، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى ، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
“Setiap anak Adam tertimpa zina yang tidak akan bisa dielakkannya. Zina pada mata adalah melihat, zina pada telinga adalah mendengar, zina lidah adalah berucap kata, zina tangan adalah meraba, zina kaki adalah melangkah, zina hati pada syahwat dan angan-angan, sementara kemaluanlah yang membuktikan semua itu atau mengurungkannya”

Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahihnya, hadits no.10, dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Muslim itu adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat dari ganguan lisan dan tangannya”

Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Muslim no.64 dengan lafaz.lain, “Bahwa ada seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :
أَيُّ الْمُسْلِمِينَ خَيْرٌ ؟ قَالَ : مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
‘Siapakah orang muslim yang paling baik?’ Beliau menjawab, ‘Seseorang yang orang-orang muslim lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya’.”

Hadits diatas juga diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir hadits no. 65, dengan lafaz seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan hadits tersebut. Beliau berkata, “Hadits ini bersifat umum bila dinisbatkan kepada lisan. Hal itu karena lisan memungkinkan berbicara tentang apa yang telah lalu, yang sedang terjadi sekarang dan juga yang akan terjadi saat mendatang. Berbeda dengan tangan, pengaruh tangan tidak seluas pengaruh lisan. Walaupun demikian, tangan bisa juga memberikan pengaruh yang luas sebagaimana lisan, yaitu melalui tulisan. Dan pengaruh tulisan juga tidak kalah hebatnya dengan pengaruh tulisan”
Oleh karena itu, dalam sebuah sya’ir disebutkan :
Aku menulis dan aku yakin pada saat aku menulisnya
Tanganku kan lenyap, namun tulisan tanganku kan abadi
Bila tanganku menulis kebaikan, kan diganjar setimpal
Jika tanganku menulis keburukan, tinggal menunggu balasan.

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya hadits no. 6474 dari Sahl bin Sa’id Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ
“Siapa bisa memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) apa yang ada diantara dua janggutnya dan dua kakinya, maka kuberikan kepadanya jaminan masuk surga”

Yang dimaksud dengan apa yang ada di antara dua janggutnya adalah mulut, sedangkan apa yang ada di antara kedua kakinya adalah kemaluan.

Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya no.6475, dan Muslim dalam kitab Shahihnya no.74 meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam”

Imam Nawawi berkomentar tentang hadits ini saat memaparkan hadits-hadits Arba’in. Beliau bertutur, “Imam Syafi’i menjelaskan bahwa maksud hadits ini, apabila seseorang hendak berucap maka berpikirlah terlebih dahulu. Jika diperkirakan perkataannya tidak akan membawa mudharat, maka silahkan dia berbicara. Akan tetapi, jika diperkirakan perkataannya itu akan membawa mudharat atau ragu apakah membawa mudharat atau tidak, maka hendaknya dia menahan ucapannya”. Sebagian ulama berkata, “Seandainya kalian yang membelikan kertas untuk para malaikat yang mencatat amal kalian, niscaya kalian akan lebih banyak diam daripada berbicara”.

Imam Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busti berkata dalam kitabnya Raudhah Al-‘Uqala` wa Nuzhah Al-Fudhala` hal.45, “Orang yang berakal selayaknya lebih banyak diam daripada bicara. Berapa banyak orang yang menyesal, ketika ia bicara. Dan betapa sedikitnya orang yang menyesal karena diam. Orang yang paling lama deritanya, dan paling besar musibahnya adalah orang yang lisannya senantiasa berbicara, sedangkan pikirannya tidak mau jalan.”

Pada hal.47, beliau berkata pula, “Orang yang berakal seharusnya lebih banyak mempergunakan kedua telinganya daripada mulutnya. Dia perlu menyadari bahwa dia diberi telinga dua, sedangkan diberi mulut hanya satu, adalah supaya dia lebih banyak mendengar daripada berbicara. Seringkali orang menyesal di kemudian hari karena perkataan yang diucapkannya, sementara diamnya tidak akan pernah membawa penyesalan. Dan menarik diri dari perkataan yang belum diucapkan adalah lebih mudah, dari pada menarik perkataan yang telah terlanjur diucapkan. Hal itu karena biasanya apabila seseorang tengah berbicara, maka perkataan-perkataannya akan menguasai dirinya. Sebaliknya, bila tidak sedang berbicara maka dia akan mampu mengontrol perkataan-perkataannya.

Pada hal. 49, beliau menambahkan, “Lisan seorang yang berakal berada di bawah kendali hatinya. Ketika dia hendak berbicara, maka dia akan bertanya terlebih dahulu kepada hatinya. Apabila perkataan tersebut bermanfaat bagi dirinya, maka dia akan bebicara, tetapi apabila tidak bermanfaat, maka dia akan diam. Adapun orang yang bodoh, hatinya berada di bawah kendali lisannya. Dia akan berbicara apa saja yang ingin diucapkan oleh lisannya. Seseorang yang tidak bisa menjaga lidahnya, berarti tidak paham terhadap agamanya”.

Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya no.6477 dan Muslim dalam kitab Shahihnya no.2988 , dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيهَا يَهْوِي بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
“Sesungguhnya seorang hamba berucap suatu perkataan yang tidak dipikirkan dampak buruknya, akan menyeretnya ke dalam neraka, yang jauhnya melebihi jarak antara timur dengan barat”

Dan di akhir hadits wasiat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada Muadz Radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no.2616, dinilai sebagai hadits hasan shahih. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ
“Bukankah tidak ada yang menjerumuskan orang ke dalam neraka selain buah lisannya ?”

Perkataan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di atas adalah sebagai jawaban atas pertanyaan Mu’adz Radhiyallahu ‘anhu :
يَا نَبِيَّ اللَّهِ وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ
“Wahai Nabi Allah, apakah kita kelak akan dihisab atas apa yang kita katakan ?”

Al-Hafidz Ibnu Rajab Rahimahullah mengomentari hadits ini dalam kitab Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam (II/147), “Yang dimaksud dengan buah lisannya adalah balasan dan siksaan disebabkan dari perkataan-perkataannya yang haram. Sesungguhnya setiap orang yang hidup di dunia, (hakikatnya) sedang menanam kebaikan atau keburukan dengan perkataan dan amal perbuatannya. Kemudian pada hari kiamat kelak, dia akan menuai apa yang dia tanam. Siapa yang menanam sesuatu yang baik dari ucapannya maupun perbuatan, maka dia akan menunai kemuliaan. Sebaliknya, siapa yang menanam sesuatu yang jelek dari ucapan maupun perbuatan maka kelak akan menuai penyesalan”.

Beliau juga berkata dalam kitab yang sama (hal.146), “Hal ini menunjukkan bahwa menjaga lisan dan senantiasa mengontrolnya, merupakan pangkal segala kebaikan. Dan barangsiapa yang mampu menguasai lisannya, maka sesungguhnya dia telah mampu menguasai, mengontrol dan mengatur semua urusannya”.

Kemudian pada hal.149 beliau menukil perkataan Yunus bin Ubaid, “Tidaklah kulihat seorang yang mampu menguasai lisannya dalam keadaan apapun, melainkan aku melihat hal tersebut menjadikan baik seluruh amalnya.”

Diriwayatkan bahwa Yahya bin Abi Katsir pernah berkata, “Tidaklah seorang yang baik perkataannya melainkan aku mengetahui (akan berefek baik) pada amal-amal perbuatannya. Dan tidaklah seorang yang buruk perkataannya, melainkan aku mengetahui (akan berefek buruk) pada amal-amal perbuatannya”.

Muslim meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya no.2581 dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ ؟ قَالُوا : الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ . فَقَالَ : إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ ، وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا ، وَقَذَفَ هَذَا ، وَأَكَلَ مَالَ هَذَا ، وَسَفَكَ دَمَ هَذَا ، وَضَرَبَ هَذَا ، فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ ، وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ ، فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ، ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ .
“Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut itu?” Para sahabat pun menjawab, “Orang yang bangkrut adalah orang yang tidak memiliki dirham maupun harta benda lainnya.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya orang yang bangkrut di kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa dan zakat, tetapi ia juga datang membawa dosa, berupa perbuatan mencela, menuduh, memakan harta, menumpahkan darah dan memukul orang lain. Kelak kebaikan-kebaikannya akan diberikan kepada orang yang terzalimi. Apabila amalan kebaikannya sudah habis diberikan, sementara belum selesai pembalasan tindak kezalimannya, maka diambillah dosa-dosa yang terzalimi itu, lalu diberikan kepadanya. Kemudian dia pun dicampakkan ke dalam neraka.”

Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang panjang dalam kitab Shahihnya no.2564 dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, maka dipenghujung hadits tersebut berbunyi :
بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنْ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
“Cukuplah seseorang dikatakan buruk, jika sampai menghina saudaranya sesama muslim. Seorang muslim wajib manjaga darah, harta dan kehormatan muslim lainnya.”

Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya hadits no.1739 dan begitu juga oleh Muslim , dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah pernah berkhutbah pada hari nahar (Idul Adha). Dalam khutbah tersebut beliau bertanya kepada manusia yang hadir saat itu, “Hari apakah ini?” Mereka menjawab, “Hari haram”. Beliau bertanya lagi, “Negeri apakah ini?” Mereka menjawab, “Negeri Haram”. Beliau bertanya lagi, “Bulan apakah ini?” Mereka menjawab, “Bulan haram”. Selanjutnya beliau bersabda :
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا ، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا ، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا ، فَأَعَادَهَا مِرَارًا ، ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ ، فَقَالَ : اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ ؟ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ ؟
“Maka sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian haram bagi masing-masing kalian (menodainya), sebagaimana haramnya hari kalian ini, di negeri kalian ini, pada bulan kalian ini. Beliau mengulangi ucapan tersebut berulang kali, lalu mengangkat wajahnya serya berkata, “Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan (amanat-Mu)? Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikan (amanat-Mu) ?”

Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma mengomentari perkataan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di atas, “Demi Allah yang jiwaku berada di tanganNya, sesungguhnya ini adalah wasiat beliau untuk umatnya. Lalu beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berpesan kepada kita, ‘Oleh karena itu, hendaklah yang hadir memberitahukan kepada yang tidak hadir. Janganlah kalian kembali kepada kekafiran sepeninggalku nanti, yaitu kalian saling memenggal leher’.”

Muslim meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya no.2674 dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنْ الأَجْرِ ، مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا ، وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ ، كَانَ عَلَيْهِ مِنْ الإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
“Siapa yang mengajak kepada kebaikan, maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang mengajak kepada kesesatan, maka baginya dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya,tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun.”

Al-Hafidz Al-Mundziri Rahimahullah dalam kitab At-Targhib wa At-Tarhib (I/65), mengulas hadits tersebut, “Apabila seorang manusia wafat, maka terputuslah jalan amal kecuali tiga perkara ..…dst (al-Hadits)”. Beliau meneruskan, “Orang yang membukukan ilmu-ilmu yang bermanfaat, akan mendapatkan pahala dari perbuatannya sendiri, dan pahala dari orang yang membaca, menulis dan mengamalkannya, berdasarkan hadits ini dan hadits yang semisalnya. Begitu pula, orang-orang yang menulis hal-hal yang membuahkan dosa, maka dia akan mendapatkan dosa dari perbuatannya sendiri dan dosa dari orang-orang yang membaca, menulis atau mengamalkannya, berdasarkan hadits yang telah dipaparkan di muka (dalam kitabnya tersebut, yaitu At-Targhib wa At-Tarhib. Pent), mengenai :
مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً أَوْ سَيِّئَةً
“Siapa yang merintis perbuatan yang baik atau yang buruk, maka …”

Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya no.6505 dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
إِنَّ اللَّهَ قَالَ : مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا ، فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ .
“Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Siapa yang memusuhi kekasih-Ku, maka kuizinkan ia untuk diperangi’.”



* * *


HUKUM BERBURUK SANGKA DAN MENCARI-CARI KESALAHAN

Allah Ta’ala berfirman.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضاً أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain” [Al-Hujurat : 12]
Dalam ayat ini terkandung perintah untuk menjauhi kebanyakan berprasangka, karena sebagian tindakan berprasangka ada yang merupakan perbuatan dosa. Dalam ayat ini juga terdapat larangan berbuat tajassus yaitu mencari-cari kesalahan-kesalahan atau kejelekan-kejelekan orang lain, yang biasanya merupakan efek dari prasangka yang buruk.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ ، وَلاَ تَحَسَّسُوا ، وَلاَ تَجَسَّسُوا ، وَلاَ تَحَاسَدُوا ، وَلاَ تَبَاغَضُوا ، وَلاَ تَدَابَرُوا ، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا
“Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena sesungguhnya prasangka buruk adalah sedusta-dusta ucapan. Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan, saling memata-matai, saling mendengki, saling membenci, dan saling membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari hadits no. 6064 dan Muslim hadits no. 2563]
Amirul Mukminin Umar bin Khathab berkata, “Janganlah engkau berprasangka terhadap perkataan yang keluar dari saudaramu yang mukmin, kecuali dengan persangkaan yang baik. Dan hendaknya engkau selalu membawa perkataannya itu kepada prasangka-prasangka yang baik”
Ibnu Katsir menyebutkan perkataan Umar di atas, saat menafsirkan sebuah ayat dalam surat Al-Hujurat.
Bakar bin Abdullah Al-Muzani yang biografinya bisa kita dapatkan dalam kitab Tahdzib At-Tahdzib berkata : “Berhati-hatilah kamu terhadap suatu ucapan yang seandainya kamu benar di dalamnya, maka kamu tidak diganjar pahala. Namun seandainya kamu salah di dalamnya, maka kamu berdosa. Yaitu prasangka buruk terhadap saudaramu”
Disebutkan dalam kitab Al-Hilyah karya Abu Nu’aim (II/285), bahwa Abu Qilabah Abdullah bin Yazid Al-Jarmi berkata: “Apabila ada berita tentang tindakan saudaramu yang tidak kamu sukai, maka berusaha keraslah mancarikan alasan untuknya. Apabila kamu tidak mendapatkan alasan untuknya, maka katakanlah kepada dirimu sendiri, ‘Saya kira saudaraku itu mempunyai alasan yang tepat, yang tidak saya ketahui (sehingga melakukan perbuatan tersebut)’.”
Sufyan bin Husain berkata, “Aku pernah menyebutkan kejelekan seseorang di hadapan Iyas bin Mu’awiyyah. Beliaupun memandangi wajahku seraya berkata, “Apakah kamu pernah ikut memerangi bangsa Romawi?” Aku menjawab, “Tidak”. Beliau bertanya lagi, “Kalau memerangi bangsa Sind, Hind (India) atau Turki?” Aku juga menjawab, “Tidak”. Beliau berkata, “Apakah layak, bangsa Romawi, Sind, Hind dan Turki selamat dari kejelekanmu, sementara saudaramu yang muslim tidak selamat dari kejelekanmu?” Setelah kejadian itu, aku tidak pernah mengulangi lagi perbuatan seperti itu” [Lihat Kitab al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibnu Katsir (XIII/121)]
Komentar saya, “Alangkah baiknya jawaban dari Iyas bin Mu’awiyah yang terkenal cerdas itu. Dan jawaban di atas merupakan salah satu contoh dari kecerdasan beliau”.
Abu Hatim bin Hibban Al-Busti bekata dalam kitab Raudhah Al-‘Uqala (hal.131), ”Orang yang berakal wajib mencari keselamatan untuk dirinya dengan meninggalkan perbuatan tajassus (menggali-gali) aib-aib orang lain, dengan mefokuskan diri dalam memperbaiki kelemahan-kelemahannya sendiri. Sesungguhnya orang yang sibuk memikirkan keburukan dirinya sendiri dan melupakan keburukan orang lain, maka hatinya akan tenteram dan tidak akan merasa letih. Setiap kali dia melihat kejelekan yang ada pada dirinya, maka dia akan merasa kehinaan yang sama tatkala melihat kejelekan yang serupa ada pada saudaranya. Sementara orang yang senantiasa sibuk memperhatikan kejelekan orang lain, dan melupakan kejelekannya sendiri, maka hatinya akan buta, badannya akan merasa letih, dan akan sulit baginya meninggalkan kejelekan dirinya”.

Beliau juga berkata di hal.133, “Tajassus adalah cabang dari kemunafikan, sementara itu prasangka yang baik merupakan cabang dari keimanan. Orang yang berakal (al-aqil) akan berprasangka baik kepada saudaranya, dan tidak mau membuatnya sedih dan berduka. Sedangkan orang yang bodoh (al-jahil) akan selalu berprasangka buruk kepada saudaranya dan tidak segan-segan berbuat jahat dan membuatnya menderita”.

* * *
BERKASIH SAYANG DAN LEMAH LEMBUT

Allah menjelaskan bahwa Nabi-Nya, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai orang yang memiliki akhlak yang agung. Allah Ta’ala berfirman.
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
Artinya :
“Sungguh, kamu mempunyai akhlak yang agung” [Al-Qalam:4]
Allah juga menjelaskan bahwa beliau merupakan seorang yang penuh kasih sayang dan lembut. Allah Ta’ala berfirman :
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظّاً غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ
Artinya :
“Dengan sebab rahmat Allah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentu mereka menjauh dari sekelilingmu” [Ali Imran : 159]
Allah juga menjelaskan bahwa beliau merupakan seorang yang penyayang, dan memiliki rasa belas-kasih terhadap orang-orang yang beriman. Allah Ta’ala berfirman :
لَقَدْ جَاءكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ
Artinya :
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, yang berat memikirkan penderitaanmu, sangat menginginkan kamu (beriman dan selamat), amat belas kasihan, lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min” [At-Taubah : 128]
Rasulullah memerintahkan dan menganjurkan kita agar senantiasa berlaku lemah lembut. Beliau bersabda.
يَسِّرُوا وَلا تُعَسِّرُوا، وَبَشِّرُوا وَلا تُنَفِّرُوا
"Mudahkanlah dan jangan kalian persulit. Berilah kabar gembira dan jangan kalian membuat orang lari (menjauh)”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari no.69 dan Muslim no.1734, dari Anas bin Malik. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim no.1732 dari jalan Abu Musa dengan lafaz :
بَشِّرُوا وَلا تُنَفِّرُوا وَيَسِّرُوا وَلا تُعَسِّرُوا
”Berilah kabar gembira dan janganlah kalian membuat mereka lari, mudahkanlah dan janganlah kalian persulit.”
Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya no.220 meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah berkata kepada para sahabatnya –dalam hadits ini mengisahkan seorang Arab Badui yang kencing di masjid- :
دَعُوهُ وَهَرِيقُوا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلاً مِنْ مَاءٍ أَوْ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ ، فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ
“Biarkanlah dia!. Tuangkanlah saja seember air di tempat yang dikencinginya, Sesungguhnya kalian diutus untuk mempermudah, bukan untuk mempersulit.”
Al-Bukhari meriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha hadits no.6927 bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
يَا عَائِشَةُ إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الْأَمْرِ كُلِّهِ
“Wahai Aisyah! Sesungguhnya Allah itu Maha lembut, dan mencintai kelembutan di dalam semua urusan”
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim no.2593 dengan lafaz :
يَا عَائِشَةُ إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ وَيُعْطِي عَلَى الرِّفْقِ مَا لاَ يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ وَمَا لاَ يُعْطِي عَلَى مَا سِوَاهُ
“Wahai Aisyah, sesungguhnya Allah itu Maha lembut dan mencintai kelembutan. Allah memberi kepada kelembutan hal-hal yang tidak diberikan kepada kekerasan dan sifat-sifat lainnya”
Muslim meriwayatkan hadits dalam kitab Shahihnya no.2594 dari Aisyah, Nabi bersabda.:
إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ
“Sungguh, segala sesuatu yang dihiasi kelembutan akan nampak indah. Sebaliknya, tanpa kelembutan segala sesuatu akan nampak jelek”
Muslim juga meriwayatkan hadits no. 2592 dari Jabir bin Abdullah bahwa Nabi bersabda :
مَنْ يُحْرَمْ الرِّفْقَ يُحْرَمْ الْخَيْر
“Siapa yang tidak memiliki sifat lembut, maka tidak akan mendapatkan kebaikan”.

Allah pernah memerintahkan dua orang nabiNya yang mulia yaitu Musa dan Harun untuk mendakwahi Fir’aun dengan lembut. Allah Ta’ala berfirman :
اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى ، فَقُولاَ لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
Artinya :
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, karena dia telah berbuat melampui batas. Berbicaralah kepadanya dengan kata-kata yang lembut, mudah-mudahan ia mau ingat atau takut” [Thaha : 43-44]
Allah Ta’ala juga menjelaskan bahwa para sahabat yang mulia senantiasa saling berkasih sayang. Allah Ta’ala berfirman.
مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاء عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاء بَيْنَهُمْ
Artinya :
“Muhammad itu adalah utusan Allah. Orang-orang yang selalu bersamanya bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka” [Al-Fath:29]

* * *


SIKAP AHLUS SUNNAH TERHADAP KESALAHAN ULAMA

Sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak ada seorangpun yang ma’shum (terbebas dari kesalahan). Demikian pula orang 'alim mana pun, dia tidak akan lepas dari kesalahan. Seseorang yang terjatuh dalam kesalahan, janganlah kesalahannya itu dimanfaatkan untuk mendiskriditkan orang tersebut. Dan tidak boleh kesalahannya itu, dijadikan sebagai sarana untuk menguliti kejelekannya yang lain dan melakukan tahdzir terhadapnya. Seharusnya kesalahannya yang sedikit itu, dima’afkan mengingat banyaknya kebenaran yang dia miliki. Jikalah ada ulama yang telah meninggal dunia, ternyata ada pendapatnya yang salah, maka kita tetap dapat mengambil manfaat dari ilmunya, tetapi jangan mengikuti pendapatnya yang salah, dan tetap mendo’akan serta mengharap kepada Allah agar mencurahkan rahmat kepadanya. Adapun bila orang yang pendapatnya salah itu masih hidup, apakah dia seorang ulama atau sekedar penuntut ilmu, maka kita ingatkan kesalahannya itu secara lembut, dengan harapan dia bisa mengetahui kesalahannya sehingga dia kembali kepada kebenaran.
Diantara deretan daftara ulama yang telah wafat sementara mereka tercatat memiliki kesalahan dalam masalah-masalah akidah, yaitu Al-Baihaqi, An-Nawawi dan Ibnu Hajar Al-Asqalani. Meskipun demikian, ulama dan para penuntut ilmu tetap memanfaatkan ilmunya. Bahkan, karya-karyanya menjadi rujukan penting bagi orang-orang yang bergelut dalam bidang ilmu-ilmu agama.
Tentang Al-Imam Ahmad bin Husain Abu Bakar al-Baihaqi, Adz-Dzahabi memberi komentar dalam kitab As-Siyar (XVIII/163 dan seterusnya), Adz-Dzahabi menuturkan, “Beliau adalah seorang penghafal hadits, sangat tinggi ilmunya, teguh pendirian, ahli hukum dan tuan guru umat Islam”.
Adz-Dzahabi menambahkan, “Beliau adalah orang yang diberkahi ilmunya, dan mempunyai karya-karya yang bermanfaat”. Ditambahkan pula, “Beliau pergi ke luar dari negerinya dalam rangka mengumpulkan hadits dan membuat karya tulis. Beliau mengarang kitab As-Sunan Al-Kubra dalam 10 (sepuluh) jilid. Tidak ada orang yang menandingi beliau”.
Adz-Dzahabi juga menyebutkan bahwa Al-Baihaqi memiliki karya-karya tulisan lainnya yang sangat banyak. Kitabnya As-Sunan Al-Kubra telah dicetak dalam 10 (sepuluh) jilid tebal. Ia menukil perkataan Al-Hafizh Abdul Ghafur bin Ismail tentang Al-Baihaqi. Katanya, “Karya-karya beliau hampir mencapai 1000 (seribu) juz (jilid). Suatu prestasi yang belum ada seorangpun yang menandingi. Beliau membuat metode penggabungan ilmu hadits dan fikih, penjelasan tentang sebab-sebab cacatnya sebuah hadits (‘ilal al-hadits), serta cara menggabungkan antara hadits yang terlihat saling bertentangan”.
Imam Adz-Dzahabi juga menuturkan, “Karya-karya Al-Baihaqi sangat besar nilainya, sangat luas faedahnya. Amat sedikit orang yang mampu mempunyai karya tulis seperti beliau. Sudah selayaknya para ulama memperhatikan karya-karya beliau, terutama kitabnya yang berjudul As-Sunan Al-Kubra”.
Adapun tentang Imam An-Nawawi, Adz-Dzahabi mengomentarinya dalam kitab Tadzkirah Al-Huffaz (IV/259). Adz-Dzahabi berkata, “Beliau adalah seorang imam, penghafal hadits yang ulung, teladan bagi ummat, tuan guru umat Islam, dan penghulu para wali. Beliau memiliki karya-karya yang bermanfaat.”
Ditambahkan pula, “Beliau juga seorang yang bersungguh-sungguh dalam memegang teguh agamanya, sangat menjaga sifat wara’, dan sangat berhati-hati sampai pada perkara yang remeh sekalipun, selalu membersihkan jiwa dari noda dan kotoran. Beliau adalah seorang penghapal hadits dan ahli dalam segala cabang-cabang ilmu hadits; ilmu tentang periwayatan hadits, keshahihan dan kecacatan hadits. Beliau juga seorang tokoh terkemuka dalam wawasan madzhab (Syafi’i)”.
Ibnu Katsir mengatakan dalam Al-Bidayah Wa An-Nihayah (XVII/540), “Kemudian beliau memfokuskan perhatian kepada tulis menulis. Banyak karya tulis yang telah dibuat beliau. Karya-karya beliau ada yang sudah selesai dan utuh, namun ada pula yan belum rampung. Karya-karya beliau yang sudah selesai dan utuh diantaranya : Syarah Muslim, Ar-Raudah, Al-Minhaj, Riyadush Shalihin, Al-Adzkar, At-Tibyan, Tahrir At-Tanbih wa Tashhihih, Tahdzib Al-Asma’ wa Al-Lughat, Thabaqat Al-Fuqaha dan yang lain-lain. Adapun kitab-kitab beliau yang belum rampung penulisannya di antaranya adalah : kitab Syarah Al-Muhadzdzab yang dinamakan Al-Majmu’. Kitab ini seandainya bisa beliau selesaikan niscaya menjadi kitab yang tiada bandingannya. Pembasahan kitab ini baru sampai pada bab riba. Beliau menulis kitab tersebut dengan sangat menarik, baik dan bermanfaat. Dalam kitab ini, fikih dibahas dalam perspektif madzhabnya maupun yang di luar madzhabnya. Beliau juga membahas hadits-hadits sebagaimana mestinya; diterangkan kata-kata yang asing (gharib), tinjauan-tinjauan bahasa, serta berbagai hal penting lainnya yang tidak ditemukan dalam kitab lainnya. Belum pernah saya menemukan pembahasan kitab fiqih sebagus kitab tersebut, sekalipun kitab tersebut masih perlu banyak penambahan dan penyempurnaan”.
Walaupun karya-karya beliau sangat banyak, namun umur beliau cukup muda. Beliau hidup hanya sampai umur empat puluh lima tahun. Beliau lahir pada tahun 631H dan wafat pada tahun 676H.
Adapun Ibnu Hajar Al-Asqalani, beliau adalah seorang imam yang masyhur dengan karya-karyanya yang banyak. Karya beliau yang terpenting adalah kitab Fathul Bari yang merupakan kitab syarah (penjelasan) dari kitab Shahih Al-Bukhari. Kitab tersebut menjadi kitab rujukan yang penting bagi para ulama. Kitab-kitab beliau yang lain adalah Al-Ishabah, Tahdzib At Tahdzib, Taqrib At Tahdzib, Lisan Al Mizan, Ta’jil Al Manfa’ah, Bulughul Maram, dan lain-lain.
Di antara ulama dewasa ini (yang tergelincir dalam kesalahan) adalah Syaikh Al’Alamah Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Beliau adalah seorang pakar hadits. Tak ada seorang pun yang menandingi beliau dalam hal perhatiannya terhadap ilmu hadits. Beliau terjatuh dalam kesalahan di beberapa perkara menurut kebanyakan ulama. Di antara kesalahan beliau adalah pendapatnya dalam masalah hijab. Beliau berpendapat bahwa menutup wajah bagi wanita bukanlah sauatu kewajiban, tetapi sunnah saja. Dalam perkara ini, kalau pun yang beliau katakana adalah benar, namun kebenaran tersebut dikatagorikan sebagai kebenaran yang selayaknya disembunyikan , karena berakibat banyak dari kaum wanita yang akan meremehkan masalah menutup wajah. Begitu pula perkataan beliau dalam kitab Shifat Shalat Nabi, “Sesungguhnya meletakkan kedua tangan di atas dada pada saat i’tidal (berdiri setelah bangkit dari ruku’) adalah termasuk bid’ah yang sesat”, padahal masalah tersebut termasuk permasalahan yang diperselisihkan (khilafiyah). Begitu pula perkataan yang beliau sebutkan dalam kitab Silsilah Adh-Dhaifah, hadits no. 2355, bahwa tidak memotong jenggot yang melebihi satu genggaman adalah termasuk bid’ah idhafiyah. Begitu pula pendapat beliau yang mengharamkan emas melingkar bagi seorang wanita .
Akan tetapi, meskipun saya mengingkari pendapat beliau dalam masalah-masalah tersebut, namun saya dan begitu juga selain saya bukan berarti tidak memerlukan lagi karya-karya bukunya, bahkan tetap mengambil manfaat dari buku-buku beliau (sebagai rujukan, pent). Alangkah bagusnya perkataan Imam Malik, “Semua orang bisa diambil atau ditolak ucapannya kecuali pemilik kubur ini.” Beliau menunjuk ke arah kubur Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Penjelasan di atas memberikan gambaran bagaimana para ulama memaafkan (bertoleransi) kepada ulama lain yang terjatuh dalam kesalahan. Pemberian ma’af tersebut mereka berikan karena banyak kebenaran yang dimiliki ulama tersebut.
Sa’id bin Al-Musayyab (wafat 93H) berkata, “Tidaklah seorang ulama, dan tidak pula orang yang mulia, demikian pula dengan orang yang memiliki keutamaan melainkan (pasti) memiliki aib (kekurangan). Namun, siapa yang keutamaannya lebih banyak dari kekurangannya, maka kekurangannya itu akan tertutup oleh keutamaannya. Sebaliknya, orang yang kekurangannya mendominasi, maka keutamaannya pun akan tertutupi oleh kesalahannya itu” Ulama salaf lain berkata, “Tidak seorang ulama pun yang terbebas dari kesalahan. Siapa yang sedikit salahnya dan banyak benarnya maka dia adalah seorang ‘alim (berilmu). Dan siapa yang salahnya lebih banyak dari benarnya maka dia adalah orang yang jahil (bodoh)” [Lihat Jami’ Bayan Fadhli Al-Ilmi karya Ibnu Abdil Barr (II/48).
Abdullah bin Al-Mubarak (wafat 181H) berkata, ”Apabila kebaikan seorang lebih menonjol daripada keburukannya,maka keburukannya tidak perlu disebutkan. Sebaliknya, apabila keburukan seseorang lebih menonjol daripada kebaikannya maka kebaikannya tidak perlu disebutkan” [Lihat kitab Siyar A'lam An Nubala' karya Adz-Dzahabi, VIII/ 352, cetakan pertama]
Imam Ahmad (wafat 241 H) berkata, “Tidak ada seorangpun yang melewati jembatan (keluar) dari Khurasan seperti Ishak bin Ruhawaih, meskipun beliau berselisih dengan kami dalam banyak hal. Manusia memang akan senantiasa saling berbeda pendapat” [Lihat kitab Siyar A’lam An-Nubala’ XI/ 371]
Abu Hatim ibnu Hibban (wafat 354H) berkata, “Abdul Malik –yaitu anak dari Abu Sulaiman- adalah termasuk penduduk Kuffah yang terbaik dan termasuk seorang penghafal hadits. Tetapi, orang-orang yang menghafal dan meriwayatkan hadits darinya biasanya akan salah. Dan bukan termasuk sikap yang adil, yaitu meninggalkan seluruh hadits dari seorang syaikh yang kokoh hapalannya dan telah jelas kejujurannya, hanya karena beberapa kesalahannya dalam meriwayatkan hadits. Kalau kita menempuh cara seperti ini, maka konsekuensinya adalah kita akan meninggalkan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Az-Zuhri, Ibnu Juraij, Ats-Tsauri, dan Syu’bah. Karena mereka adalah para penghafal hadits yang kokoh hapalannya, dan orang-orang meriwayatkan hadits dari hafalan mereka, namun demikian mereka bukanlah orang yang ma’shum (terjaga dari kesalahan) sehingga maungkin saja mereka terjatuh dalam kesalahan. Jadi, tindakan yang tepat dalam konteks seperti ini adalah menerima riwayatnya yang valid (tsabit) dan meninggalkan periwayatan yang jelas-jelas mengandung kecacatan di dalamnya. Ini apabila kesalahan mereka tidak mendominasi, sehingga mengalahkan dominasi kebenaran yang ada padanya. Seandainya kesalahan mereka yang lebih mendominasi, dalam keadaan semacam ini maka periwayatan mereka sepantasnya ditinggalkan” [Lihat kitab Ats-Tsiqat, VII/ 97-98]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (wafat 728 H) bertutur, “Perlu diketahui bahwa kelompok-kelompok yang menisbatkan kepada figur-figur tertentu dalam masalah ushuluddin (pokok-pokok agama) dan juga kelompok ahli kalam, mereka terdiri dari beberapa tingkatan. Di antara mereka ada yang menyelisihi sunnah pada masalah-masalah yang sangat prinsipil, dan ada juga yang menyelisihi sunnah pada persoalan-persoalan rinciannya.
Bila ada dari mereka yang membantah kebatilan kelompok lainnya yang lebih menyimpang dari sunnah, maka kita puji bantahan mereka dan kebenaran yang mereka ucapkan. Namun sayangnya, terkadang mereka melampui batas dalam menyampaikan bantahan tersebut. Terkadang dalam bantahan tersebut mereka menyalahi kebenaran dan mengatakan hal-hal yang batil. Terkadang mereka membantah bid’ah yang besar dengan bid’ah yang lebih ringan; membantah kebatilan dengan kebatilan yang lebih ringan. Ini sering kita jumpai di kalangan ahli kalam yang menisbatkan diri mereka kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Orang-orang seperti mereka itu, meskipun perbuatan bid’ahnya tidak membuat mereka keluar dari jama’ah kaum muslimin, tetapi karena bid’ah tersebut mereka jadikan dasar saling loyal dan saling memusuhi, maka tetap saja perkara tersebut dianggap sebagai suatu kesalahan. Namun Allah mengampuni orang-orang mu’min yang melakukan kesalahan seperti ini.
Banyak para Salaf dan para imam yang terjatuh pada kesalahan yang semacam itu. Mereka lontarkan perkataan-perkataan berdasarkan ijtihad mereka yang ternyata bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Tetapi tindakan para Salaf tadi, berbeda dengan orang-orang yang mau loyal terhadap orang-orang yang menyetujui pendapatnya, sementara memusuhi orang-orang yang menyelisihi pendapatnya, serta memecah belah jama’ah kaum muslimin, mengkafirkan dan memberi lebel fasiq; bahkan menghalalkan jiwa orang-orang yang menyelisihi mereka dalam perkara-perkara yang didasarkan pada pendapat dan ijtihad. Mereka ini adalah kelompok yang suka memecah belah dan senang bertengkar” [Lihat kitab Majmu ‘Al-Fatawa, III/ 348-349].
Beliau berkata pada halaman lain (XIX/191-192) , “Banyak para ulama ahli ijtihad dari kalangan Salaf maupun Khalaf, mereka mengatakan sebuah perkataan atau melakukan perbuatan yang termasuk kebid’ahan, sementara mereka tidak mengetahui bahwa perkara tersebut adalah bid’ah. Hal itu dikarenakan beberapa sebab:, di antaranya karena mereka menetapkan shahih sebuah hadits padahal sebenarnya dha’if, atau dikarenakan pemahaman yang salah terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Ada kalanya hal itu dikarenakan mereka berijtihad dalam sebuah masalah, padahal ada dalil-dalil yang menjelaskannya, namun dalil-dalil tersebut belum sampai kepada mereka. Apabila tindakan mereka itu masih dalam rangka melakukan ketakwaan kepada Allah semampu mereka, maka mereka termasuk dalam firman Allah Ta’ala.
رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
Artinya :
“Ya Robb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah” [Al-Baqarah:286]
Berkenaan dengan ayat di atas, dalam Shahih al-Bukhari disebutkan bahwa Allah menjawab, “Sungguh, Aku telah melakukannya.”
Adz-Dzahabi (wafat 748H) mengatakan, “Sesungguhnya seorang ulama besar, apabila kebenarannya lebih banyak, dan diketahui bahwa dirinya adalah pencari kebenaran, luas ilmunya, tampak kecerdasannya, dikenal kepribadiannya yang shalih, wara’ dan berusaha mengikuti sunnah, maka kesalahannya dimaafkan. Kita tidak boleh mencapnya sesat, tidak boleh memarjinalkannya, dan melupakan kebaikannya. Memang benar, kita tidak boleh mengikuti bid’ah dan kesalahannya. Kita do’akan semoga dia bertaubat dari perkara tersebut. [Lihat Siyar A’lam An-Nubala', V/271].
Beliau menambahkan, “Seandainya tiap kali seorang ulama berbuat kesalahan dalam jtihadnya di suatu permasalahan yang bisa dimaafkan, kemuaian kita bid’ahkan dan kita jauhi, maka tidak ada seorang ulama pun yang akan selamat darinya, apakah itu Ibnu Nashr, Ibnu Mandah, atau orang yang lebih hebat dari keduanya sekalipun. Allah yang memberi petunjuk kebenaran kepada makhluk-Nya, dan Dia adalah dzat Yang Maha Penyayang. Kami berlindung kepada Allah dari hawa nafsu dan perangai yang kasar” [Lihat Siyar A’lam An-Nubala' , XIV/ 39-40].
Beliau juga berkata, “Kalau setiap orang-orang yang salah berijtihad kemudian kita tahdzir dan kita bid’ahkan, padahal kita mengetahui bahwa dia memiliki iman yang benar dan berusaha keras mengikuti kebenaran, maka amat sedikit ulama yang selamat dari tindakan kita. Semoga Allah merahmati semuanya dengan karunia dan kemuliaan-Nya” [Lihat Siyar A’lam An-Nubala' XIV/376].
Beliau menambahkan, “Kami mencintai sunnah dan para pengikutnya. Kami mencintai ulama dikarenakan sikap mereka yang berusaha mengikuti sunnah dan juga sifat-sifat terpuji yang mereka miliki. Sebaliknya, kami membenci perkara-perkara bid’ah yang dilakukan ulama yang biasanya dihasilkan dari penakwilan-penakwilan. Sesungguhnya yang menjadi parameter adalah banyaknya kebaikan yang dimiliki” [Lihat Siyar A’lam An-Nubala', XX/ 46].
Ibnul Qayyim (wafat 751H) berkata, “Pengetahuan kita akan keutamaan para ulama Islam, kedudukan, hak-hak dan derajat mereka, dan bahwa keutamaan mereka, ilmu yang mereka miliki, dan keikhlasan yang mereka lakukan semata-mata karena Allah dan Rasul-Nya (memperjuangkan sunnahnya -red), namun itu semua tidaklah mengharuskan kita untuk menerima seluruh perkataan mereka. Begitu juga, apabila ada fatwa-fatwa mereka tentang permasalahan yang belum mereka ketahui dalil-dalinya, kemudian mereka berijtihad sesuai dengan ilmu yang mereka miliki, dan ternyata salah, maka hal itu tidak mengharuskan kita membuang seluruh perkataan mereka, atau mengurangi rasa hormat kita kepada mereka, atau bahkan sampai mencela mereka. Dua sikap di atas menyimpang dari sikap yang adil. Sikap yang adil adalah tengah-tengah di antara kedua sikap tersebut. Kita tidak boleh menganggap seseorang selalu dalam kesalahan dan juga tidak boleh menganggapnya sebagai orang yang ma’shum (terbebas dari kesalahan).”
Beliau menambahkan, “Siapa yang memiliki ilmu tentang syari’at dan kondisi riil masyarakat, maka dia akan mengetahui secara pasti bahwa seseorang yang terhormat, serta memiliki perjuangan dan usaha-usaha yang baik untuk Islam, bahkan mungkin seorang yang disegani di tengah-tengah umat Islam, bisa saja melakukan kekeliruan dan kesalahan yang bisa ditolerir, yang malah mendapatkan pahala karena telah berijtihad. Akan tetapi, kesalahan yang dilakukannya tidak boleh kita ikuti, dan dia tidak boleh dijatuhkan kehormatan dan kedudukannya dari hati kaum muslimin” [Lihat kitab I’lam Al-Muwaqqi’in, III/ 295].
Ibnu Rajab Al-Hambali (wafat 795H) berkata, “Allah Ta’ala enggan memberikan kema’shuman untuk kitab selain kitab-Nya. Orang yang adil adalah orang yang memaafkan kesalahan orang lain yang sedikit itu, karena banyak kebenaran yang ada padanya” [Lihat kitab Al-Qawa’id, hal. 3]

* * *




FENOMENA TAHDZIR, CELA-MENCELA SESAMA AHLUS SUNNAH DAN SOLUSINYA

Pada masa sekarang ini, ada sebagian Ahlus Sunnah yang sibuk menyerang Ahlus Sunnah lainnya dengan berbagai celaan dan tahdzir. Hal tersebut tentu mengakibatkan perpecahan, perselisihan dan sikap saling tidak akur. Padahal mereka saling cinta mencintai dan kasih sayang, serta bersatu padu dalam barisan yang kokoh untuk menghadapi para ahli bid’ah dan pengikut hawa nafsu yang menyelisihi Ahlus Sunnah. Adanya fenomena ini disebabkan dua hal :
Pertama. Ada sebagian Ahlus Sunnah pada masa sekarang ini yang menyibukkan diri mencari-cari kesalahan Ahlus Sunnah lainnya dan mendiskusikan kesalahan tersebut, baik yang terdapat di dalam tulisan maupun kaset-kaset ceramah. Kemudian bermodalkan informasi kesalahan-kesalahan tersebut, mereka melakukan tahdzir terhadap Ahlus Sunnah yang menurut mereka telah melakukan suatu kesalahan.
Salah satu sebab mereka melakukan tahdzir, adalah karena ada Ahlus Sunnah lain yang bekerja sama dengan salah satu yayasan yang bergerak dalam bidang keagamaan untuk mengadakan ceramah-ceramah atau seminar-seminar keagamaan. Padahal Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin pernah memberikan ceramah kepada pengurus yayasan keagamaan tersebut melalui telepon. Dan kerjasama Ahlus Sunnah lain dengan yayasan tersebut sebenarnya sudah dinyatakan boleh oleh dua ulama besar itu dengan fatwa.
Oleh karena itu, hendaknya mereka melakukan introspeksi terhadap diri mereka terlebih dahulu sebelum menyalahkan dan mencela pendapat orang lain; apalagi tindakan Ahlus Sunnah lain tadi bersumber dari fatwa ulama besar. Anjuran introspeksi diri seperti ini pernah disampaikan oleh sebagian Sahabat Rasulullah setelah dilangsungkannya perjanjian Hudaibiyah. Sebagian sahabat ada yang berkata,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ : اتَّهِمُوا الرَّأْيَ عَلَى الدِّينِ
“Wahai Manusia, periksalah rasionalitas akal kalian dalam masalah agama.”
Amat disayangkan, padahal mereka yang dicela itu telah banyak membantu masyarakat, baik melalui pelajaran-pelajaran yang disampaikan, karya-karya tulis, maupun khutbah-khutbahnya. Mereka ditahdzir hanya dikarenakan tidak membicarakan tentang si Fulan atau jamaah tertentu. Sayang sekali memang, fenomena cela-mencela dan tahdzir ini telah merambat ke negeri Arab. Ada di antara mereka yang terkena musibah ini, yang memiliki keilmuan yang luas dan memiliki usaha yang keras dalam menzhahirkan, menyebarkan dan menyeru kepada as-Sunnah. Tidak diragukan lagi bahwa tahdzir terhadap mereka telah menghalangi jalan bagi para penuntut ilmu dan orang-orang yang hendak menimba manfaat dari mereka, baik dari sisi keilmuannya maupun akhlak.
Kedua. Ada sebagian Ahlus Sunnah yang apabila melihat kesalahan Ahlus Sunnah lain, maka mereka menulis bantahannya, lalu pihak yang dibantah membalas bantahan tersebut dengan bantahan yang serupa. Pada akhirnya kedua belah pihak sibuk membaca tulisan-tulisan -yang lama maupun terbaru- pihak lawan, juga mendengarkan kaset-kaset ceramahnya, dalam rangka mencari kesalahan dan kejelekkan lawannya, padahal boleh jadi kesalahan-kesalahan tadi hanya disebabkan karena terpelesetnya lidah. Semua itu mereka lakukan secara perorangan atau secara berkelompok. Kemudian tiap-tiap pihak berusaha untuk memperbanyak pendukung yang bersikap membelanya dan merendahkan pihak lawannya. Kemudian para pendukung di tiap pihak berusaha keras membela pendapat pihak yang didukungnya dan mencela pendapat pihak lawannya. Merekapun memaksa setiap orang yang mereka temui untuk mempunyai sikap yang jelas terhadap orang-orang yang berada di pihak lawan.
Apabila orang tersebut tidak mau menunjukkan sikapnya secara jelas, maka dia pun dianggap masuk sebagai kelompok ahli bid’ah seperti kelompok lawannya. Sikap tersebut biasanya diikuti dengan sikap tidak akur satu pihak dengan pihak lainnya. Tindakan kedua belah pihak yang semacam itu merupakan pangkal muncul dan tersebarnya konflik pada skala yang lebih luas. Dan keadaan bertambah parah, karena pendukung masing-masing kelompok menyebarkan celaan-celaan tersebut di jaringan internet, sehingga para pemuda Ahlus Sunnah di berbagai negeri, bahkan lintas benua menjadi sibuk mengikuti perkembangan di website masing-masing pihak. Berita yang disebarkan oleh masing-masing pihak hanyalah berita-berita qila wa qala (desas-desus) saja, tidak jelas sumbernya, dan tidak mendatangkan kebaikan sedikit pun, bahkan hanya akan membawa kerusakan dan perpecahan. Sikap yang dilakukan para pendukung masing-masing pihak seperti orang yang bolak-balik di papan pengumuman untuk mengetahui berita terbaru yang ditempel. Mereka juga tidak ubahnya seperti supporter olahraga yang saling menyemangati kelompoknya. Permusuhan, kekacauan dan perselisihan sesama mereka merupakan akibat dari dihasilkan sikap-sikap seperti itu.

Solusi Permasalahan Ini
Ada beberapa solusi yang bisa diketengahkan dalam permaslahan ini.
Pertama. Berkaitan dengan cela-mencela dan tahdzir perlu diperhatikan beberapa perkara sebagai berikut :
1. Orang-orang yang sibuk mencela ulama dan para penuntut ilmu, hendaknya takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan tindakkannya tersebut. Mereka hendaknya lebih menyibukkan diri memperhatikan kejelekkan dirinya sendiri, agar bisa terbebas dari kejelekan orang lain. Mereka hendaknya berusaha menjaga kekalnya kebaikan yang dia miliki. Janganlah mereka mengurangi amal kebaikan mereka walaupun sedikit, yaitu dengan membagi-bagikannya kepada orang-orang yang dia cela. Karena mereka sebenarnya sangat membutuhkan kebaikan daripada yang lainnya di hari dimana harta dan anak-anak takkan berguna kecuali orang yang datang kepada Allah Ta’ala dengan hati yang selamat. [Maksudnya pada hari kiamat, -pent].
2. Hendaknya mereka berhenti melakukan cela-mencela dan tahdzir, lalu menyibukkan diri memperdalam ilmu yang bermanfaat; bersemangat dan bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu agar bisa manfaat dari ilmu tersebut dan menyampaikannya kepada orang lain yang membutuhkannya. Hendaknya mereka menyibukkan diri dengan kegiatan keilmuan, baik dengan belajar-mengajar, berdakwah atau menulis. Semua itu jelas lebih membawa kebaikan. Jika mereka melakukan tindakan-tindakan yang baik seperti itu, tentu mereka dikatakan sebagai orang-orang yang membangun. Jadi, janganlah mereka sibuk mencela sesama Ahlus Sunnah, baik yang ulama maupun penuntut ilmu, karena hal itu akan menutup jalan bagi orang-orang yang mendapatkan manfaat keilmuan dari mereka. Perbuatan-perbuatan seperti itu adalah temasuk perbuatan-perbuatan yang merusak. Orang-orang yang sibuk dengan tindakan cela-mencela seperti itu, setelah mereka meninggal dunia tidak akan meninggalkan bekas ilmu yang bermanfaat, dan manusia tidak merasa kehilangan para ulama yang ilmunya bermanfaat bagi mereka, bahkan sebaliknya, dengan kematian mereka manusia merasa selamat dari keburukan.
3. Para penuntut ilmu dari kalangan Ahlus Sunnah hendaknya menyibukkan diri dengan kegiatan keilmuan seperti membaca buku-buku yang bermanfaat, mendengarkan kaset-kaset ceramah para ulama Ahlus Sunnah seperti Syaikh bin Baz, Syaikh Ibnu Utsaimin, daripada sibuk menelepon fulan atau si Fulan bertanya, “Bagaimana pendapatmu tentang Fulan atau Fulan?” atau “Bagaimana komentarmu tentang pernyataan Fulan terhadap si Fulan, dan tanggapan si Fulan terhadap si Fulan?”
4. Berkaitan dengan pertanyaan tentang orang-orang yang sibuk dalam bidang keilmuan, mereka boleh dimintai fatwa atau tidak, selayaknya hal tersebut ditanyakan kepada pimpinan Lembaga Fatwa di Riyadh. Dan siapa yang mengetahui keadaan pribadi-pribadi tertentu, hendaknya mau melayangkan surat kepada pimpinan Lembaga Fatwa yang berisi penjelasan tentang keadaan mereka untuk dijadikan bahan pertimbangan. Hal itu dimaksudkan agar sumber penilaian cacatnya seseorang dan tahdzir, apabila memang harus dikeluarkan, maka yang mengeluarkan adalah lembaga yang berkompeten dalam masalah fatwa dan berwenang menjelaskan tentang siapa-siapa yang dapat diambil ilmunya dan dimintai fatwa. Tidak diragukan lagi bahwa lembaga yang dijadikan sebagai rujukan fatwa dalam berbagai problem, juga selayaknya dijadikan sebagai sumber rujukan untuk mengetahui siapa yang boleh dimintai fatwa dan diambil ilmunya. Dan janganlah seseorang menjadikan dirinya sebagai tempat rujukan dalam perkara yang sangat penting ini, karena sesungguhnya termasuk tanda bagusnya keislaman seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat bagi dirinya.
Kedua. Berkaitan dengan cara membantah orang yang melakukan kekeliruan pendapat perlu diperhatikan beberapa perkara sebagai berikut :
1. Hendaknya bantahan tersebut dilakukan dengan penuh keramahan dan kelemah-lembutan, disertai keinginan yang kuat untuk menyelamatkan orang yang salah tersebut dari kesalahannya, apabila kesalahannya memang jelas tampak. Selayaknya seseorang yang hendak membantah pendapat orang lain merujuk bagaimana cara Syaikh bin Baz tatkala melakukan bantahan, untuk kemudian diterapkannya.
2. Apabila kesalahan orang yang dibantah tadi masih samar, mungkin benar atau mungkin juga salah, maka selayaknya masalah tersebut dikembalikan kepada pimpinan Lembaga Fatwa untuk diberi keputusan hukumnya. Adapun apabila kesalahannya telah jelas, maka wajib bagi orang yang dibantah tersebut untuk meninggalkannya. Kerena kembali kepada kebenaran adalah lebih baik dari pada tetap tenggelam dalam kebatilan.
3. Apabila seseorang telah membantah orang lain, maka berarti dia telah menunaikan kewajiban dirinya, maka hendaknya dia tidak menyibukkan diri mengikuti gerak-gerik orang yang dibantah. Sebaliknya, dia selayaknya menyibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat, baik bagi dirinya maupun orang lain. Begitulah sikap yang dicontohkan oleh Syaikh bin Baz.
4. Seorang penuntut ilmu tidak boleh berusaha mengidentifikasi orang lain mengenai keberpihakannya kepada si Fulan (yang dibantah) atau kepadanya (yang membantah); apabila sepakat dengannya maka dia selamat; namun apabila tidak sepakat maka dibid’ahkan dan diboikotnya. Tidak dibolehkan seorang pun menisbatkan fenomena tabdi’ (pembid’ahan) dan hajr (pemboikotan) yang kacau seperti ini sebagai bagian dari manhaj Ahlus Sunnah. Dan siapa pun tidak diperbolehkan mempersepsikan orang yang tidak menempuh jalan yang ngawur ini sebagai orang yang tidak bermanhaj salaf. Boikot (hajr) yang dilakukan dalam manhaj Ahlus Sunnah adalah boikot yang memberikan manfaat bagi orang yang diboikot, seperti boikot seorang bapak kepada anaknya, seorang syaikh kepada muridnya, dan boikot dari pihak yang memiliki kedudukan dan derajat yang lebih tinggi kepada orang-orang yang menjadi bawahannya. Boikot-boikot seperti itu akan memberikan manfaat bagi orang yang diboikot. Namun apabila boikot itu bersumber dari seorang penuntut ilmu kepada penuntut ilmu yang lain, lebih-lebih pada perkara yang tidak selayaknya seseorang diboikot, maka boikot seperti itu bukannya memberikan manfaat bagi orang yang diboikot, tetapi malah akan menimbulkan permusuhan, saling membelakangi dan saling menghalangi. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam kitab Majmu’ Fatawa (III/413-414), ketika beliau berkomentar tentang Yazid bin Mu’awiyah. Beliau bertutur, “Pendapat yang benar adalah pendapat yang dikemukakan oleh para imam, yaitu bahwa Yazid bin Mu’awiyah tidak perlu dicintai secara khusus, namun juga tidak boleh dilaknat. Meskipun dia seorang yang fasiq atau zalim, mudah-mudahan Allah mengampuni orang yang fasiq dan zalim, terlebih lagi dia telah melakukan kebaikan yang besar.
Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab Sahihnya dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda :
‘Pasukan pertama yang memerangi tentara Konstatin akan diampuni dosa-dosanya.’
Dan pasukan pertama yang memerangi tentara Konstatin dipimpin oleh Yazid bin Mu’awiyah, dan saat itu Abu Ayyub Al-Anshari ikut dalam pasukan tersebut….
Karena itu, selayaknya kita bersikap adil dalam permasalahan tersebut. Kita tidak boleh mencela Yazid bin Mu’awiyah dan memata-matai seseorang dalam bersikap terhadapnya, karena sikap seperti itu adalah perbuatan bid’ah yang bertentangan dengan manhaj Ahlus sunnah Wal Jama’ah.”
Dalam kitab yang sama (III/415), beliau juga berkata, “Sikap semacam itu juga akan memecah belah umat Islam. Disamping itu, sikap itu tidak diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.”
Masih dalam kitab yang sama (XX/ 164), beliau juga berkata : “Tidak boleh seorang pun menjadikan orang lain sebagai figur yang harus diikuti dan sebagai standar dalam loyalitas atau permusuhan selain Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tidak diperkenankan pula seseorang menjadikan sebuah perkataan pun sebagai barometer untuk loyalitas dan permusuhan selain perkataan Allah dan Rasul-Nya serta ijma’ kaum muslimin. Cara-cara seperti ini adalah termasuk perbuatan ahli bid’ah. Para ahli bid’ah biasa menjadikan figur atau sebuah perkataan sebagai tolak ukur. Mereka berteman ataupun bermusuhan dengan dasar perkataan atau figur tersebut. Akhirnya hanya memecah-belah umat Islam.”
Beliau berkata (XXVIII:15-16), “Para pendidik tidak boleh mengkotak-kotakkan umat Islam, dan melakukan perbuatan yang hanya akan menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka. Bahkan yang seharusnya dilakukan adalah saling menolong atas dasar kebaikan dan takwa, sebagaimana difirmankan Allah Ta’ala :
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan Tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” [QS. Al-Maidah: 2]
Al-Hafizh Ibnu Rajab ketika menjelaskan hadist yang berbunyi :
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
“Termasuk tanda baiknya keislaman seseorang (adalah) meninggalkan sesuatu yang tak berguna baginya.”
Dalam kitab Jami’ Al ‘Ulum wa Al ‘Hikam (I/288), beliau memaparkan, “Hadist ini merupakan landasan penting dalam masalah adab. Imam Abu Amru bin Ash-Shalah menceritakan bahwa Abu Muhammad bin abu Zaid, salah seorang imam madzhab Maliki di zamannya, pernah berkata: ‘Adanya berbagai macam adab kebaikan, bercabang dari empat hadist ini, yaitu hadist Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Siapa yang beriman kepada Allah Ta’ala dan hari Akhir, hendaklah ia mengucapkan perkataan yang baik atau diam (saja).”
Lalu hadits:
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
“Termasuk tanda baiknya keislaman seseorang (adalah) meninggalkan sesuatu yang tak berguna baginya.”
Lalu hadist Rasulullah yang mengandung wasiatnya yang singkat:
لاَ تَغْضَب
“Jangan marah,”
Kemudian yang terakhir hadist:
المُؤْمِنُ يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Seorang mukmin mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya (sendiri).”
Saya berkata, “Betapa perlunya para penuntut ilmu dengan adab-adab di atas, karena adab-adab tersebut jelas akan mendatangkan kebaikan dan manfaat bagi diri mereka sendiri dan orang lain. Para penuntut ilmu juga perlu menjauhi sikap dan kata-kata yang kasar, yang hanya akan membuahkan permusuhan, perpecahan, saling membenci dan mencerai-beraikan persatuan.
5. Menjadi kewajiban bagi setiap penuntut ilmu untuk menasehati dirinya sendiri, agar berhenti mengikuti tulisan-tulisan di internet yang memuat komentar kedua belah pihak dalam masalah ini. Hendaknya mereka memanfaatkan dan memperhatikan website yang lebih bermanfaat seperti website milik Syaikh Abdul Aziz bin Baz yang berisi tela`ah pembahasan-pembahasan ilmiah keagamaan dan fatwa-fatwa beliau yang sampai sekarang telah mencapai dua puluh satu jilid. Website lain yang lebih bermanfaat untuk mereka adalah website Fatawa al-Lajnah ad-Da`imah lil Buhuts al-Ilmiyyah wal Ifta’ (Fatwa-Fatwa Komite Tetap Dewan Riset Ilmiah dan Fatwa) yang hingga kini telah mencapai dua puluh jilid; begitu pula website Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin yang berisi tela'ah kitab-kitab dan fatwa-fatwanya yang banyak dan luas.

* * *


PENUTUP
Sebagai penutup, saya berpesan kepada seluruh para penuntut ilmu agar bersyukur kepada Allah, karena atas taufik-Nya semata mereka bisa menjadi seorang penuntut ilmu. Sebab itu, hendaknya mereka senantiasa menjaga keikhlasan dalam menuntut ilmu dan mau mengorbankan segala yang berharga, termasuk jiwa-raganya, dalam rangka mendapatkan ilmu tersebut. Hendaknya mereka memanfaatkan waktunya untuk menyibukkan diri dengan kegiatan keilmuan, karena ilmu tidak bisa didapat dengan berangan-angan atau tenggelam dalam kemalasan dan keterlenaan. Yahya bin Abu Katsir Al-Yamani berkata,
لاَ يُسْتَطَاعُ الْعِلْمُ بِرَاحَةِ الْجِسْمِ
“Ilmu tidak akan didapatkan dengan bersantai-santai.” {HR. Muslim)
Sungguh banyak ayat-ayat Al-Qur`an dan hadits-hadits Nabi yang menerangkan keutamaan ilmu dan orang yang memilikinya. Allah Ta'ala berfirman :
شَهِدَ اللّهُ أَنَّهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ وَالْمَلاَئِكَةُ وَأُوْلُواْ الْعِلْمِ
Artinya :
“Allah dan para malaikat serta orang-orang yang berilmu menyatakan (bersaksi) bahwa tiada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia (Allah).” [Ali-Imran : 18}
Allah Ta'ala juga berfirman :
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ
Artinya :
“Katakanlah, ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’.” [Az-Zumar : 10]
Allah Ta'ala juga berfirman :
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
Artinya :
“Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat.” [Al-Mujadalah : 11]
Allah Ta'ala juga berfirman.
وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْماً
Artinya :
“Dan katakanlah, ‘Ya Rabb, tambahkanlah ilmuku’.” [Thaha : 114]
Hadits-hadits mengenai masalah tersebut, di antaranya adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :
مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Siapa yang dikehendaki oleh Allah untuk mendapatkan limpahan kebaikan yang banyak, niscaya Allah akan memberi kefahaman kepadanya dalam masalah agama[Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari no.71 dan Muslim no. 1037].
Hadits ini menunjukkan tentang salah tanda-tanda bahwa Allah hendak memberikan kebaikan pada seorang hamba, yaitu dengan memberikan pemahaman dalam masalah agama. Karena dengan kepahamannya dalam masalah agama, maka dirinya akan menyembah Allah Ta’ala berlandaskan ilmu, dan juga mendakwahkan orang lain berdasarkan ilmu juga.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda :
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” [Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 5027].
Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda :
إِنَّ اللَّهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ
”Sesungguhnya Allah mengangkat derajat sebuah kaum dengan kitab (Al-Quran) ini dan merendahkan yang lain dengan kitab ini pula. [Hadits Riwayat Muslim no. 817]
Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda :
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِي فَوَعَاهَا ثُمَّ أَدَّاهَا كَمَا سَمِعَهَا
“Allah membaguskan orang yang mendengar perkataanku kemudian menghafalnya dan melaksanakan sebagaimana yang ia dengar.”
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda :
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
”Siapa yang menempuh perjalanan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mengantarkannya pada salah satu jalan menuju surga. Sesungguhnya malaikat merentangkan sayap-sayapnya karena ridha kepada seluruh penuntut ilmu. Penghuni langit dan bumi, sampai ikan sekalipun yang ada di kedalaman air memohonkan ampunan untuk seorang berilmu. Keutamaan seorang al-alim (berilmu) dibandingkan seorang al-‘abid (ahli ibadah) seperti keutamaan cahaya bulan purnama dibandingkan cahaya seluruh bintang-bintang. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi, namun mereka tidak mewariskan dinar maupun dirham. Mereka hanyalah mewariskan ilmu. Siapa yang mengambilnya, sungguh ia telah mengambil bagian yang banyak.
Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga bersada :
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ : إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
”Apabila seorang manusia meninggal maka terputuslah pahala segala amalannya kecuali dari tiga perkara ; yaitu harta sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya. [Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim no. 1631]
Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda :
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنْ الأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا ، وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنْ الإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا .
“Siapa yang menyeru kepada petunjuk, maka ia akan mendapatkan pahala sebanyak pahala orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala mereka. Siapa yang menyeru kepada kesesatan, maka ia akan menanggung dosa sebanyak dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi sedikitpun dari dosa mereka. [Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim no. 2674]
Pada kesempatan ini, saya wasiatkan pula kepada siapa saja agar mengisi waktu dan umurnya dengan hal-hal yang mendatangkan kebaikan bagi manusia. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
‫نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ ‬
“Dua kenikmatan yang kebanyakan manusia sering terpedaya dengannya, yaitu nikmat sehat dan waktu lapang.”
Saya wasiatkan juga kepada semuanya agar senantiasa menyibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat dan meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat, karena Rasulullah bersabda :
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
“Termasuk tanda baiknya keislaman seseorang (adalah) meninggalkan sesuatu yang tak berguna baginya.” Hadits hasan, diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (2317) dan selainnya. Dan hadits ini merupakan hadits ke-12 dari kumpulan 40 hadits (al-Arba’in), karya Imam an-Nawawi.
Saya juga berwasiat agar kalian berlaku adil dan bersikap tengah-tengah, tidak berlebih-lebihan dan juga tidak meremeh-remehkan, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ فَإِنَّهُ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الْغُلُوُّ فِي الدِّينِ
“Berhati-hati kalian terhadap sikap berlebih-lebihan dalam agama; Ketahuilah, binasanya orang-orang sebelum kalian (disebabkan) sikap berlebih-lebihan (mereka) dalam beragama.”
Saya juga berwasiat agar kalian waspada terhadap perbuatan zhalim, berdasarkan hadits qudsi :
يَا عِبَادِي! إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلَا تَظَالَمُوا
Wahai para hambaKu, sesungguhnya Aku telah mengharamkan kezaliman atas diriKu, dan Aku telah menjadikan sikap zalim sebagai sesuatu yang diharamkan untuk kalian. Karena itu, janganlah kalian saling menzalimi. [Hadits tersebut diriwayatkan oleh Muslim no. 2577]
Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :
اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Berhati-hatilah kalian atas tindak kezaliman; Sesungguhnya kezaliman membawa kegelapan pada hari kiamat. [Hadits tersebut diriwayatkan oleh Muslim no. 2578].
Saya memohon kepada Allah Azza wa Jalla semoga berkenan memberikan taufiq-Nya kepada kita semua, untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan beramal dengannya, serta mendakwahkannya dengan keterangan yang jelas.
Semoga Allah mengumpulkan kita semua dalam kebenaran dan petunjuk, dan menyelamatkan kita semuanya dari berbagai bencana, baik yang nyata maupun yang tersembunyi. Sesungguhnya Allah Maha Penolong dalam hal tersebut dan Maha kuasa.
Semoga Allah Ta’ala melimpahkan shalawat dan salam serta keberkahan kepada hamba dan Rasul-Nya, Nabi kita Muhammad dan kepada keluarga serta para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti mereka secara ihsan hingga hari kemudian. Amin.

* * *
- Selesai akhir buku -


PERINGATAN
Penjelasan tentang Rifqan Ahlas Sunnah. Untuk siapakah Syaikh menujukannya? “Risalah yang aku tulis terakhir ini yaitu Rifqan Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah tidaklah ada korelasinya dengan yang telah aku sebutkan di dalam Madarikun Nazhar. Risalahku Rifqan Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah tidaklah dimaksudkan untuk Ikhwanul Muslimin, tidak pula dimaksudkan untuk orang-orang yang terfitnah dengan Sayyid Quthb, dan selainnya dari para harakiyyin. Tidak pula dimaksudkan untuk orang-orang yang terfitnah dengan fiqh waqi’, para pencela penguasa dan orang-orang yang merendahkan para ulama, tidak dimaksudkan untuk mereka, baik yang dekat maupun jauh. Sesungguhnya risalahku ini, aku peruntukkan untuk Ahlus Sunnah saja!!! Mereka yang berada di atas jalan Ahlus Sunnah, yang tengah terjadi di tengah mereka sekarang ini, perselisihan dan sibuknya mereka antara satu dengan lainnya dengan tajrih, hajr (mengisolir) dan mencela.
Dalam kesempatan lain, Syaikh juga berkata :
”Jadi, saya katakan kembali bahwa risalah ini tidaklah ditujukan bagi kelompok ataupun firqoh yang menyelisihi manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, ataupun jalannya Ahlus Sunnah. Bahkan risalah ini ditujukan kepada kalangan Ahlus Sunnah yang mereka disibuki antara satu dengan lainnya sesama Ahlus Sunnah, dengan penilaian jarh, hajr, mencari-cari kesalahan serta mentahdzir orang-orang karena penilaian kesalahan-kesalahan ini. Jika ada dua orang mulai berselisih, mereka pun berpecah menjadi dua kelompok, kelompok yang ini berbangga diri dengan tokoh ini, dan kelompok itu berbangga diri dengan tokoh itu. Sehingga muncullah fenomena hajr (isolir) dan muqatha’ah (memutuskan hubungan) antara satu dengan lainnya sesama pengikut Ahlus Sunnah di setiap tempat karena adanya perselisihan ini.
Hal ini termasuk bencana dan fitnah yang paling besar. Sehingga Ahlus Sunnah akan terpecah belah berdasarkan pernyataan ketidaksepakatan antara tokoh ini dan tokoh itu; apa yang fulan katakan terhadap fulan dan fulan!!! Apa pendapatmu tentang fulan dan fulan! Atau bagaimana sikapmu terhadap fulan dan fulan! Jika jawabanmu selaras dengan pendapat mereka, maka kamu akan selamat. Dan jika kamu tidak memiliki pendapat yang sepandangan dengan mereka, maka kamu akan dilabeli dengan sebutan mubtadi’ (ahli bid’ah), hajr (pemboikotan) segera dilakukan, dan Ahlus Sunnah akan terpecah belah menjadi kelompok-kelompok yang mengenaskan !!! Inilah yang melatarbelakangi maksud penulisan risalah ini (Rifqan).
Telah diketahui bersama bahwa risalah ini tidaklah menyeru harakiyin, karena harakiyun senang jika Ahlus Sunnah sibuk antara satu dengan lainnya, hingga mereka merasa selamat dari Ahlus Sunnah, hal ini disebabkan kita menyibukkan diri antar sesama Ahlus Sunnah. Risalah ini menyerukan ishlah (perbaikan) tentang hal-hal yang tengah melanda kita, agar kita lebih berlemah lembut antar sesama, dan berupaya untuk membenahi antara satu dengan lainnya. Ini yang terbetik di dalam fikiran saya tentang latar belakang penulisan risalah ini.
Namun mereka dari kalangan harakiyun dan hizbiyun, yang jelas-jelas menyelisihi jalan Ahlus Sunnah, mereka sangat bergembira dengan perselisihan yang terjadi diantara kita. Karena ketika Ahlus Sunnah sibuk dengan sesamanya, mereka menjadi aman dari Ahlus Sunnah. Jadi..... perpecahan dan perselisihan diantara Ahlus Sunnah inilah yang mereka kehendaki.....”

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar