Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy1
PENDAHULUAN
Pemberdayaan ekonomi Ummat Islam melalui pelaksanaan ibadah zakat masih banyak menemui hambatan yang bersumber terutama dari kalangan Ummat Islam itu sendiri. Kesadaran pelaksanaan zakat masih di kalangan Ummat Islam masih belum diikuti dengan tingkat pemahaman yang memadai tentang ibadah yang satu ini, khususnya jika diperbandingkan dengan ibadah wajib lainnya seperti sholat dan puasa. Kurangnya pemahaman tentang jenis harta yang wajib zakat dan mekanisme pembayaran yang dituntunkan oleh syariah Islam menyebabkan pelaksanaan ibadah zakat menjadi sangat tergantung pada masing-masing individu. Hal tersebut pada gilirannya mempengaruhi perkembangan institusi zakat, yang seharusnya memegang peranan penting dalam pembudayaan
ibadah zakat secara kolektif agar pelaksanaan ibadah harta ini menjadi lebih efektif dan efisien.
Berdasarkan kondisi tersebut, maka pemasyarakatkan ibadah zakat yang dituntunkan oleh Syariah Islam perlu ditingkatkan. Salah satu karya besar mengenai zakat yang menjadi rujukan luas saat ini adalah Kitab Fikih Zakat, yang ditulis oleh Dr. Yusuf Qaradhawy, salah seorang Ulama Besar Mesir yang sangat terkenal karenaperhatiannya yang besar terhadap perkembangan sosial dan ekonomi Ummat Islam pada abad 21 ini.
Tulisan ini merupakan ringkasan selektif terhadap bab-bab dari kitab tersebut, yang sengaja dipilihkan untuk konsumsi kalangan masyarakat yang bergerak disektor industri dan jasa. Tulisan ini, pada awalnya dipostingkan secara berkala pada forum diskusi Isnet (Islamic Network), jaringan diskusi Islam melalui jaringan internet, pada akhir 1993. Agar dapat lebih banyak pemanfaataannya maka risalah kecil ini disusun sebagai langkah awal memahami zakat itu sendiri, sekaligus untuk mendorong keinginan untuk mengkajnya lebih jauh melalui kitab aslinya.
Semoga Allah senantiasa mencurahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada beliau. Dan semoga pula risalah ini bermanfaat bagi para pembaca sekalian dalam rangka meningkatkan kualitas ibadah yang menjadikan kita semua sebagai hamba-Nya yang bertaqwa, amiin.
Surat Al-Lail
Bismillahirrahmanirrahiim
Sesunguhnya usaha kamu memang berbeda-beda
Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertaqwa
dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga)
maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah
Dan adapun orang)orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup,
serta mendustakan pahala yang terbaik
maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar
Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa
Surat ini merupakan surat-surat pertama Makiyyah, mengandung dua perumpamaan yang memberikan suatu isyarah akan sikap Islam terhadap harta dan orang kaya; dan menjelaskan pula contoh akhlaq yang diperintahkan Islam dan yang akan mendapatkan ridha Allah SWT.
Golongan pertama adalah golongan yang memberikan hartanya di jalan Allah dan bertaqwa dan membenarkan adanya pahala terbaik (syurga). Terhadap golongan ini Allah memujinya dan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Jadi memberi adalah salah satu sifat yang disejajarkan dengan taqwa dan membenarkan kalimat terbaik. Quran memutlakan sifatnya dengan memberi dan tidak menyatakan apa yang diberikan, berapa yang diberikan dan macam apa yang diberikan, karena maksud utamanya adalah jiwanya itu adalah jiwa yang dermawan, mulia dan pemberi, bukannya jiwa yang hina dan tidak mau memberi.
Jiwa pemberi adalah jiwa yang bermanfaat dan jiwa yang baik, yang tabiatnya senantiasa mau berlaku baik dan memberikan kebaikan kepada orang lain. Ia memberikan yang terbaik, baik untuk dirinya maupun untuk orang lain, sehingga ia menyerupai sebuah sungai yang dimanfaatkan oleh manusia dengan meminumnya dan untuk diberikan kepada hewan ternak dan tanaman. Demikian pula dengan orang yang penuh keberkatan dimanfaatkan dimanapun ia berada, sehingga sebagai pembalasannya terhadap jiwanya yang mudah memberi itu, Allah SWT akan memudahkan masuk ke dalam syurga.
Sebagai tandingan golongan ini, golongan yang dicela Allah dan memudahkannya masuk ke dalam neraka, karena ia sifatnya bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan adanya pahala terbaik (syurga). Inilah golongan yang tercela karena kekikirannya terhadap hartanya dan menganggap dirinya cukup, tidak memerlukan pertolongan Allah dan pertolongan manusia serta membohongkan apa yang dijanjikan Allah SWT, yaitu akibat yang baik bagi orang-orang yang benar imannya.
Maka, Allah memperingatkan dengan neraka yang menyala-nyala,
Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka,
Yang mendustkan kebenaran dan berpaling dari iman.
Dan kelak akak dijauhkan orang yang bertaqwa dari neraka itu.
Yang menafkahkan hartanya di jalan Allah untuk membersihkannya,
Padahal tidak seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya.
Tetapi dia memberikan itu itu semata-mata karena mencari keridhaan Tuhannya
Yang Maha Tinggi.
Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan.
ISLAM DAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN
Perhatian Islam terhadap penanggulangan kemiskinan dan fakir miskin tidak dapat diperbandingkan dengan agama samawi dan aturan ciptaan manusia manapun, baik dari segi pengarahan maupun dari segi pengaturan dan penerapan. Semenjak fajarnya baru menyigsing di kota Mekkah, Islam sudah memperhatikan masalah social penanggulangan kemiskinan. Adakalanya Quran merumuskannya dengan kata-kata "memberi makan dan mengajak memberi makan orang miskin" atau dengan "mengeluarkan sebahagian rezeki yang diberikan Allah", "memberikan hak orang yang meminta-meminta, miskin dan terlantar dalam perjalanan", "membayar zakat" dan rumusan lainnya.
Memberi makan orang miskin yang meliputi juga memberi pakaian, perumahan dan kebutuhan-kebuthan pokoknya adalah merupakan realisasi dari keimananan seseorang (lihat surat Al Mudatsir, Al Haqqah). Quran tidak hanya menghimbau untuk memperhatikan dan memberi makan orang miskin, dan mengancam bila mereka dibiarkan terlunta-lunta, tetapi lebih dari itu membebani setiap orang Mu'min mendorong pula orang lain memperhatikan orang-orang miskin dan menjatuhkan hukuman kafir kepada orang-orang yang tidak mengerjakan kewajiban itu serta pantas menerima hukuman Allah di akhirat.
Tangkap dan borgol mereka, kemudian lemparkan ke dalam api neraka yang menyala-nyala, dan belit dengan rantai tujuh puluh hasta ! Mengapa mereka dihukum dan disiksa secara terang-terangan itu? Oleh karenamereka ingkar kepada Allah yang Maha Besar dan tidak menyuruh memberi makan orang-orang miskin.
(QS 69:30-34)
Dalam surat Al Fajr, Allah membentak orang-orang Jahiliah yang mengatakan bahwa agama mereka justru untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan berasal dari nenek moyang mereka, Ibrahim;
"Tidak, tetapi kalian tidak tidak menghormati anak yatim dan tidak saling mendorong memberi makan orang miskin. (QS 89:17-18)
Demikian pula pada surat Al Maun dimana dikatakan; orang yang mengusir anak yatim dan tidak mendorong memberi makan orang miskin" dikatakan sebagai orang yang mendustakan agama. Orang yang tidak pernah menghimbau orang lain untuk memberi makan orang miskin biasanya tidak pernah pula memberi makan orang miskin tersebut. Tuhan mengungkapkan dalam bentuk sindiran dengan tujuan apabila seseorang tidak mampu memenuhi harapan orang miskin, maka ia harus meminta orang lain melakukannya. Selanjutnya dalam surat Adz Dzariyat : 19-20
"Dalam kekayaan mereka tersedia hak peminta-minta dan orang-orang yang hidup berkekurangan"
Digambarkan disini orang-orang yang bertaqwa adalah orang yang menyadarai sepenuhnya bahwa kekayaan mereka bukanlah milik sendiri yang dapat mereka perlakukan semau mereka, tetapi menyadari bahwa di dalamnya terdapat hak-hak orang lain yang butuh. Dan hak itu bukan pula merupakan hadiah atau sumbangan karena kemurahan hati mereka, tetapi sudah merupakan hak orang-orang tsb. Penerima tidak bisa merasa rendah dan pemberi tidak bisa merasa lebih tinggi. Lihat pula surat Al Ma'arif (QS 70:19-25).
Ayat-ayat di atas diturunkan di Makkah, sementara zakat diwajibkan di Madinah. Dengan demikian, sejak saat-saat awal kurun Makkah, Islam telah menanamkan kesadaran di dalam dada orang-orang Islam bahwa ada hakhak orang yang berkekurangan dalam harta mereka. Hak yang harus dikeluarkan, tidak hanya berupa sedekah sunnat yang mereka berikan atau tidak diberikan sekehendak mereka sendiri. Kata zakat sendiri sudah digunakan dalam ayat-ayat Makiyah seperti pada surat : Ar Rum:38-39, An Naml:1-3, Luqman:4, Al Mu'minun:4, Al A'raf:156-157, dan Fushshilat : 6-7. Walau Al Quran sudah membicarakan zakat dalam ayat-ayat Makiah, namun demikian zakat itu sendiri baru diwajibkan di Madinah. Zakat yang turun dalam ayat-ayat Makiah tidak sama dengan zakat yang diwajibkan di Madinah, dimana nisab dan besarnya sudah ditentukan, orang-orang yang mengumpulkan dan membagikannya sudah diatur, dan negara bertanggung jawab mengelolanya.
ZAKAT PADA PERIODE MADINAH
Berbeda dengan ayat-ayat Al Qur'an yang turun di Makkah, ayat-ayat yang turun di Madinah sudah menjelaskan bahwa zakat itu wajib dalam bentuk perintah yang tegas dan instruksi pelaksanaan yang jelas. Salah satu surat yang terakhir turun adalah surat At Taubah yang juga merupakan salah satu surat dalam Quran yang menumpahkan perhatian besar pada zakat. Coba kita perhatikan ayat-ayat surat At Taubah di bawah ini yang tidak lepas dari masalah zakat :
a. Dalam ayat permulaan surat itu Allah memrintahkan agar orang-orang musyrik yang melanggar perjanjian damai itu dibunuh. Tetapi jika mereka (1) bertaubat, (2) mendirikan shalat wajib, dan (3) membayar zakat, maka berilah mereka kebebasan (QS 9:5).
b. Enam ayat setelah ayat diatas Allah berfirman :"...jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan membayar zakat, barulah mereka teman kalian seagama...." (QS 9:11)
c. Allah juga merestui orang-orang yang menyemarakan masjid; yaitu orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, mendirikan sholat, membayar zakat (QS 9:18)
d. Allah mengancam dengan azab yang pedih kepada orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah (QS 9:34-35)
e. Dalam surat ini juga terdapat penjelasan tentang sasaran-sasaran penerima zakat, yang sekaligus menampik orang-orang yang rakus yang ludahnya meleleh melihat kekayaan zakat tanpa hak. (QS 9:60).
f. Allah menjelaskan pula bahwa zakat merupakan salah satu institusi seorang Mu'min (QS 9:71) yang membedakannya dari orang munafik (yang menggenggam tangan mereka/kikir, QS 9:67).
g. Allah memberikan instruksi kepada Rasul-Nya dan semua orang yang bertugas memimpin ummat setelah beliau untuk memungut zakat (QS 9:103) Khuz min amwalihim shadaqah....(Pungutlah zakat dari kekayaan mereka....). Kata "min" berarti sebagian dari harta, bukan seluruh kekayaan. Kata "amwalihim" dalam bentuk jamak yang berarti : harta-harta kekayaan mereka, yaitu meliputi berbagai jenis kekayaan. Kata shodaqah dalam ayat ini oleh kebanyakan ulama salaf maupun khalaf ditafsirkan sebagai zakat dengan dasar hadits dan riwayat shahabat.
Kesimpulan yang dapat ditarik berkaitan dengan zakat ini, bahwa seseorang: tanpa mengeluarkan zakat
1. belum dianggap sah masuk barisan orang-orang yang bertaqwa.
2. tidak dapat dibedakan dari orang-orang musyrik
3. tidak bisa dibedakan dengan orang-orang munafik yang kikir.
4. tidak akan mendapatkan rahmat Allah (QS 7:156)
5. tidak berhak mendapat pertolongan dari Allah, Rasulnya dan orang-orang yang beriman (QS 5:55-56)
6. tidak bisa memperoleh pembelaan dari Allah (QS 22:40-41)
ZAKAT DAN KEDUDUKANNYA DALAM ISLAM
Berdasarkan sejumlah hadits dan laporan para shahabat, diketahui bahwa urutan rukun Islam setelah shalat lima waktu (setelah Isra dan Mi'raj) adalah puasa (diwajibkan pada tahun 2 H) yang bersamaan dengan zakat fitrah. Baru kemudian perintah diwajibkannya zakat kekayaan. Namun demikian Yusuf Al-Qaradhawy menegaskan bahwa zakat adalah rukun Islam ketiga berdasarkan banyak hadits shahih, misalnya hadits peristiwa Jibril ketika mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah : "Apakah itu Islam ?" Nabi menjawab :"Islam adalah mengikrarkan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah RasulNya, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan naik haji bagi yang mampu melaksanakannya" (Bukhari Muslim)
Urutan ini tidak terlepas dari pentingnya kewajiban zakat (setelah shalat), dipuji orang yang melaksanakannya dan diancam orang yang meninggalkannya dengan berbagai upaya dan cara.
Peringatan keras terhadap orang yang tidak membayar zakat tidak hanya berupa hukuman yang sangat pedih di akhirat (misalnya QS 9:34-35; 3:180, dan hadits shahih) juga terdapat hukuman di dunia. Hadits shahih menjelaskan bahwa :
• Orang yang tidak mengeluarkan zakat akan ditimpa kelaparan dan kemarau panjang
• Bila zakat bercampur dengan kekayaan lain, maka kekayaan itu akan binasa
• Pembangkang zakat dapat dihukum dengan denda bahkan dapat diperangi dan dibunuh. Hal ini dilakukan oleh Abu Bakar ketika setelah Rasulullah wafat dimana banyak suku Arab yang membangkang tidak mau membayar zakat dan hanya mau mengerjakan sholat.
Pernyataan Abu Bakar : "Demi Allah, saya akan memerangi siapapun yang membeda-bedakan zakat dari shalat,...."
Berdasarkan pembahasan diatas dapat dimengerti bahwa zakat adalah asasi sekali dalam Islam, dan dapat dikatakan bahwa orang yang mengingkari zakat itu wajib adalah kafir dan sudah keluar dari Islam (murtad).
Adapun beberapa perbedaan mendasar antara zakat dalam Islam dengan zakat dalam agama-agama lain menurut pengamatan Yusuf Al-Qaradhawy sbb :
1. Zakat dalam Islam bukan sekedar suatu kebajikan yang tidak mengikat, tapi merupakan salah satu fondamen Islam yang utama dan mutlak harus dilaksanakan.
2. Zakat dalam Islam adalah hak fakir miskin yang tersimpan dalam kekayaan orang kaya. Hak ituditetapkan oleh pemilik kekayaan yang sebenarnya, yaitu Allah SWT.
3. Zakat merupakan "kewajiban yang sudah ditentukan" yang oleh agama sudah ditetapkan nisab, besar, batas-batas, syarat-syarat waktu dan cara pembayarannya.
4. Kewajiban ini tidak diserahkan saja kepada kesediaan manusia, tetapi harus dipikul tanggungjawabmemungutnya dan mendistribusikannya oleh pemerintah.
5. Negara berwenang menghukum siapa saja yang tidak membayar kewajibannya, baik berupa denda, dan dapatdinyatakan perang atau dibunuh.
6. Bila negara lalai menjalankan atau masyarakat segan melakukannya, maka bagaimanapun zakat bagi seorang Muslim adalah ibadat untuk mendekatkan diri kepada Allah serta membersihkan diri dan kekayaannya.
7. Penggunaan zakat tidak diserahkan kepada penguasa atau pemuka agama (seperti dalam agama Yahudi), tetapi harus dikeluarkan sesuai dengan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan Al Quran. Pengalaman menunjukan bahwa yang terpenting bukanlah memungutnya tetapi adalah masalah pendistribusiannya.
8. Zakat bukan sekedar bantuan sewaktu-waktu kepada orang miskin untuk meringankan penderitaannya, tapi bertujuan untuk menaggulangi kemiskinan, agar orang miskin menjadi berkecukupan selama-lamanya, mencari pangkal penyebab kemiskinan itu dan mengusahakan agar orang miskin itu mampu memperbaikisendiri kehidupan mereka.
9. Berdasarkan sasaran-sasaran pengeluaran yang ditegaskan Quran dan Sunnah, zakat juga mencakup tujuan spiritual, moral. sosial dan politik, dimana zakat dikeluarkan buat orang-orang mualaf, budak-budak, orang yang berhutang, dan buat perjuangan, dan dengan demikian lebih luas dan lebih jauh jangkauannya daripada zakat dalam agama-agama lain.
Sebelum membahas masalah jenis zakat yang wajib zakat, ada baiknya kalau melompat dulu ke pembahasan "Tujuan Zakat dan Dampaknya dalam Kehidupan Pribadi dan Masyarakat. Diharapkan dengan memahami tujuan-tujuan zakat ini, akan semakin terangsanglah kita untuk lebih mengetahui masalah zakat ini dan tentu saja untuk mengamalkannya. Tu;isan ini akan mengupas dampak zakat dalam kehidupan pribadi, yang akan disambung dengan dampak zakat dalam kehidupan bermasyarakat.
Tujuan zakat dan dampaknya bagi pribadi dapat dipisahkan antara pribadi si PEMBERI dan si PENERIMA.
Zakat bukan bertujuan sekedar untuk memenuhi baitul maal dan menolong orang yang lemah dari kejatuhan yang semakin parah. Tapi tujuan utamanya adalah agar manusia lebih tinggi nilainya daripada harta, sehingga manusi menjadi tuannya harta bukan menjadikan budaknya. Dengan demikian kepentingan tujuan zakat terhadap si pemberi sama dengan kepentingannya terhadap si penerima.
Beberapa tujuan dan dampak zakat bagi si PEMBERI adalah:
1. Zakat mensucikan jiwa dari sifat kikir. Zakat yang dikeluarkan karena ketaatan pada Allah akan mensucikannya jiwa (9:103) dari segala kotoran dan dosa, dan terutama kotornya sifat kikir. Penyakit kikir ini telah menjadi tabiat manusia (17:100; 70:19), yang juga diperingatkan Rasulullah SAW sebagai penyakit yang dapat merusak manusia (HR Thabrani), dan penyakit yang dapat memutuskan tali persaudaraan (HR Abu Daud dan Nasai). Sehingga alangkah berbahagianya orang yang bisa menghilangkan kekikiran. "Barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung" (59:9; 64:16). Zakat yang mensucikan dari sifat kikir ditentukan oleh kemurahannya dan kegembiraan ketika mengeluarkan harta semata karena Allah. Zakat yang mensucikan jiwa juga berfungsi membebaskan jiwa manusia dari ketergantungan dan ketundukan terhadap harta benda dan dari kecelakaan menyembah harta.
2. Zakat mendidik berinfak dan memberi. Berinfak dan memberi adalah suatu akhlaq yang sangat dipuji dalam Al Qur'an, yang selalu dikaitkan dengan keimanan dan ketaqwaan (2:1-3; 42:36-38; 3:134; 3:17; 51:15-19; 92:1-21) Orang yang terdidik untuk siap menginfakan harta sebagai bukti kasih sayang kepada saudaranya dalam rangka kemaslahatan ummat, tentunya akan sangat jauh sekali dari keinginan mengambil harta orang lain dengan merampas dan mencuri (juga korupsi).
3. Berakhlaq dengan Akhlaq Allah Apabila manusia telah suci dari kikir dan bakhil, dan sudah siap memberi dan berinfak, maka ia telah mendekatkan akhlaqnya dengan Akhlaq Allah yang Maha Pengash, Maha Penyayang dan Maha Pemberi.
4. Zakat merupakan manifestasi syukur atas Nikmat Allah.
5. Zakat mengobati hati dari cinta dunia. Tnggelam kepada kecintaan dunia dapat memalingkan jiwa dari kecintaan kepada Allah dan ketakutan kepada akhirat. Adalah suatu lingkaran yang tak berujung; Usaha mendapatkan harta ----> mendapatkan kekuasaan ----> mendapatkan kelezatan ----> lebih berusaha mendapatkan harta, dst. Syariat Islam memutuskan lingkaran tsb dengan mewajibkan zakat, sehingga terhalanglah nafsu dari lingkaran syetan itu. Bila Allah mengaruniai harta dengan disertai ujian/fitnah (21:35; 64:15; 89:15) maka zakat melatih si Muslim untuk menandingi fitnah harta dan fitnah dunia tsb.
6. Zakat mengembangkan kekayaan bathin Pengamalan zakat mendorong manusia untuk menghilangkan egoisme, menghilangkan kelemahan jiwanya, sebaliknya menimbulkan jiwa besar dan menyuburkan perasaan optimisme.
7. Zakat menarik rasa simpati/cinta Zakat akan menimbulkan rasa cinta kasih orang-orang yang lemah dan miskin kepada orang yang kaya. Zakat melunturkan rasa iri dengki pada si miskin yang dapat mengancam si kaya dengan munculnya rasa simpati dan doa ikhlas si miskin atas si kaya.
8. Zakat mensucikan harta dari bercampurnya dengan hak orang lain (Tapi zakat tidak bisa mensucikan harta yang diperoleh dengan jalan haram).
9. Zakat mengembangkan dan memberkahkan harta. Allah akan menggantinya dengan berlipat ganda (34:39; 2:268; dll). Sehingga tidak ada rasa khawatir bahwa harta akan berkurang dengan zakat.
Adapun tujuan dan dampak zakat bagi si penerima:
1. Zakat akan membebaskan si penerima dari kebutuhan, sehingga dapat merasa hidup tentram dan dapat meningkatkan khusyu ibadat kepada Tuhannya. Sesungguhnya Islam membenci kefakiran dan menghendaki manusia meningkat dari memikirkan kebutuhan materi saja kepada sesuatu yang lebih besar dan lebih pantas akan nilai-nilai kemanusiaan yang mulia sebagai khalifah Allah di muka bumi.
2. Zakat menghilangkan sifat dengki dan benci. Sifat hasad dan dengki akan menghancurkan keseimbangan pribadi, jasamani dan ruhaniah seseorang. Sifat ini akan melemahkan bahkan memandulkan produktifitas. Islam tidak memerangi penyakit ini dengan sematamata nasihat dan petunjuk, akan tetapi mencoba mencabut akarnya dari masyarakat melalui mekanisme zakat, dan menggantikannya dengan persaudaraan yang saling memperhatikan satu sama lain.
Berikut ini merupakan kelanjutan dari pembahasan "Tujuan Zakat dan Dampaknya" yang kali ini difokuskan dalam kehidupan masyarakat.
Zakat didasarkan pada delapan asnafnya yang tersebut dalam QS 9:60 memperjelas kedudukan dan fungsinya dalam masyarakat yaitu terkait dengan :
1. Tanggung jawab sosial (dalam hal penanggulangan kemiskinan, pemenuhan kebutuhan fisik minimum (KFM), penyediaan lapangan kerja dan juga asuransi sosial (dalam hal adanya bencana alam dll).
2. Perekonomian, yaitu dengan mengalihkan harta yang tersimpan dan tidak produktif menjadi beredar dan produktif di kalangan masyarakat. Misalnya halnya harta anak yatim; "Usahakanlah harta anak yaitm itu sehingga tidak habis oleh zakat" (Hadits).
3. Tegaknya jiwa ummat, yaitu melalui tiga prinsip :
a. Menyempurnakan kemerdekaan setiap individu (fi riqob)
b. Membangkitkan semangat beramal sholih yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Misalnya berhutang demi kemaslahatan masyarakat ditutupi oleh zakat.
c. Memelihara dan mempertahankan akidah (fi sabilillah)
Beberapa problematika masyarakat dimana zakat seharusnya dapat banyak berperan adalah sbb:
1. Problematika Perbedaan Kaya-Miskin. Zakat bertujuan untuk meluaskan kaidah pemilikan dan memperbanyak jumlah pemilik harta (..."Supaya harta itu jangan hanya berputar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu", QS 59:7). Islam mengakui adanya perbedaan pemilikan berdasarkan perbedaan kemampuan dan kekuatan yang dimiliki manusia. Namun Islam tidak menghendaki adanya jurang perbedaan yang semakin lebar, sebaliknya Islam mengatur agar perbedaan yang ada mengantarkan masyarakat dalam kehidupan yang harmonis, yang kaya membantu yang miskin dari segi harta, yang miskin membantu yang kaya dari segi lainnya.
2. Problematika Meminta-minta. Islam mendidik ummatnya untuk tidak meminta-minta, dimana hal ini akan menjadi suatu yang haram bila dijumpai si peminta tsb dalam kondisi berkecukupan (ukuran cukup menurut hadits adalah mencukupi untuk makan pagi dan sore). Disisi lain Islam berusaha mengobati orang yang meminta karena kebutuhan yang mendesak, yaitu dengan dua cara;
(1) menyediakan lapangan pekerjaan, alat dan ketrampilan bagi orang yang mampu bekerja, dan
(2) jaminan kehidupan bagi orang yang tidak sanggup bekerja.
3. Problematika Dengki dan Rusaknya Hubungan dengan Sesama. Persaudaraan adalah tujuan Islam yang asasi, dan setiap ada sengketa hendaknya ada yang berusaha mendamaikan (49:9-10). Rintangan dana dalam proses pendamaian tsb seharusnya dapat dibayarkan melalui zakat, sehingga orang yang tidak kaya pun dapat berinisiatif sebagai juru damai.
4. Problematika Bencana Orang kaya pun suatu saat bisa menjadi fakir karena adanya bencana. Islam melalui mekanisme zakat seharusnya memeberikan pengamanan bagi ummat yang terkena bencana (sistem asuransi Islam), sehingga mereka dapat kembali pada suatu tingkat kehidupan yang layak.
5. Problematika Membujang Banyak orang membujang dikarenakan ketidakmampuan dalam hal harta untuk menikah. Islam menganjurkan ummatnya berkawin yang juga merupakan benteng kesucian. Mekanisme zakat dapat berperan untuk memenuhi kebutuhan tsb.
6. Problematikan Pengungsi Rumah tempat berteduh juga merupakan kebutuhan primer disamping makanan dan pakaian. Zakat seharusnya menjadi unsur penolong pertama dalam menangani masalah pengungsi ini.
KEKAYAAN YANG WAJIB ZAKAT
Pengertian Kekayaan
Quran tidak memberikan ketegasan tentang jenis kekayaan yang wajib zakat, dan syarat-syarat apa yang mesti
dipenuhi, dan berapa besar yang harus dizakatkan. Persoalan tsb diserahkan kepada Sunnah Nabi.
Memang terdapat beberapa jenis kekayaan yang disebutkan Quran seperti: emas dan perak (9:34); tanaman
dan buah-buahan (6:141); penghasilan dari usaha yang baik (2:267); dan barang tambang (2:267). Namun demikian,
lebih daripada itu Quran hanya merumuskannya dengan rumusan yanga umum yaitu "kekayaan" ("Pungutlah
olehmu zakat dari kekayaan mereka,....." QS 9:103).
Kekayaan hanya bisa disebut kekayaan apabila memenuhi dua syarat yaitu : dipunyai dan bisa diambil
manfaatnya. Inilah definisi yang paling benar menurut Yusuf Al-Qaradhawy dari beragam definisi yang dijumpai.
Terdapat 6 syarat untuk suatu kekayaan terkena wajib zakat:
1. Milik penuh
2. Berkembang
3. Cukup senisab
4. Lebih dari kebutuhan biasa
5. Bebas dari hutang
6. Berlalu setahun
Syarat Pertama : Milik Penuh
Kekayaan pada dasarnya adalah milik Allah. Yang dimaksud pemilikan disini hanyalah penyimpanan,
pemakaian, dan pemberian wewenang yang diberikan Allah kepada manusia, sehingga sesorang lebih berhak
menggunakan dan mengambil manfaatnya daripada orang lain.
Istilah "milik penuh" maksudnya adalah bahwa kekayaan itu harus berada di bawah kontrol dan di dalam
kekuasaannya. Dengan kata lain, kekayaan itu harus berada di tangannya, tidak tersangkut di dalamnya hak orang
lain, dapat ia pergunakan dan faedahnya dapat dinikmatinya.
Konsekwensi dari syarat ini tidak wajib zakat bagi :
• Kekayaan yang tidak mempunyai pemilik tertentu
• Tanah waqaf dan sejenisnya
• Harta haram. Karena sesungguhnya harta tersebut tidak syah menjadi milik seseorang
• Harta pinjaman. Dalam hal ini wajib zakat lebih dekat kepada sang pemberi hutang (kecuali bila hutang tsb
tidak diharapkan kembali). Bagi orang yang meminjam dapat dikenakan kewajiban zakat apabila dia tidak
mau atau mengundur-undurkan pembayaran dari harta tsb, sementara dia terus mengambil manfaat dari harta
tsb. Dengan kata lain orang yang meminjam telah memperlakukan dirinya sebagai "si pemilik penuh".
• Simpanan pegawai yang dipegang pemerintah (seperti dana pensiun). Harta ini baru akan menjadi milik penuh
di masa yad, sehingga baru terhitung wajib zakat pada saat itu.
Syarat Kedua : Berkembang
Pengertian berkembang yaitu harta tsb senantiasa bertambah baik secara konkrit (ternak dll) dan tidak secara
konkrit (yang berpotensi berkembang, seperti uang apabila diinvestasikan).
Nabi tidak mewajibkan zakat atas kekayaan yang dimiliki untuk kepentingan pribadi seperti rumah kediaman, perkakas kerja, perabot rumah tangga, binatang penarik, dll. Karena semuanya tidak termasuk kekayaan yang
berkembang atau mempunyai potensi untuk berkembang. Dengan alasan ini pula disepakati bahwa hasil pertanian
dan buah-buahan tidak dikeluarkan zakatnya berkali-kali walaupun telah disimpan bertahun-tahun.
Dengan syarat ini pula, maka jenis harta yang wajib zakat tidak terbatas pada apa yang sering diungkapkan
sebahagian ulama yaitu hanya 8 jenis harta (unta, lembu, kambing, gandum, biji gandum, kurma, emas, dan perak).
Semua kekayaan yang berkembang merupakan subjek zakat.
Syarat Ketiga: Cukup Senisab
Disyaratkannya nisab memungkinkan orang yang mengeluarkan zakat sudah terlebih dahulu berada dalam kondisi
berkecukupan. Tidaklah mungkin syariat membebani zakat pada orang yang mempunyai sedikit harta dimana dia
sendiri masih sangat membutuhkan harta tsb. Dengan demikian pendapat yang mengatakan hasil pertanian tidak ada
nisabnya menjadi tertolak. (Besarnya nisab untuk masing-masing jenis kekayaan dijelaskan pada bab lain).
Syarat Keempat: Lebih dari Kebutuhan Biasa
Kebutuhan adalah merupakan persoalan pribadi yang tidak bisa dijadikan patokan besar-kecilnya. Adapun
sesuatu kelebihan dari kebutuhan itu adalah bagian harta yang bisa ditawarkan atau diinvestasikan yang dengan itulah
pertumbuhan/ perkembangan harta dapat terjadi.
Kebutuhan harus dibedakan dengan keinginan. Kebutuhan yang dimaksud adalah kebutuhan rutin, yaitu
sesuatu yang betul-betul diperlukan untuk kelestarian hidup; seperti halnya belanja sehari-hari, rumah kediaman,
pakaian, dan senjata untuk mempertahankan diri, peralatan kerja, perabotan rumah tangga, hewan tunggangan, dan
buku-buku ilmu pengetahuan untuk kepentingan keluarga (karena kebodohan dapat berarti kehancuran).
Kebutuhan ini berbeda-beda dengan berubahnya zaman, situasi dan kondisi, juga besarnya tanggungan
dalam keluarga yang berbeda-beda. Persoalan ini sebaiknya diserahkan kepada penilaian para ahli dan ketetapan
yang berwewenang.
Zakat dikenakan bila harta telah lebih dari kebutuhan rutin. Sesuai dengan ayat 2:219 ("sesuatu yang lebih
dari kebutuhan...") dan juga hadits "zakat hanya dibebankan ke atas pundak orang kaya", dan hadits-hadits lainnya.
Syarat ke lima: Bebas dari Hutang
Pemilikan sempurna yang dijadikan persyaratan wajib zakat haruslah lebih dari kebutuhan primer, dan cukup
pula senisab yang sudah bebas dari hutang. Bila jumlah hutang akan mengurangi harta menjadi kurang senisab, maka
zakat tidaklah wajib.
Jumhur ulama berpendapat bahwa hutang merupakan penghalang wajib zakat. Namun apabila hutang itu
ditangguhkan pembayarannya (tidak harus sekarang juga dibayarkan), maka tidaklah lepas wajib zakat (seperti
halnya hutang karena meng-kredit sesuatu).
Syarat ke enam: Berlalu Setahun
Maksudnya bahwa pemilikan yang berada di tangan si pemilik sudah berlalu masanya dua belas bulan
Qomariyah. Menurut Yusuf Al-Qaradhawy, persyaratan setahun ini hanyalah buat barang yang dapat dimasukkan
ke dalam istilah "zakat modal" seperti: ternak, uang, harta benda dagang, dll. Adapun hasil pertanian, buah-buahan,
madu, logam mulia (barang tambang), harta karun, dll yang sejenis semuanya termasuk ke dalam istilah "zakat
pendapatan" dan tidak dipersyaratkan satu tahun (maksudnya harus dikeluarkan ketika diperoleh).
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para shahabat dan tabi'in mengenai persyaratan "berlalu setahun"
ini. Dimana apa pendapat yang mengatakan bahwa zakat wajib dikeluarkan begitu diperoleh bila sampai senisab,
baik karena sendiri maupun karena tambahan dari yang sudah ada, tanpa mempersyaratkan satu tahun. Perbedaan ini
dikarenakan "tidak adanya satu hadits yang tegas" mengenai persyaratan ini. (Pembahasan lebih jauh mengenai hal
ini Insya Allah akain kita jumpai pada pembahasan zakat profesi/ pendapatan).
Namun demikian sesuatu yang tidak diperselisihkan sejak dulu adalah bahwa zakat kekayaan yang termasuk
zakat modal di atas hanya diwajibkan satu kali dalam setahun.
KEKAYAAN YANG WAJIB ZAKAT
Pembahasan berikut ini adalah tentang "Kekayaan yang Wajib Zakat dan Besar Zakatnya". Cukup
banyak dan detail yang dibahas beliau (hal 167-501) yang mencakup :
1. Zakat binatang ternak
2. Zakat emas dan perak / zakat uang
3. Zakat kekayaan dagang
4. Zakat pertanian
5. Zakat madu dan produksi hewani
6. Zakat barang tambang dan hasil laut
7. Zakat investasi pabrik, gedung, dll
8. Zakat pencarian dan profesi
9. Zakat saham dan obligasi
Namun demikian mengingat keterbatasan saya, saya hanya akan membahas yang penting bagi kita pada
umumnya untuk mengetahuinya yaitu nomor 2 dan 8 saja.
ZAKAT EMAS DAN PERAK
Pembahasan mengenai zakat emas dan perak (E&P) perlu dibedakan antara E&P sebagai perhiasan atau E&P
sebagai uang (alat tukar). Sebagai perhiasan E&P juga dapat dibedakan antara perhiasan wanita dan perhiasan
lainnya (ukiran, souvenir, perhiasan pria dll). Dangkalnya pemahaman fungsi E&P sebagai alat tukar atau mata uang
menyebabkan banyaknya simpanan uang di kalangan ummat Islam tidak tertunaikan zakatnya.
I. Emas dan Perak sebagai Uang
E&P telah sejak lama juga pada zaman Rasulullah digunakan sebagai alat tukar (uang), yaitu uang emas
(dinar) dan uang perak (dirham). Kedua mata uang ini mereka peroleh dari kerajaan-kerajaan tetanggan yang besar,
dinar banyak digunakan penduduk kerajaan Romawi Bizantinum sedangkan dirham pada kerajaan Persia.
Adapun ayat 34-35 surat At Taubah : ..."Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya pada jalan Allah,....", ayat ini condong pada maksud e&p dalam artian uang karena ia
merupakan sesuatu yang dapat diinfakkan dan alat yang dipakai langsung untuk itu. Ancaman Allah dijumpai
dalam dua hal yaitu; penyimpanannya, dan tidak diinfakkannya pada jalan Allah. Ini dianggap tidak "tidak berzakat".
Beberapa hadits juga menjelaskan dengan makna yang sama.
Hikmah Wajib Zakat Uang
Sesungguhnya kepentingan uang adalah untuk bergerak dan beredar, maka dimanfaatkanlah oleh orang-orang
yang mengedarkannya. Sebaliknya penyimpanan dan pemendamannya akan menyebabkan tidak lakunya pekerjaanpekerjaan,
merajalelanya pengangguran, matinya pasar-pasar, dan mundurnya kegiatan perekonomian secara umum.
Oleh karenanya pewajiban zakat bagi pemilik uang (yang sudah sampai nisab) baik yang dikembangkan maupun
tidak adalah merupakan langkah kongkrit yang patut diteladani.
Hadits Nabi memerintahkan perniagaan harta anak yatim sehingga tidak habis begitu saja dimakan zakat.
Besarnya Zakat Uang
Tidak terdapat perbedaan pendapat ulama dalam hal besarnya zakat uang ini yaitu 2.5 persen. Yusuf Al-
Qaradhawy juga membantah keras beberapa peneliti dewasa ini yang menganjurkan agar besar zakat ini ditambah
sesuai dengan kebutuhan dan perkembangaan keadaan. Alasan yang dikemukakan antara lain : Hal tsb bertentangan
dengan nash yang jelas; bertentangan dengan ijmak ulama; bahwa zakat adalah kewajiban, karena itu harus
mempunyai sifat yang tetap, kekal dan utuh; adapun kebutuhan dana bagi negara dewasa ini dapat diatasi dengan
pengadaan pajak lain disamping zakat.
Nisab Uang
Melalui pembahasan yang panjang dan nyelimet bagi saya (karena banyak menggunakan satuan-satuan yang
saya nggak faham, dan juga kaidah-kaidah ushul fiqh) maka saya langsung saja lompat pada kesimpulan dari
penelitian Yusuf Al-Qaradhawy mengenai ketentuan nisab uang ini, yaitu 85 gram emas dan 200 gram perak.
Adapun nisab untuk uang kertas dan surat-surat berharga lain ditetapkan setara dengan 85 gram emas, dengan
pertimbangan nilai emas jauh lebih stabil dari pada perak.
Menutup pembahasan zakat uang ini, Yusuf Al-Qaradhawy mengingatkan kembali bahwa setiap uang milik
penuh yang sudah sampai senisab, bebas dari hutang, dan merupakan kelebihan dari kebutuhan pokok, maka
wajiblah zakatnya 2.5 persen, yaitu sekali dalam setahun. Mengenai kapan harus dikeluarkan, apakah di awal atau
akhir tahun atau pada saat diterima, Insya Allah akan dibahas dalam pembahasan "zakat pencarian/profesi".
II. Zakat Emas dan Perak yang Non Uang
Manusia sering menggunakan E&P selain untuk perhiasan yang diperbolehkan oleh syara' juga untuk
perhiasan yang tidak diperbolehkan. Perhiasan yang dihalalkan adalah untuk kaum wanita dalam batas yang tidak
berlebihan, dan juga perak untuk pria. Adapun banyak penggunaan E&P di kalangan masyarakat yang tidak
dibenarkan oleh syara' yaitu berupa barang seperti; bejana-bejana, patung dan benda seni lainnya, dll, yang pada
hakekatnya E&P tsb adalah berupa simpanan yang tidak beredar di kalangan masyarakat.
Perhiasan yang tidak wajib dizakati adalah perhiasan yang dipakai dan dimanfaatkan. Adapun yang
dijadikan sebagai benda simpanan, maka hal itu wajib dizakati. Karena pada hakekatnya simpanan E&P ini
mempunyai potensi untuk dikembangkan (lihat lagi posting syarat harta yang wajib zakat).
Setelah menempuh analisis yang panjang, maka untuk mudahnya saya sampaikan saja kesimpulan yang
ditarik Yusuf Al-Qaradhawy untuk masalah ini :
1. Kekayaan dari E&P yang digunakan sebagai simpanan adalah wajib dikeluarkan zakatnya.
2. Jika kekayaan E&P tersebut untuk dipakai seseorang, maka hukumnya dilihat pada macam penggunaannya;
jika penggunaannya bersifat haram seperti untuk bejana-bejana emas atau perak, patung-patung maka wajib
dikeluarkan zakatnya.
3. Diantara pemakaian perhiasan yang diharamkan adalah yang ada unsur berlebih-lebihan dan menyolok oleh
seorang perempuan.
4. Jika perhiasan tsb digunakan untuk hal yang mubah seperti perhiasan perempuan yang tidak berlebih-lebihan,
serta cincin perak untuk laki-laki, maka tidak wajib dikeluarkan zakatnya, karena perhiasan tsb merupakan
harta yang tidak berkembang (tidak memenuhi syarat harta yang wajib zakat), dan juga merupakan salah satu
di antara kebutuhan-kebutuhan manusia.
5. Tidak ada perbedaan antara perhiasan mubah tersebut dimiliki oleh seseorang untuk dipakainya sendiri atau
dipinjamkan kepada orang lain.
6. Yang wajib dizakati dari perhiasan yang tidak dibenarkan syara' (bejana, patung dll) adalah sebesar ukuran
mata uang dan dikeluarkan zakatnya sebanyak 2.5 % setiap tahun dengan hartanya yang lain jika memiliki.
7. Hal ini dengan syarat telah mencapai nisab atau bersama dengan hartanya yang lain memenuhi nisab, yaitu 85
gram emas, yaitu nilainya dan bukan ukurannya (Perhatian : Nilai dan Ukuran itu berbeda, sekedar contoh
nih, sebuah patung emas atau perak bisa mempunyai nilai jual berlipat-lipat dari harga emas/perak bahan baku
pembuatannya).
ZAKAT PENCARIAN DAN PROFESI
Bagian ini memasuki pembahasan ZAKAT PENCARIAN atau PROFESI. Topik ini merupakan salah
satu topik yang sangat penting bagi kita yang memiliki suatu pekerjaan atau profesi tertentu.
Topik ini sebenarnya bukan sudah hal yang baru di kalangan ahli fiqih zakat. Tapi apa yang diungkapkan
oleh Yusuf Al-Qaradhawy mengenai topik ini adalah ijtihad beliau dalam rangka menentukan hukum yang jelas
mengenai kedudukan harta pencarian dan profesi, yaitu melalui studi perbandingan dan penelitian yang sangat dalam
terhadap pendapat-pendapat yang ada mengenai masalah ini sejak zaman sahabat hingga zaman sekarang. Dengan
demikian ijtihad beliau adalah ijtihad yang mempunyai dasar pijakan yang kuat.
Untuk menghilangkan keragu-raguan kita selama ini terhadap harta yang kita peroleh melalu profesi kita :
Apakah itu terkait dengan kewajiban zakat ? Bila ya, berapa besarnya ? Berapa nisabnya ? Bagaimana cara
pembayarannya ? dll, maka sepatutnya kita dapat mengikuti apa yang dikemukakan beliau dalam bab ini. Oleh
karena itu topik ini akan disampaikan secara lebih detil.
Barangkali bentuk penghasilan yang paling menyolok dewasa ini adalah apa yang diperoleh dari pencarian
atau profesi, baik suatu pencarian yang tergantung oleh orang lain seperti pegawai (negeri atau swasta), atau
pencarian tidak tergantung kepada pihak lain (professional), seperti halnya dokter, advokat, penjahit, seniman, dll.
Jenis pekerjaan ini mendatangkan penghasilan baik berupa gaji, upah ataupun honorarium.
Perbedaan pendapat di antara para ulama dalam hal mewajibkan zakat terhadap harta pencarian dan profesi
ini sudah berlangsung sejak lama. Adapun beberapa ulama modern saat ini telah beranggapan bahwa upaya
menemukan hukum pasti zakat harta jenis ini adalah sangat mendesak, dikarenakan inilah jenis penghasilan yang
paling banyak dijumpai saat ini. Bila tidak ini berarti kita telah melepaskan kebanyakan orang dari kewajiban zakat
yang telah dinyatakan jelas kewajibannya secara umum dalam Al Quran dan Sunnah ("Hai orang-orang yang
beriman keluarkanlah sebagian usaha kalian", 2:267).
Pandangan Fikih tentang Pencarian dan Profesi (P&P)
Zakat harta P&P memang tidak ditemukan contohnya dalam hadits, namun dengan menggunakan kaidah
ushul fikih dapatlah harta P&P digolongkan kepada "harta penghasilan", yaitu kekayaan yang diperoleh seseorang
Muslim melalui bentuk usaha baru yang sesuai dengan syariat agama. Harta penghasilan itu sendiri dapat dibedakan
menjadi :
(1) Penghasilan yang berkembang dari kekayaan lain, misalnya uang hasil menjual poduksi pertanian yang sudah
dikeluarkan zakatnya 10% atau 5% yang tentunya uang hasil penjualan tersebut tidak perlu dizakatkan pada
tahun yang sama karena kekayaan asalnya (produksi pertanian tsb) sudah dizakatkan. Ini untuk mencegah
terjadinya apa yang disebut double zakat.
(2) Penghasilan yang berasal karena penyebab bebas, seperti gaji, upah, honor, investasi modal dll (Insya Allah,
pembahasan kita akan berkisar pada jenis harta penghasilan yang kedua ini). Karena harta yang diterima ini
belum pernah sekalipun dizakatkan, dan mugnkin tidak akan pernah sama sekali bila harus menunggu setahun
dulu.
Perbedaan yang menyolok dalam pandangan fikih tentang harta penghasilan ini, terutama berkaitan dengan
adanya konsep "berlaku setahun" yang dianggap sebagai salah satu syarat dari harta yang wajib zakat (lihat pula
posting sebelumnya mengenai syarat harta yang wajib zakat).
Sebagian pendapat mengungkapkan syarat ini berlaku untuk semua jenis harta, tapi sebagian lainnya
mengungkapkan syarat ini tidak berlaku untuk seluruh jenis harta, terutama tidak berlaku untuk jenis harta
penghasilan. selama diberlakukan juga ketentuan berlaku setahun itu untuk jenis harta penghasilan, maka akan sulit
untuk melaksanakan kewajiban zakat untuk harta penghasilan ini.
Kelompok terakhir ini berpendapat, bahwa zakat penghasilan ini wajib dikeluarkan zakatnya langsung ketika
diterima tanpa menunggu waktu satu tahun. Diantara kelompok terakhir ini adalah: Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud,
Muawiyyah, dll, juga Umar bin Abdul Aziz.
Pendapat mana yang lebih kuat tentang kedudukan zakat P&P ini ? Oleh karenanya Yusuf Al-Qaradhawy
menelaah kembali hadits-hadits tentang ketentuan setahun ini dimana dijumpai ketentuan tersebut ditetapkan berdasar
empat hadits dari empat shahabat, yaitu: Ali, Ibnu Umar, Anas dan Aisyah ra. Diantaranya berbunyi sbb:
Hadits dari Ali ra. dari Nabi SAW: “Bila engkau mempunyai 200 dirham dan sudah mencapai waktu setahun,
maka zakatnya adalah 5 dirham,...... “
Hadits dari Aisyah ra, Rasulullah pernah bersabda : “Tidak ada zakat pada suatu harta sampai lewat
setahun”.
Tetapi ternyata hadits-hadits itu mempunyai kelemahan-kelemahan dalam sanadnya sehingga tidak bisa untuk
dijadikan landasan hukum yang kuat (hadits shahih), apalagi untuk dikenakan pada jenis "harta penghasilan" karena
akan bentrok dengan apa yang pernah dilakukan oleh beberapa shahabat. Adanya perbedaan pendapat di kalangan
para shahabat tentang persyaratan setahun untuk zakat penghasilan juga mendukung ketidak shahihan hadits-hadits
tsb.
Bila benar hadits-hadits tersebut berasal dari Nabi SAW, maka tentulah pengertian yang dapat diterima adalah
: "harta benda yang sudah dikeluarkan zakatnya tidak wajib lagi zakat sampai setahun berikutnya". zakat
adalah tahunan.
Beberapa riwayat sahabat seperti Ibnu Mas'ud, menceritakan bagaimana harta penghasilan langsung
dikeluarkan zakatnya ketika diterima tanpa menunggu setahun. Sehingga menjadi semakin jelas bahwa masa
setahun tidak merupakan syarat, tetapi hanya merupakan tempo antara dua pengeluaran zakat.
Setelah mengadakan studi perbandingan dan penelitian yang mendalam terhadap nash-nash yang berhubungan
dengan status zakat untuk bermacam-macam jenis kekayaan, juga dengan memperhatikan hikmah dan maksud
PEMBUAT SYARIAT yang telah mewajibkan zakat, dan diperhatikan pula kebutuhan Islam dan ummat Islam pada
masa sekarang ini, maka Yusuf Al-Qaradhawy berpendapat bahwa harta hasil usaha seperti: gaji pegawai, upah
karyawan, pendapatan dokter, insinyur, advokat, penjahit, seniman, dllnya wajib terkena zakat dan dikeluarkan
zakatnya pada waktu diterima.
Sebagai penjelasan dari pendapat beliau terhadap masalah yang sensitif ini, Yusuf Al-Qaradhawy
mengemukakan beberapa butir alasan yang dikuatkan dengan dalil.
Pembahasan ini adalah kelanjutan dari pembahasan zakat pencarian dan profesi. Point-point di bawah ini
adalah alasan-alasan yang dikemukakan oleh Yusuf Al-Qaradhawy untuk menguatkan pendapat beliau bahwa harta
pencarian dan profesi wajib dikeluarkan zakatnya pada saat diterima.
1. Persyaratan satu tahun dalam seluruh harta termasuk harta penghasilan tidak berdasar nash yang mencapai
tingkat shahih atau hasan yang darinya bisa diambil ketentuan hukum syara' yang berlaku umum bagi ummat.
2. Para sahabat dan tabi'in memang berbeda pendapat dalam harta penghasilan; sebagian mempersyaratkan
adanya masa setahun, sedangkan sebagian lain tidak mempersyaratkannya yang berarti wajib dikeluarkan
zakatnya pada saat harta penghasilan tersebut diterima seorang Muslim. Oleh karenanya persoalan tersebut
dikembalikan kepada nash-nash yang lain dan kaedah-kaedah yang lebih umum.
3. Ketiadaan nash ataupun ijmak dalam penentuan hukum zakat harta penghasilan membuat mazhab-mazhab
berselisih pendapat tajam sekali, yang bila dijajagi lebih jauh justru menimbulkan berpuluh-puluh persoalan
baru yang semakin merumitkan, yang seringkali hanya berdasarkan dugaan-dugaan dan tidak lagi didasarkan
pada nash yang jelas dan kuat. Semuanya membuat Yusuf Al-Qaradhawy menilai bahwa adalah tidak
mungkin syariat yang sederhana yang berbicara untuk seluruh ummat manusia membawa persoalanpersoalan
kecil yang sulit dilaksanakan sebagai kewajiban bagi seluruh ummat.
4. Mereka yang tidak mempersyaratkan satu tahun bagi syarat harta penghasilan wajib zakat lebih dekat kepada
nash yang berlaku umum dan tegas. karena nash-nash yang mewajibkan zakat baik dari quran maupun sunnah
datang secara umum dan tegas dan tidak terdapat di dalamnya persyaratan setahun.
Misalnya : "Hai orang-orang yang beriman keluarkanlah sebagian usaha kalian" (2:267). Kata "ma
kasabtum" merupakan kata umum yang artinya mencakup segala macam usaha: perdagangan atau pekerjaan
dan profesi. Para ulama fikih berpegang pada keumuman maksud ayat tersebut sebagai landasan zakat
perdagangan, yang oleh karena itu kita tidak perlu ragu memakainya sebagai landasan zakat pencarian dan
profesi. Bila para ulama fikih talah menetapkan setahun sebagai syarat wajib zakat perdagangan (maaf, zakat
perdagangan tidak saya tayangkan dalam serial ini), karena antara pokok harta dengan laba yang dihasilkan
tidak dipisahkan, sementara laba dihasilkan dari hari ke hari bahkan dari jam ke jam. Lain halnya dengan gaji
atau sebangsanya yang diperoleh secara utuh, tertentu dan pasti.
5. Disamping nash yang berlaku umum dan mutlak memberikan landasan kepada pendapat mereka yang tidak
menjadikan satu tahun sebagai syarat harta penghasilan untuk wajib zakat, Qias yang benar juga
mendukungnya. Kewajiban zakat uang atau sejenisnya pada saat diterima seorang Muslim diqiaskan dengan
kewajiban zakat pada tanaman dan buah-buahan pada waktu panen.
6. Pemberlakuan syarat satu tahun bagi zakat harta penghasilan berarti membebaskan sekian banyak
pegawai dan pekerja profesi dari kewajiban membayar zakat atas pendapatan mereka yang besar,
karena mereka itu akan menjadi dua golongan saja : yang menginvestasikan pendapatan mereka terlebih
dahulu, dan yang berfoya-foya dan menghamburkan semua penghasilannya sehingga tidak mencapai masa
wajib zakatnya. Itu berarti zakat hanya dibebankan pada orang-orang yang hemat saja, yang membelanjakan
kekayaan seperlunya, yang mempunyai simpanan sehingga mencapai masa zakatnya. Hal ini jauh sekali dari
maksud kedatangan syariat yang adil dan bijak, dimana hal ini justru memperingan beban orang-orang
pemboros dan memperberat orang-orang yang hidup sederhana.
7. Pendapat yang menetapkan setahun sebagai syarat harta penghasilan jelas terlihat saling kontradiksi yang
tidak bisa diterima oleh keadilan dan hikmat islam mewajibkan zakat. Misalnya seorang petani menanam
tanaman pada tanah sewaan (maaf lagi, zakat pertanian juga tidak bisa ditayangkan), hasilnya dikenakan zakat
sebanyak 10% atau 5%, sedangkan pemilik tanah yang dalam satu jam kadang-kadang memperoleh beratusratus
dinar berupa uang sewa tanah tersebut tidak dikenakan zakat berdasarkan fatwa-fatwa dalama mazhabmazhab
yang ada, dikarenakan adanya persyaratan setahun bagi penghasilan tersebut sedangkan jumlah itu
jarang bisa terjadi di akhir tahun. Begitu pula halnya dengan seorang dokter, insinyur, advokat, pemilik mobil
angkutan, pemilik hotel, dll. Sebab pertentangan itu adalah sikap yang terlalu mengagungkan pendapatpendapat
fikih yang tidak terjamin dan tidak terkontrol berupa hasil ijtihad para ulama. Kita tidak yakin bila
mereka hidup pada zaman sekarang dan menyaksikan `apa yang kita saksikan, apakah mereka akan meralat
ijtihad mereka dalam banyak masalah.
8. Pengeluaran zakat penghasilan setelah diterima akan lebih menguntungkan fakir miskin dan orangorang
yang berhak lainnya. Ini akan menambah besar perbendaharaan zakat dan juga memudahkan
pemiliknya dalam mengeluarkan zakatnya. Cara yang dinamakan oleh para ahli perpajakan dengan
"Penahanan pada Sumber" sudah dipraktekan oleh Ibn Mas'ud, Mu'awiyah dan juga Umar bin Abdul Aziz
yaitu dengan memotong gaji para tentara dan orang-orang yang di bawah kekuasaan negara saat itu.
9. Menegaskan bahwa zakat wajib atas penghasilan sesuai dengan tuntunan Islam yang menanamkan nilai-nilai
kebaikan, kemauan berkorban, belas kasihan dan suka memberi dalam jiwa seorang Muslim. Pembebasan
jenis-jenis penghasilan yang berkembang sekarang ini dari zakat dengan menunggu masa setahunnya, berarti
membuat orang-orang hanya bekerja, berbelanja dan bersenang-senang, tanpa harus mengeluarkan rezeki
pemberian Tuhan dan tidak merasa kasihan kepada orang yang tidak diberi nikmat kekayaan itu dan
kemampuan berusaha.
10. Tanpa persyaratan setahun bagi harta penghasilan akan lebih menguntungkan dari segi administrasi baik bagi
orang yang mengeluarkan maupun pihak amil yang memungut zakat. Persyaratan satu tahun bagi zakat
penghasilan, menyebabkan setiap orang harus menentukan jatuh tempo pengeluaran setiap jumlah
kekayaannya yang diterimanya. Ini berarti bahwa seseorang Muslim bisa mempunyai berpuluh-puluh masa
tempo masing-masing kekayaan yang diperoleh pada waktu yang berbeda-beda. Ini sulit sekali dilakukan,
dan sulit pula bagi pemerintah memungut dan mengatur zakat yang yang dengan demikian zakat tidak bisa
terpungut dan sulit dilaksanakan (Nantikan pula posting "Cara Membayar Zakat").
Demikian alasan yang dikemukakan beliau. Kalau ada yang mau protes silahkan, tapi jangan ke saya lho. Bila
ada yang setuju dengan pendapat Yusuf Al-Qaradhawy ini, maka silahkan mulai mengeluarkan zakat saat ini juga,
baik dari stipend yang diperoleh, honor, dll. Mari ber Fastabikhul Khairat dalam berzakat.
Pembahasan berikut ini adalah bagian akhir dari kaji kita mengenai zakat pencarian dan profesi, yaitu
membahas ukuran nisab dan besarnya zakat serta cara pembayaran yang mungkin dilakukan oleh kita para
professional.
Penghasilan dari profesi itu sendiri tidaklah selalu mudah diperoleh seperti halnya para dokter, banyak pula
diantaranya yang diperoleh dengan susah payah, misalnya penjahit, supir, dll, sehingga perlu diketahui pula nisab dan
besar zakatnya.
NISAB DAN BESARNYA ZAKAT PENCARIAN DAN PROFESI
Seteleh menetapkan harta penghasilan dari pencarian dan profesi adalah wajib zakat, yusuf Al-Qaradhawy
menjelaskan pula berapa besar nisab buat jenis harta ini, yaitu 85 GRAM EMAS seperti hal besarnya nisab uang
(yang telah kita kaji sebelumnya). Demikian pula dengan besarnya zakat adalah seperempatpuluh (2.5%) sesuai
dengan keumumman nash yang mewajibkan zakat uang sebesar itu.
Maka tinggal satu persoalan lagi !!!
Orang-orang yang memiliki profesi itu menerima pendapatan mereka tidak teratur, bisa setiap hari seperti
dokter, atau pada saat-saat tertentu seperti seorang advokat, kontraktor dan penjahit, atau secara regular mingguan
atau bulanan seperti kebanyakan para pegawai (seperti kita yang anggota korpri-)).
Bila nisab di atas ditetapkan untuk setiap kali upah, gaji yang diterima, berarti kita akan membebaskan
kebanyakan golongan profesi yang menerima gaji beberapa kali pembayaran dan jarang sekali cukup nisab dari
kewajiban zakat. Sedangkan bila seluruh gaji itu dalam satu waktu tertentu itu dikumpulkan akan cukup
senisab bahkan akan mencapai beberapa nisab.
Adapun waktu penyatuan dari penghasilan itu yang dimungkinkan dan dibenarkan oleh syariat itu adalah
satu tahun. Dimana zakat dibayarkan setahun sekali. Fakta juga menunjukkan bahwa pemerintah mengatur gaji
pegawainya berdasarkan ukuran tahun, meskipun dibayarkan per bulan karena kebutuhan pegawai yang mendesak.
Jangan lupa bahwa yang diukur nisabnya adalah penghasilan bersih, yaitu penghasilan yang telah dikurangi
Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy________________________________17
____________________________________________________________________________________________
dengan kebutuhan biaya hidup terendah atau kebutuhan pokok seseorang berikut tanggungannya (lihat posting syarat
harta yang wajib zakat), dan juga setelah dikurangi untuk pembayaran hutang (ini hutang bukan karena kredit barang
mewah lho, tapi karena untuk memenuhi kebutuhan pokok/primer seperti halnya bayar kredit rumah BTN, hutang
nunggak bayaran sekolah anak, dll).
Bila penghasilan bersih itu dikumpulkan dalam setahun atau kurang dalam setahun dan telah mencapai nisab,
maka wajib zakat dikeluarkan 2.5% nya. Bila seseorang telah mengeluarkan zakatnya langsung ketika menerima
penghasilan tsb (karena yakin dalam waktu setahun penghasilan bersihnya akan lebih dari senisab), maka tidak wajib
lagi bagi dia mengeluarkannya di akhir tahun (karena akan berakibat double zakat). Selanjutnya orang tsb harus
membayar zakat dari penghasilan tsb pada tahun kedua dalam bentuk kekayaan yang berbeda-beda.
• Bila kelebihan itu disimpan dalam bentuk uang, emas dan perak, maka kaji kita akan kembali pada
pembahasan mengenai zakat uang, emas dan perak.
• Bila kelebihan itu diinvestasikan (pabrik, gedung, rumah yang disewakan, kendaraan yang disewakan, dll),
kita perlu membahas zakat investasi.
• Bila harta tsb selanjutnya diputar dalam perdagangan maka zakatnya dibahas dalam zakat perdagangan.
• Bila dibelikan saham atau obligasi, maka zakatnya dibahas dalam zakat saham dan obligasi.
• Bila dibelanjakan untuk sesuatu yang dipergunakan sehari-hari atau yang tidak mempunyai potensi
berkembang, maka tidak ada kewajiban zakat lagi pada tempo yang kedua ini.
Demikian saja yang bisa saya sarikan mengenai Zakat Pencarian dan Profesi. Berikut ini cara simple untuk
kalkulasi yang bisa digunakan oleh Ikhwan sekalian.
Penerimaan kotor selama setahun : A
Kebutuhan pokok setahun : B
Hutang-hutang yang dibayar dalam setahun : C
Penghasilan bersih setahun : A-(B+C) = D
Bila D > atau = dengan nilai 85 gram mas, maka wajib zakat yaitu 2.5% X D.
Bila D < nilai 85 gram emas, maka tidak wajib zakat.
Jadi bila kita yakin bahwa perkiraan besarnya D yang kita miliki dalam setahun adalah lebih besar dari 85
gram emas, maka kita tidak perlu lagi ragu-ragu mengeluarkan zakat langsung ketika diterima. Misalnya dari gaji
bulanan diambil 2.5 % dari D/12 (karena perbulan).
Bila disamping gaji bulanan kita memperoleh tambahan penghasilan lain dari profesi kita, misalnya bagi dosen
universitas negeri yang juga mengajar di universitas swasta. Misalkan memperoleh sebesar E dalam setahun, maka
zakatnya adalah 2.5 % x (D+E), karena seluruh kebutuhan B dan C sudah tercover sebelumnya yang menghasilkan
D.
Perlu diingat bahwa ini hanya zakat kita dari penghasilan pencarian dan profesi. Bentuk-bentuk kekayaan lain
yang kita miliki seperti; peternakan, pertanian, investasi, emas dan perak, uang tabungan, saham, obligasi,
perdagangan dll, juga harus dikeluarkan zakatnya dengan ukuran nisab dan besar zakat yang berbeda satu dengan
lainnya. Dan saya mohon maaf karena tidak bisa membahas semua jenis kekayaan tsb.
SASARAN ZAKAT
Walaupun tidak begitu penting untuk diketahui oleh umumnya kita semua, apa sja sasaran-sasaran zakat
menurut Qur'an, tapi saya akan mensarikan secara singkat untuk memperjelas hal-hal yang mungkin masih rancu di
kalagan ummat Islam. Khususnya bagi Ikhwan yang terlibat atau akan melibatkan diri dalam masalah zakat ini pada
unit-unit zakat di lingkungan kerja, tempat tinggal atau keluarga masing-masing, maka topik ini menjadi penting.
Dapat dikatakan bahwa upaya mendistribusikan zakat adalah jauh lebih sulit dan kompliketed dari pada sekedar
mengumpulkan. Dalam buku Yusuf Al-Qaradhawy topik ini tercakup dalam Bagian IV : Sasaran Zakat yang
diuraikan lebih dari 220 halaman.
Sebagaimana yang diterangkan dalam QS 9:60, sassaran zakat ada 8 golongan : fakir, miskin, amil zakat,
golongan muallaf, memerdekakan budak belian, orang yang berutang, di jalan Allah, dan ibnu sabil.
Sasaran zakat ini sangat penting dalam pandangan Islam, sehingga terdapat hadits yang menjelaskan bahwa
untuk menentukan sasaran zakat ini seakan-akan Allah tidak rela bila Rasulullah SAW menetapkannya sendiri,
sehingga Allah SWT menurunkan ayat 9:60 tsb.
FAKIR DAN MISKIN
Siapakah yang disebut fakir dan miskin ?
Terdapat beragam definisi mengenai kata fakir dan miskin, tapi secara umum fakir dan miskin itu adalah
mereka yang kebutuhan pokoknya tidak tercukupi sedangkan mereka secara fisik tidak mampu bekerja atau tidak
mampu memperoleh pekerjaan.
Golongan ini dapat dikatakan sebagai inti sasaran zakat (Hadits: ... zakat yang diambil dari orang kaya dan
diberikan kepada orang miskin).
Selanjutnya kita dianjurkan pula untuk lebih memperhatikan orang-orang miskin yang menjaga diri dan
memelihara kehormatan. Sesuai hadits:
"Orang miskin itu bukanlah mereka yang berkeliling minta-minta agar diberi sesuap dua suap nasi, satu dua
biji kurma, tapi orang miskin itu ialah mereka yang hidupnya tidak berkecukupan kemudian diberi sedekah,
dan merekapun tidak pergi meminta-minta pada orang" (Bukhari Muslim)
Fakir miskin hendaklah diberikan harta zakat yang mencukupi kebutuhannya sampai dia bisa menghilangkan
kefakirannya. Bagi yang mampu bekerja hendaknya diberikan peralatan dan lapangan pekerjaan. Sedangkan bagi
yang tidak mampu lagi bekerja (orang jompo, cacat fisik), hendaknya disantuni seumur hidupnya dari harta zakat.
Maka jelaslah bahwa tujuan zakat bukanlah memberi orang miskin satu atau dua dirham, tapi maksudnya ialah
memberikan tingkat hidup yang layak. Layak sebagai manusia yang didudukan Allah sebagai khalifah di bumi, dan
layak sebagai Muslim yang telah masuk ke dalam agama keadilan dan kebaikan, yang telah masuk ke dalam ummat
pilihan dari kalangan manusia.
Tingkat hidup minimal bagi seseorang ialah dapat memenuhi makan dan minum yang layak untuk diri dan
keluarganya, demikian pula pakaian untuk musim dingin dan musim panas, juga mencakup tempat tinggal dan
keperluan-keperluan pokok lainnya baik untuk diri dan tanggungannya.
Wah, tentunya banyak sekali harta zakat yang harus dikumpulkan, sementara ini ummat Islam, ambil contoh di
Indonesia, masih sangat minim dalam menunaikan kewajiban ini.
AMIL ZAKAT
Amil merupakan sasaran berikutnya setelah fakir miskin (9:60). Amil adalah mereka yang melaksanakan
segala kegiatan urusan zakat, dimana Allah menyediakan upah bagi mereka dari harta zakat sebagai imbalan.
Dimasukkannya amil sebagai asnaf menunjukkan bahwa zakat dalam islam bukanlah suatu tugas yang
hanya diberikan kepada seseorang (individual), tapi merupakan tugas jamaah (bahkan menjadi tugas negara).
Zakat punya anggaran khusus yang dikeluarkan daripadanya untuk gaji para pelaksananya.
Syarat Amil (siapa tahu ada Isneter yang tertarik menjadi Amil Professional) :
1. Seorang Muslim
2. Seorang Mukallaf (dewasa dan sehat pikiran)
3. Jujur
4. Memahami Hukum Zakat
5. Berkemampuan untuk melaksanakan tugas
6. Bukan keluarga Nabi (sekarang sudah nggak ada nih)
7. Laki-laki
8. Sebagian ulama mensyaratkan amil itu orang merdeka (bukan hamba)
Tugas Amil :
Semua hal yang berhubungan dengan pengaturan zakat. Amil mengadakan sensus berkaitan dengan:
1. orang yang wajib zakat,
2. macam-macam zakat yang diwajibkan
3. besar harta yang wajib dizakat
4. Mengetahui para mustahik :
- Jumlahnya
- jumlah kebutuhan mereka dan jumlah biaya yang cukup untuk mereka.
Berapa besar bagian buat amil ini :
Amil tetap diberi zakat walau ia kaya, karena yang diberikan kepadanya adalah imbalan kerjanya bukan
berupa pertolongan bagi yang membutuhkan. Amil itu adalah pegawai, maka hendaklah diberi upah sesuai dengan
pekerjaannya, tidak terlalu kecil dan tidak juga berlebihan. Pendapat yang terkuat yang diambil Yusuf Qardawy
adalah pendapat Imam Syafi'i, yaitu maksimal sebesar 1/8 bagian. Kalau upah itu lebih besar dari bagian tersebut,
haruslah diambilkan dari harta diluar zakat, misalnya oleh pemerintah dibayarkan dari sumber pendapatan pemerintah
lainnya.
GHARIMIN
Gharimin dapat terbagi dua :
A. Orang yang berhutang untuk kemaslahatan sendiri (seperti untuk nafkah keluarga, sakit, mendirikan rumah
dlsb). Termasuk didalamnya orang yang terkena bencana sehingga hartanya musnah.
Beberapa syarat gharimin ini :
1. Hendaknya ia mempunyai kebutuhan untuk memiliki harta yang dapat membayar utangnya.
2. Orang tsb berhutang dalam melaksanakan ketaatan atau mengerjakan sesuatu yang diperbolehkan syariat.
3. Hutangnya harus dibayar pada waktu itu. Apabila hutangnya diberi tenggang waktu dalam hal ini terdapat
perbedaan pendapat di kalangan ulama apakah orang yang berhutang ini dapat dikategorikan sebagai
mustahik.
4. Kondisi hutang tsb berakibat sebagai beban yang sangat berat untuk dipikul.
Berapa besar orang yang berhutang harus diberikan ?
Orang yang berhutang karena kemaslahatan dirinya harus diberi sesuai dengan kebutuhannya. Yaitu untuk
membayar lunas hutangnya. Apabila ternyata ia dibebaskan oleh yang memberi hutang, maka dia harus
mengembalikan bagiannya itu. Karena ia sudah tidak memerlukan lagi (untuk membayar hutang).
Sesungguhnya Islam dengan menutup utang orang yang berhutang berarti telah menempatkan dua tujuan
utama :
1. Mengurangi beban orang yang berutang dimana ia selalu menghadapi kebingungan di waktu malam dan
kehinaan di waktu siang.
2. Memerangi riba.
B. Orang yang berhutang untuk kemaslahatan orang lain.
Umumnya hal ini dikaitkan dengan usaha untuk mendamaikan dua pihak yang bersengketa, namun tidak ada
dalil syara' yang mengkhususkan gharimin hanya pada usaha mendamaikan tsb. Oleh karenanya orang yang
berhutang karena melayani kepentingan masyarakat hendaknya diberi bagian zakat untuk menutupi
hutangnya, walaupun ia orang kaya.
Jadi bagi kita yang mengambil kredit TV misalnya, tentunya tidak termasuk kaum gharimin yang menjadi
sasaran zakat. Karena kita bukannya sengsara karena hutang, tapi justru menikmatinya.
FISABILILLAH
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai definisi "Fisabilillah" yang menjadi sasaran zakat
dalam ayat 9:60. Apakah harus digunakan definisi dalam arti sempit yaitu "jihad", atau definisi dalam arti luas yaitu
"segala bentuk kebaikan dijalan Allah".
Kesepakatan Madzhab Empat tentang Sasaran Fisabilillah.
1. Jihad secara pasti termasuk dalam ruang lingkup Fisabilillah.
2. Disyariatkan menyerahkan zakat kepada pribadi Mujahid, berbeda dengan menyerahkan zakat untuk keperluan
jihad dan persiapannya. Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan mereka.
3. Tidak diperbolehkan menyerahkan zakat demi kepentingan kebaikan dan kemaslahatan bersama, seperti
mendirikan dam, jembatan, masjid dan sekolah, memperbaiki jalan, mengurus mayat dll. Biaya untuk urusan
ini diserahkan pada kas baitul maal dari hasil pendapatan lain seperti harta fai, pajak, upeti, dlsb.
Namun beberapa ulama lain telah meluaskan arti sabilillah ini seperti : Imam Qaffal, Mazhab Ja'fari, Mazhab
Zaidi, Shadiq Hassan Khan, Ar Razi, Rasyid Ridha dan Syaltut, dll.
Setelah mengkaji perbedaan-perbedaan pendapat ini, dan juga merujuk pengertian kata fisabilillah yang tertera
dalam ayat-ayat Al Qur'an, maka sampailah Yusuf Qardhawi pada kesimpulan sbb :
Pendapat yang dianggap kuat adalah, bahwa makna umum dari sabilillah itu tidak layak dimaksud dalam
ayat ini, karena dengan keumumannya ini meluas pada aspek-aspek yang banyak sekali, tidak terbatas sasarannya
dan apalagi terhadap orang-orangnya. Makna umum ini meniadakan pengkhususan sasaran zakat delapan, dan
sebagaimana hadits Nabi yang berbunyi : "Sesungguhnya Allah tidak meridhoi hukum Nabi dan hukum lain dalam
masalah sedekah, sehingga Ia menetapkan hukumnya dan membaginya pada delapan bagian".
Seperti halnya sabilillah dengan arti yang umum itu akan meliputi pemberian pada orang-orang fakir, miskin
dan asnaf-asnaf lain, karena itu semua termasuk kebajikan dan ketaatan kepada Allah. Kalau demikian apa
sesungguhnya perbedaan antara sasaran ini dengan sasaran sesudah dan yang sebelumnya ? Sesungguhnya
Kalamullah yang sempurna dan mu'jiz pasti terhindar dari pengulangan yang tidak ada faedahnya. karenanya pasti
yang dimaksud disini adalah makna yang khusus, yang membedakannya dari sasaran-sasaran lain.
Makna yang khusus ini tiada lain adalah jihad, yaitu jihad untuk membela dan menegakkan kalimat Islam
dimuka bumi ini. Setiap jihad yang dimaksudkan untuk menegakkan kalimat allah termasuk sabilillah,
bagaimanapun keadaan dan bentuk jihad serta senjatanya.
Kemudian Yusuf Al-Qaradhawy memperluas arti Jihad ini tidak hanya terbatas pada peperangan dan
pertempuran dengan senjata saja, namun termasuk juga segala bentuk peperangan yang menggunakan akal dan hati
dalam membela dan mempertahankan aqidah Islam. Contoh : "Mendirikan sekolah berdasarkan faktor tertentu
adalah perbuatan shaleh dan kesungguhan yang patut disyukuri, dan sangat dianjurkan oleh Islam, akan tetapi ia tidak
dimasukkan dalam ruang lingkup JIHAD. Namun demikian, apabila ada suatu negara dimana pendidikan merupakan
masalah utama, dan yayasan pendidikan telah dikuasai kaum kapitalis, komunis, atheis ataupun sekularis, maka jihad
yang paling utama adalah mendirikan madrasah yang berdasarkan ajaran Islam yang murni, mendidik anak-anak
kaum Muslimin dan memeliharanya dari pencangkokan kehancuran fikiran dan akhlaq, serta menjaganya dari
racun-racun yang ditiupkan melalui kurikulum dan buku-buku, pada otak-otak pengajar dan ruh masyarakat yang
disahkan di sekolah-sekolah pendidikan secara keseluruhan.
Sebaliknya tidak semua peperangan termasuk kategori sabilillah, yaitu peperangan yang ditujukan untuk selain
membela agama Allah, seperti halnya perang yang sekedar membela kesukuan, kebangasaan, atau membela
kedudukan.
Kemana dipergunakan Bagian Sabilillah di zaman sekarang ?
- Membebaskan Negara Islam dari hukum orang kafir
- Bekerja mengembalikan Hukum Islam termasuk Jihad Fisabi-lillah, diantaranya melalui pendirian pusat
kegiatan Islam yang mendidik pemuda Muslim, menjelaskan ajaran Islam yang benar, memelihara aqidah dari
kekufuran dan mempersiapkan diri untuk membela Islam dari musuh-musuhnya. Mendirikan percetakan surat
khabar untuk menandingi berita-berita yang merusak dan menyesatkan ummat. Dll.
Demikian saja yang dapat dibahas dari 8 golongan sasaran zakat. Berikut ini adalah kesimpulan dari
pembahasan mengenai persoalan distribusi zakat yang diperoleh, apakah harus dibagi sama rata ke 8 golongan tsb,
atau bisa ada kebijakan lain. Setelah mendalami perbedaan pendapat di antara para ulama dalam masalah ini,
akhirnya Yusuf Al-Qaradhawy berkesimpulan sbb:
1. Harta zakat yang terkumpul mestilah dibagikan pada semua mustahik, apabila harta itu banyak dan semua
sasaran ada, kebutuhannya sama atau hampir sama. Tidak boleh ada satu sasaranpun yang boleh dihalangi
untuk mendapatkan, apabila itu merupakan haknya serta benar-benar dibutuhkan. Dan ini hanya berlaku bagi
Imam atau Hakim agama yang mengumpulkan zakat dan membagikannya pada mustahik.
2. Ketika diperkirakan ada dalam kenyataannya semua (delapan) mustahik itu, maka tidak wajib
mempersamakan antara semua sasaran dalam pemberiannya. Itu semua hanya tergantung pada jumlah dan
pada kebutuhannya. Sebab terkadang ada pada suatu daerah seribu orang fakir, sementara dari orang yang
berhutang atau ibnu sabil hanya sepuluh orang. Maka bagaimana mungkin pembagian untuk sepuluh orang
harus sama dengan orang yang seribu ? Karenanya kita melihat, yang paling tepat dalam masalah ini adalah
pendapat Imam Malik dan yang sebelumnya, yaitu Ibnu Syihab, yang mendahulukan sasaran yang paling
banyak jumlahnya dan kebutuhannya dengan bagian yang besar.
3. Diperbolehkan memberikan semua zakat, tertuju pada sebagian sasaran tertentu saja, untuk mewujudkan
kemaslahatan yang sesuai dengan syara' - yang meminta pengkhususan itu - sebagaimana halnya ketika ia
memberikan zakat kepada salah satu sasaran saja, iapun tidak diwajibkan menyamaratakan pemberian itu pada
individu yang diberinya. Akan tetapi boleh melebihkan antara yang satu dengan yang lain sesuai dengan
kebutuhan.
4. Hendaknya golongan fakir dan miskin adalah sasaran pertama yang harus menerima zakat, karena memberi
kecukupan kepada mereka, merupakan tujuan utama dari zakat, sehingga Rasulullah saw tidak menerangkan
dalam hadis Muadz dan juga hadis lain selain sasaran ini: " Zakat itu diambil dari orang yang kaya dan
diberikan pada orang fakir". Hal ini dikarenakan sasaran ini membutuhkan perhatian yang khusus. Tidak
dibenarkan misalnya seseorang hakim mengambil harta zakat kemudian dibelanjakan untuk tentara, dan
membiarkan golongan yang lemah yang membutuhkan dari golongan fakir miskin.
5. Hendaknya mengambil pendapat madzhab Syafii dalam menentukan batas yang paling tinggi yang diberikan
kepada petugas yang menerima dan membagikan zakat itu, yaitu 1/8 dari hasil zakat, tidak boleh lebih dari
itu.
6. Apabila harta zakat itu sedikit, seperti harta perorangan yang tidak begitu besar, maka dalam keadaan demikian
itu zakat diberikan pada satu sasaran saja, sebagaimana yang dikemukakan oleh an-Nakha'i dan Abu Tsaur,
bahkan diberikan pada satu individu, sebagaimana dikemukakan oleh Abu Hanifah, agar pemberian itu dapat
mencukupi kebutuhan si mustahik. Karena membagikannya harta yang sedikit, untuk sasaran yang banyak
atau orang yang banyak dari satu sasaran, sama dengan menghilangkan kegunaan yang diharapkan dari zakat
itu sendiri. Hal ini lebih baik daripada memberi kepada orang banyak, masing-masing beberapa dirham.
Pemberian itu tidak menyembuhkan dan tidak mencukupi.
CARA MEMBAYAR ZAKAT
Untuk menghilangkan keragu-raguan dalam pembayaran zakat, maka pada Bagian V, Yusuf Al-Qaradhawy
membahas secara khusus Cara Membayar Zakat yang mencakup bab-bab :
1. Hubungan pemerintah dengan zakat
2. Kedudukan niat dengan zakat
3. Menyerahkan harga zakat (bukan barangnya seperti halnya zakat fitrah)
4. Memindahkan zakat ke tempat bukan zakat tersebut dikumpulkan
5. Mempercepat mengeluarkan zakat dan mengakhirkan
6. Pembahasan lain di sekitar pembayaran zakat.
HUBUNGAN PEMERINTAH DENGAN ZAKAT
Hubungan pemerintah dengan zakat sangatlah erat, karena berdasarkan yang telah dicontohkan Rasulullah
SAW bahwa pemerintah mempunyai otoritas untuk memungut dan mendistribusikan zakat dikalangan ummat Islam.
Banyak para shahabat yang mendapat tugas khusus dari Rasulullah sebagai petugas zakat untuk tiap-tiap kaum dan
suku bangsa yang telah masuk Islam, yaitu petugas yang memungut zakat dari orang kaya dan mendistribusikannya
kepada mustahiknya. Demikian pula halnya dilakukan oleh para Khulafaur Rasyidin.
Atas dasar ini para ulama berpendapat : Wajib bagi pemerintah untuk menugaskan petugas zakat ini, karena di
antara manusia itu ada yang memiliki harta akan tetapi tidak mengetahui apa yang wajib baginya; ada pula yang kikir
sehingga wajib diutus orang untuk mengambil zakat daripadanya. Adapun petugas tersebut hendaklah petugas yang
Muslim dan yang dijamin tidak akan berbuat zalim terhadap harta zakat yang dikumpulkan. Masyarakat
berkewajiban membantu para penguasa dalam melancarkan urusan ini, dalam rangka memperkokoh bangunan Islam
dan memperkuat baitul-maal kaum Muslimin.
Adapun rahasia di balik itu semua adalah sbb :
1. Agar dapat terciptanya jaminan bagi si fakir akan haknya untuk tidak diabaikan begitu saja oleh orang kaya.
2. Si fakir meminta kepada pemerintah, bukan dari pribadi-orang kaya, untuk memelihara kehormatan mereka,
serta memelihara perasaan dan tidak melukai hatinya dari gunjingan dan kata-kata yang menyakitkan.
3. Dengan tidak memberikan urusan ini pada pribadi-pribadi lebih memungkinkan distribusi zakat yang lebih
tepat, tidak terkonsentrasi pada sebagian fakir miskin sedangkan sebagian lain terlantarkan.
4. Ada beberapa sasaran zakat yang berhubungan dengan kemaslahatan kaum Muslimin bersama, sehingga baik
pengumpulannya maupun pendistribusiannya tidak bisa dilakukan secara perorangan. Misalnya dalam
mengorganisasikan jihad fi sabilillah, mempersiapkan para da'i untuk menyampaikan risalah Islam, dll.
5. Sesungguhnya Islam adalah agama dan pemerintahan. Untuk tegaknya pemerintahan ini dibutuhkan harta
yang dengan itu dilaksanakan syariat.
Baitul-mal Zakat
Dikarenakan zakat mempunyai aturan khusus, penghasilan dan pengeluaran serta sasaran yang tertentu, maka
walaupun dikelola oleh pemerintah, mekanisme zakat ini tidak boleh disatukan dengan program pemerintah
lainnya yang bersifat umum. Oleh karenanya kaum Muslimin sejak dulu membutuhkan baitul mal khusus untuk
zakat, disamping adanya baitul-mal lainnya yaitu : baitul-mal pajak dan upeti; baitul-mal untuk ghanimah dan rikaz;
dan baitul-mal untuk barang yang tidak bertuan.
Para fuqaha telah membagi harta yang wajib zakat atas : harta zahir dan harta batin. Harta zahir adalah harta
yang dimungkinkan orang lain mengetahui secara persis seperti; peternakan, pertanian. Sedangkan harta batin adalah
sebaliknya yang hanya dapat diketahui oleh pemiliknya, seperti simpanan uang, dll.
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama, mengenai apakah zakat dari kedua jenis harta ini harus
diserahkan kepada pemerintah. Ada yang mengatakan harus keduanya, tapi ada yang mengatakan cukup zakat harta
zahir saja, sedangkan zakat harta batin diserahkan kepada individu untuk mendistribusikannya secara langsung.
Pendapat pertama merujuk apa yang dilakukan Rasulullah, Abu Bakar dan Umar, sedangkan pendapat kedua meruju
apa yang dilakukan oleh Usman bin Affan, dimana saat itu harta kaum Muslimin telah bertambah banyak dan ia
melihat kemaslahatan untuk menyerahkan pengeluaran zakat harta batin itu kepada pemiliknya, berdasarkan ijma'
sahabat, sehingga masing-masing pemilik harta tsb seolah-olah menjadi wakil dari penguasa.
Diantara perbedaan pendapat yang ada dikalangan ulama maupun mazhab yang ada, Yusuf Qardhawi
menarik benang merah dalam dua point yaitu :
1. Bahwa di antara hak penguasa adalah menuntut rakyatnya untuk mengeluarkan zakat, dalam harta apapun
juga, baik harta zahir maupun harta batin, dan terutama bila si penguasa mengetahui keadaan rakyat negaranya
bermalas-malasan dalam mengeluarkan zakat, sebagaimana yang telah diperintahkan Allah.
Perbedaan pendapat di atas muncul pada kondisi si penguasa tidak memintanya. Adapun jika si penguasa
meminta, maka zakat harus diserahkan, berdasarkan ijma' ulama.
2. Apabila Imam atau penguasa membiarkan urusan zakat dan tidak memintanya, maka tidaklah gugur
tanggungjawab zakat dari pemilik harta. Ini adalah masalah yang qath'i/pasti, yang tidak ada perbedaan
pendapat di dalamnya. Wajib bagi si pemilik harta untuk mengeluarkan sendiri kepada mustahiknya, karena
zakat merupakan ibadah dan kewajiban agama yang bersifat pasti.
Dari sini jelaslah bahwa yang menjadi pokok, adalah : penguasa itulah yang mengumpulkan zakat harta, baik
harta zahir maupun batin. Adapun bila terasa sulit mengumpulkan harta batin, maka itu dapat diberikan kebebasan
kepada si pemilik untuk mengeluarkan zakatnya sendiri. Namun apabila rakyat tidak melaksanakan kewajibannya,
maka hendaklah penguasa sendirilah yang mengumpulkan, sebagaimana pada asalnya.
Beberapa ulama modern dalam masalah perzakatan cenderung untuk mengandalkan peranan pemerintah dalam
pengumpulan zakat dikarenakan dewasa ini :
1. Telah banyak orang yang meninggalkan kewajiban zakat atas semua jenis hartanya, baik yang zahir maupun
yang batin. Hendaklah para penguasa mengambilnya secara paksa.
2. Secara umum jenis-jenis harta yang ada sekarang ini adalah harta zahir, yang bisa diketahui oleh orang lain
selain pemiliknya sendiri (misalnya simpanan di Bank sudah dapat diketahui pihak lain dengan mudah).
Dengan metode Qias terhadap suatu hal yang pernah dilakukan Rasulullah, Yusuf Al-Qaradhawy berpendapat
ada baiknya bila ketentuan zakat sebesar 1/4 atau 1/3 bagiannya diserahkan atas kesadaran pemilik harta untuk
membagikannya sendiri berdasarkan sepengetahuan dan pilihan mereka baik untuk kalangan kerabat maupun
tetangga yang tersembunyi.
Adapun penguasa yang diperbolehkan memungut zakat adalah penguasa yang beragama Islam, yang beriman
dan berpegang teguh kepada ajaran Islam yang mereka rela Islam sebagai suatu hukum, dan bahkan mereka berjihad
di dalamnya.
Selanjutnya terdapat pula perbedaan untuk pemerintahan Islam yang adil dan yang zhalim. Jika pemerintahan
Islam itu berlaku zalim, maka ada yang tetap membolehkan secara mutlaq, ada yang melarang secara mutlaq, dan ada
yang melihat sejauh mana tingkat kezalimannya.
Setelah membandingkan berbagai pendapat tsb, Yusuf Al-Qaradhawy mengambil pendapat terkuat, bahwa
adalah sah menyerahkan kepada penguasa zalim, apabila mereka mengambilnya sesuai dengan persyaratan zakat. Si
Muslim tidak diperintahkan untuk mengeluarkannya kembali dalam bentuk apapun, kecuali si penguasa
mengambilnya bukan dengan nama zakat.
Yusuf Al-Qaradhawy memilih untuk menyerahkan zakat pada penguasa jika si penguasa masih
menyampaikan pada mustahiknya dan mengeluarkannya tepat pada sasaran yang sesuai dengan perintah syara',
walaupun ia berlaku zalim dalam urusan-urusan lain. Apabila ia tidak menempatkan zakat tepat pada sasarannya,
maka janganlah diserahkan padanya, kecuali kalau ia meminta, maka tidak diperkenankan menolaknya, berdasarkan
hadits-hadits dan fatwa-fatwa sahabat yang mengungkapkan penyerahan zakat pada penguasa, walaupun mereka
zalim.
Sekian dulu Ikhwan sekalian. Perlukah kita mengutarakan niat kita setiap membayar zakat ? Bolehkah zakat
kita dihargakan ? dan bolehkah zakat kita dikirimkan ke tempat lain sementara sekeliling kita masih ada yang
membutuhkan ? Saksikanlah pentayangan berikutnya, Insya Allah.
KEDUDUKAN NIAT DALAM ZAKAT
Niat adalah yang membedakan antara ibadah dan pengabdian dengan yang lain. Dengan demikian niat
disyaratkan dalam membayar zakat. Yang dimaksudkan disini adalah si muzakki (pembayar zakat) meyakini
bahwa apa yang dikeluarkan tersebut adalah zakat hartanya, atau zakat harta orang yang dikeluarkan melalui
dia (seperti harta anak yatim dan harta orang gila). Tempat niat adalah hati; karena tempat semua yang diitikadkan
itu adalah hati.
Seandainya ada penguasa yang mengambil harta seseorang secara paksa dengan niat untuk mengambil
zakatnya (yang memang dibenarkan secara hukum) tapi seseorang (yang memang enggan membayar) tidak
meniatkan bahwa harta yang telah diambil itu adalah zakat, maka secara perundangan zakat, kewajiban zakat orang
tsb telah gugur dalam artian dia tidak diwajibkan lagi berzakat, tapi dari segi pahala disisi Allah, orang tsb tidak
mendapatkan apa-apa.
Kapankah kita meniatkan zakat harta kita, apakah pada saat kita memisahkan harta untuk zakat, atau pada
saat memberikannya kepada mustahik. Para ulama berbeda pendapat disini dimana ada pula yang mengharuskan
kedua-duanya. Namun Yusuf Al-Qaradhawy menyokong pendapat yang tidak mempersulit yaitu cukuplah bagi si
Muslim berniat secara umum saja pada waktu memisahkan zakat dari hartanya, sehingga tidak perlu lagi bagi dia
meniatkan setiap kali dia memberikan kepada setiap mustahik yang menerima zakatnya.
MENYERAHKAN HARGA ZAKAT
Apakah boleh kita menghargakan zakat kita ? Karena Rasulullah memerintahkan untuk mengambil bijibijian
dari biji-bijian, unta dari unta, selain itu dikhawatirkan harga yang digunakan tidak memihak kepada hak fakir
miskin. Sebagian ulama mengatakan bahwa zakat harus diserahkan sesuai dengan bentuk hartanya namun ulama lain
memperbolehkan zakat tersebut dihargakan, seperti yang pernah dilakukan sahabat.
Setelah mengkaji kemaslahatannya, Yusuf Al-Qaradhawy akhirnya menyokong pendapat yang
memperbolehkan, yaitu dengan syarat bahwa adalah terlarang mengeluarkan harga zakat tanpa ada kebutuhan dan
tanpa ada kemaslahatan yang jelas (untuk semua pihak baik sipemberi, amil, maupun mustahik).
MEMINDAHKAN ZAKAT KE TEMPAT BUKAN PENGHASIL ZAKAT
Sebagaimana Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin contohkan, yaitu dengan mengutus petugas-petugas zakat
ke setiap daerah/negeri, untuk memungut zakat dari orang-orang kaya dan memberikannya kepada yang miskin di
antara mereka, maka hendaklah zakat itu didistribusikan pada tempat dimana zakat tersebut dikumpulkan.
Pemindahan zakat dari suatu daerah ke daerah lain, dalam keadaan penduduk di daerah asal masih membutuhkannya,
adalah menodai hikmat zakat yang diwajibkan karenanya. Setiap kaum lebih berhak terhadap zakatnya, sehingga
mereka berkecukupan dengannya.
Dalam hal ini ulama bersepakat, bahwa zakat itu harus dibagikan di daerah dimana zakat itu dikumpulkan.
Jika penduduk setempat tidak lagi membutuhkan zakat, maka zakat itu boleh dipindahkan ke penduduk lain. Namun
demikian dalam kondisi tertentu, untuk memperoleh kemaslahatan yang lebih baik, penguasa yang adil atau
berdasarkan hasil musyawarah, diperbolehkan memindahkan zakat ke tempat lain yang lebih membutuhkan,
walaupun di daerah asal masih membutuhkannya.
Demikian pula seorang Muslim, apabila ia mengeluarkan sendiri zakatnya, ia diperbolehkan pula untuk
mengirimkan zakatnya ke tempat lain karena adanya kemaslahatan yang dianggap kuat (misalnya dikirimkan kepada
kerabatnya di kampung).
MEMPERCEPAT MENGELUARKAN ZAKAT DAN MENGAKHIRKANNYA
Bersegera dalam mengeluarkan zakat adalah suatu kebaikan yang sesuai pula dengan perintah Allah:
"Bersegeralah kamu sekalian pada amal perbuatan yang akan menyebabkan kamu mendapat ampunan dari Tuhanmu
dan syurga" (3:133). Apalagi dikuatirkan kewajiban zakat ini akan dikalahkan oleh sifat kikir dan hawa nafsu.
Sebagaimana yang kita ketahui sebelumnya bahwa harta zakat itu terbagi dua; yang disyaratkan setahun, dan
yang dikeluarkan pada saat diterima. Untuk yang terakhir, jelas kiranya, zakat dikeluarkan sesegera mungkin. Tapi
apakah demikian pula untuk jenis harta yang pertama, seperti peternakan, emas, perak, dll?
Sebagian besar fuqaha berpendapat untuk jenis harta yang pertama sbb: apabila telah terdapat sebab wajib
zakat, yaitu nisab yang sempurna, maka boleh mendahulukan mengeluarkan zakat sebelum datang waktu setahun,
bahkan diperbolehkan mendahulukan untuk masa dua tahun atau lebih.
Adapun mengakhirkan zakat adalah tidak boleh, kecuali ada kemaslahatan yang ingin dicapai, misalnya
karena menunggu orang yang lebih membutuhkan, atau menunggu kerabat yang membutuhkan, atau jumlah yang
dikeluarkan masih sedikit sehingga tidak akan bermanfaat banyak bagi mustahik, dll. Akan tetapi dia bertanggung
jawab apabila hartanya rusak atau hilang dalam masa menunggu tsb.
Selanjutnya kewajiban tidak gugur bila terlewat satu tahun atau beberapa tahun (tidak ada pemutihan zakat).
Demikian pula zakat tidak gugur dengan sebab matinya si pemilik harta. Karena zakat bukanlah ibadah badan, tapi
ibadah harta yang terkait dengan hak orang lain.
BERBAGAI PEMBAHASAN DI SEKITAR PEMBAYARAN ZAKAT
Apakah boleh mewakilkan dalam mengeluarkan zakat ?
Boleh. Namun demikian hendaklah tidak mewakilkannya pada orang yang bukan Muslim, kecuali karena
sesuatu kebutuhan, dengan syarat orang itu terpercaya dan dapat menyampaikan sesuai dengan kehendak
orang yang mewakilkan.
Menampakkan zakat ketika mengeluarkan ?
Yang utama dalam berzakat adalah menampakkannya pada waktu mengeluarkan, agar dilihat dan diikuti orang
dan agar tidak ada penilaian buruk atas orang itu. Ini termasuk syiar islam. Seperti halnya shalat fardhu
yang disunatkan menampakkannya, dan sesungguhnya yang disunatkan menyembunyikannya itu adalah shalat
sunnat dan puasa sunat, juga sedekah sunat tentunya.
Apakah si Fakir perlu diberitahu bahwa pemberian itu adalah zakat ?
Tidak harus memberitahukan kepada si fakir ketika menyerahkan zakat atau sesudahnya, karena mungkin akan
menyakiti hatinya.
.
KEWAJIBAN LAIN DI LUAR ZAKAT
Berikut ini secara sangat ringkas disarikan Bagian VIII dari buku Fikih Zakat karya Yusuf Al-Qaradhawy.
Bab inilah yang akhirnya menyimpulkan bahwa zakat itu hanya kewajiban minimal dari harta seorang Muslim, atau
menurut Ustadz Didin Hafidhuddin (penterjemah buku ini) zakat adalah batas kekikiran seorang muslim.
Sehingga adalah salah kaprah bila dikatakan orang yang berzakat adalah orang yang dermawan, karena
sesungguhnya dia baru terlepas dari batas kekikirannya
Umumnya para ahli fikih berpendapat bahwa zakat adalah satu-satunya kewajiban atas harta. Barangsiapa
telah berzakat, maka bersihlah hartanya dan bebaslah kewajibannya. Dan ia pun tidak punya kewajiban lagi, bila
zakat tekah ditunaikan, kecuali sedekah sunat. Inilah pendapat yang termasyhur di kalangan para ahli fikih periode
muta'akhirin.
Namun demikian golongan lainnya sejak zaman sahabat sampai masa tabi'in berpendapat bahwa dalam harta
ada kekayaan ada kewajiban lain selain zakat. Pendapat tsb datang dari Umar, Abu Dzar, Aisyah, Ibnu Umar, Abu
Hurairah, dll shahabat dan para tabiin.
Dalil-dalil yang mereka gunakan antara lain :
1. QS 2:177, dimana pada ayat ini Allah mengajarkan tenang kebaikan hakiki dan agama yang benar dengan
mensejajarkan : *** (a) pemberian harta yang dicintai kepada kerabat, anak-anak yatim, orang miskin, musafir,
orang yang meminta-minta dan memerdekakan hamba sahaya,*** dengan (b) Iman kepada Allah, hari
kemudian, malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan menepati janji, dll.
Point-point dalam group (a) di atas : (1) bukannya hal yang sunnah, tapi termasuk pokok-pokok yang fardhu,
karena disejajarkan dengan hal-hal yang fardhu dan (2) bukan termasuk zakat, karena zakat disebutkan
tersendiri juga.
2. Hadits-hadits shahih mengenai hak tamu atas tuan rumah. Perintah menghormati tamu menunjukkan wajib
karena perintah itu dikaitkan dengan iman, dan setelah tiga hari dianggap sebagai sedekah.
3. Ayat Quran yang mengancam orang yang menolak memberi pertolongan kepada mereka yang memerlukan,
seperti halnya dalam surat Al Maun, dimana Allah mangaggap celaka bagi orang enggan menolong dengan
barang yang berguna bersamaan dengan orang yang berbuat ria (yang dalam beberapa hadits selanjutnya
diterangkan Al'Maun tsb walaupun hanya berupa timba, dandang, atau kampak).
4. Dll.
Yusuf Al-Qaradhawy sendiri termasuk orang yang menegaskan bahwa masih ada kewajiban lain terhadap
harta kita diluar zakat. Hal mana dibutuhkan untuk merealisasikan sifat sayang-menyayangi, tolong-menolong,
setia kawan, dan berbuat baik yang diperintahkan oleh Quran dan Hadits. Agar warga masyarakat dapat memperoleh
tingkat hidup yang layak.
Apabila hasil zakat dan pendapatan negara lainnya mencukupi untuk menutupi kebutuhan mereka, maka Allah
SWT tidak menuntut hak yang lain dari orang Mu'min untuk para fakir miskin. Tetapi apabila itu tidak mencukupi,
maka wajib kepada mereka yang kaya untuk menjamin kebutuhan mereka, baik dalam hubungan kerabat dekat,
tetangga dan hubungan-hubungan lainnya. Apabila sebagian mereka telah menunaikan kewajiban ini atas dorongan
iman mereka, maka gugurlah dosa dari yang lain (Jadi dapat diartikan sebagai fardhu kifayah). Tapi kalau kewajiban
ini tidak tertunaikan, maka pemerintah atas nama Islam diwajibkan turun tangan untuk menanggulangi keperluan
fakir miskin ini yang diminta dari mereka yang kaya.
ZAKAT DAN PAJAK
Zakat dan pajak, meski keduanya sama-sama merupakan kewajiban dalam bidang harta, namun keduanya
mempunyai falsafah yang khusus, dan keduanya berbeda sifat dan asasnya, berbeda sumbernya, sasaran, bagian serta
kadarnya, disamping berbeda pula mengenai prinsip, tujuan dan jaminannya. Sesungguhnya ummat Islam dapat
melihat bahwa zakat tetap menduduki peringkat tertinggi dibandingkan dengan hasil pemikiran keuangan dan
perpajakan zaman modern, baik dari segi prinsip maupun hukum-hukumnya.
Untuk Bagian terakhir ini Yusuf Al-Qaradhawy menjelaskan sangat detil dalam 8 bab :
1. Hakekat pajak dan zakat
2. Asas teori kewajiban pajak dan zakat
3. Objek pajak dan zakat
4. Prinsip keadilan pajak dan zakat
5. Tarip tetap dan bertingkat pada pajak dan zakat
6. Jaminan pajak dan zakat
7. Pelaksanaan pajak disamping zakat
8. Apakah membayar pajak mencakup kewajiban zakat
HAKIKAT PAJAK DAN ZAKAT
Pajak ialah kewajiban yang ditetapkan terhadap wajib pajak, yang harus disetorkan kepada negara sesuai
dengan ketentuan, tanpa mendapat prestasi kembali dari negara dan hasilnya untuk membiayai pengeluaranpengeluaran
umumdi satu pihak dan untuk merealisir sebagian tujuan ekonomi, sosial, politik dan tujuan-tujuan lain
yang ingin dicapai negara.
Zakat ialah hak tertentu yang diwajibkan Allah SWT terhadap kaum Muslimin yang diperuntukkan bagi
mereka, yang dalam Quran disebut kalangan fakir miskin dan mustahik lainnya, sebagai tanda syukur atas nikmat
Allah SWT dan untuk mendekatkan diri kepadaNya, serta untuk membersihkan diri dan hartanya.
Dapat dipetik beberapa titik persamaan antara zakat dan pajak :
1. Adanya unsur paksaan untuk mengeluarkan
2. Keduanya disetorkan kepada lembaga pemerintah (dalam zakat dikenal amil zakat)
3. Pemerintah tidak memberikan imbalan tertentu kepada si pemberi.
4. Mempunyai tujuan kemasyarakatan, ekonomi dan politik disamping tujuan keuangan.
Adapun segi perbedaannya :
1. Dari segi nama dan etiketnya yang memberikan motivasi yang berbeda. Zakat : suci, tumbuh. Pajak
(dharaba) : upeti.
2. Mengenai hakikat dan tujuannya
Zakat juga dikaitkan dengan masalah ibadah dalam rangka pendekatan diri kepada Allah.
3. Mengenai batas nisab dan ketentuannya.
Nisab zakat sudah ditentukan oleh sang Pembuat Syariat, yang tidak bisa dikurangi atau ditambah-tambahi
oleh siapapun juga. Sedangkan pada pajak bisa hal ini bisa berubah-ubah sesuai dengan polcy pemerintah.
4. Mengenai kelestarian dan kelangsungannya
Zakat bersifat tetap dan terus menerus, sedangkan pajak bisa berubah-ubah.
5. Mengenai pengeluarannya
Sasaran zakat telah terang dan jelas. Pajak untuk pengeluaran umum negara.
6. Hubungannya dengan penguasa
Hubungan wajib pajak sangat erat dan tergantung kepada penguasa. Wajib zakat berhubungan dengan
Tuhannya. Bila penguasa tidak berperan, individu bisa mengeluarkannya sendiri-sendiri.
7. Maksud dan tujuan
Zakat memiliki tujuan spiritual dan moral yang lebih tinggi dari pajak.
Berdasarkan point-point di atas dapatlah dikatakan bahwa "zakat adalah ibadat dan pajak sekaligus". Karena
sebagai pajak, zakat merupakan kewajiban berupa harta yang pengurusannya dilakukan oleh negara. Negara
memintanya secara paksa, bila seseorang tidak mau membayarnya sukarela, kemudian hasilnya digunakan untuk
membiayai proyek-proyek untuk kepentingan masyarakat.
Apa yang coba diterangkan dalam masalah perpajakan dewasa ini telah dilaksanakan Islam jauh sebelumnya.
Inilah syariat yang berasal dari Pembuat Syariat yang Maha Tahu. Berikut ini adalah salah satu bab dalam buku
Yusuf Al-Qaradhawy yang mengupas hal tsb.
PRINSIP KEADILAN ANTARA PAJAK DAN ZAKAT
Para ahli ekonomi keuangan menyerukan agar dalam masalah perpajakan hendaknt tetap memegang prinsip
dan kaedah yang dapat menghalangi timbulnya penipuan dan kecurangan sehingga menepati prinsip keadilan,
disamping itu dapat mencapai sasaran yang tepat dengan tidak memberatkan pihak wajib pajak disatu segi dan pihak
pelaksana administrasi keuangan di sisi lain. Hal ini ternyata sudah diterapkan Islam dalam mekanisme zakat jauh
sebelumnya.
Dikenal empat prinsip yang mesti diperhatikan dalam soal perpajakan, yaitu : keadilan, kepastian, kelayakan
dan ekonomis.
Tentang Keadilan
Ini merupakan prinsip pertama yang wajib diperhatikan dalam setiap pajak yang dikenakan pada masyarakat.
Prinsip yang sesuai dengan syariat Islam, dimana Islam menuntutnya dalam segala hal. Prinsip keadilan ini dijumpai
pada :
1. Sama rata dalam kewajiban zakat
Setiap Muslim yang mempunyai satu nisab zakat adalah wajib zakat tanpa memandang bangsa, warna kulit,
keturunan atau kedudukan dalam masyarakat, laki-laki, perempuan, pemerintah, yang diperintah, pemimpin
agama, pemimpin negara, semua sama.
2. Membebaskan harta yang kurang dari nisab
3. Larangan berzakat dua kali
Banyak hadits yang menerangkan larangan ini. Dalam studi perpajakan dikenal dengan nama : "Larangan
Pajak Double".
4. Besar zakat sebanding dengan besar tenaga yang dikeluarkan.
Semakin mudah memperoleh, semakin besar zakatnya, seperti halnya zakat pertanian ada yang 10% dan 5%.
Prinsip ini masih belum begitu dihiraukan oleh para ahli keuangan.
5. Memperhatikan kondisi dalam pembayaran
Dengan juga memperhatikan besarnya pendapatan, beban keluarga, hutang-hutang yang dimiliki, dipungut
dari pendapatan bersih, dll.
6. Keadilan dalam praktek
Islam memberikan perhatian istimewa dan hati-hati terhadap pelaksana pemungut zakat (amil), yaitu dengan
persyaratan yang tinggi untuk menjadi amil, dan posisi yang mulia bagi mereka, seperti hadits sbb : "Orang
yang bekerja memungut sedekah dengan benar adalah seperti orang yang berperang di jalan Allah" (Hadits
shahih).
Tentang Kepastian
Pengetahuan para subjek pajak tentang kewajiban-kewajibannya hendaklah pasti, tak boleh ada keraguan
sedikitpun, sebab ketidakpastian dalam sistem pajak apapun sangat membahayakan bagi tegaknya keadilan dalam
distribusi beban pajak. Kepastian itu sangat erat hubungannya dengan kestabilan pajak. Dalam mekanisme zakat
tidak diragukan lagi bahwa kaidah ini sangat jelas.
Tentang Kelayakan
Kesimpulan prinsip ini ialah menjaga perasaan wajib pajak dan berlaku sopan terhadap mereka, sehingga
dengan sukarela mereka akan menyerahkan pajak itu tanpa ada rasa ragu dan terpaksa karena suatu perlakuan yang
kurang baik.
Dalam zakat hal ini sudah mendapat perhatian seperti halnya :
* Perintah untuk memungut zakat dari harta yang kualitasnya pertengahan dan melarang memungut yang
terbaik, misalnya ternak.
* Nabi menyuuruh tukang taksir agar memperkecil taksiran terhadap tanaman dan buah-buahan.
* Bolehnya menangguhkan zakat karena ada satu sebab yang menghalangi, misalnya ketika terjadi wabah
kelaparan.
* Dll.
Tentang Faktor Ekonomis
Yang dimaksudkan disini adalah ekonomis dalam biaya pemungutan pajak dan menjauhi berbagai
pemborosan. Jangan sampai bagian besar dari pajak yang terkumpul hanya habis terserap oleh petugas pajak.
Islam sangat melarang pemborosan kepada harta pribadi seseorang, apalagi terhadap harta kepunyaan umum
terutama lagi terhadap harta zakat. Diceritakan, bagaimana para petugas zakat berangkat untk mengumpulkan zakat,
yang lalu dibagikan kepada yang berhak, sehingga ketika mereka pulang pun mereka tidak membawa apa-apa lagi.
Jatah untuk para amilpun di batasi (maksimal 1/8 bagian).
APAKAH PAJAK DIWAJIBKAN DI SAMPING ZAKAT ?
Apabila Islam telah mewajibkan zakat sebagai hak yang dimaklumi atas harta kaum Muslimin dan
menjadikannya sebagai pajak yang dikelola oleh pemerintah Islam, maka bolehkah pemerintah Islam mewajibkan
kepada orang kaya pajak-pajak lain disamping zakat untuk melaksanakan kepentingan ummat dan menutupi
pembiayaan umum negara ? Jawabnya boleh tapi dengan syarat.
Dalil-dalil yang memperbolehkan adanya kewajiban pajak disamping zakat
1. Karena jaminan/solidaritas sosial merupakan suatu kewajiban. Hal ini sudah kita kupas pada bagian yang
membahas adanya kewajiban lain di luar zakat.
2. Sasaran zakat itu terbatas sedangkan pembiayaan negara itu banyak sekali.
Zakat harus digunakan pada sasaran yang ditentukan oleh syariah dan menempati fungsinya yang utama dalam
menegakkan solidaritas sosial. Zakat tidak digunakan untuk pembangunan jalan, jembatan dll. Bila
pemerintahan Islam dulu memperoleh pemasukan dari Kharaj (rampasan perang) untuk membiayai keperluankeperluan
tsb, maka untuk saat ini Yusuf Al-Qaradhawy menyokong pendapat para ulama yang berpendapat
bahwa pemerintah dapat memungut kewajiban pajak dari orang-orang kaya.
3. Adanya kaidah-kaidah umum hukum syara' yang memperbolehkan. Misalnya kaidah "Maslahih Mursalah"
(atas dasar kepentingan). Kas yang kosong akan sangat membahayakan kelangsungan negara, baik adanya
ancaman dari luar maupun dari dalam. Rakyat pun akan memilih kehilangan harta yang sedikit karena pajak
dibandingkan kehilangan harta keseluruhan karena negara jatuh ke tangan musuh.
4. Adanya perintah Jihad dengan harta
Islam telah mewajibkan ummatnya untuk berjihad dengan harta dan jiwa sebagaimana difirmankan dalam Al
Quran 9:41, 49:51, 61:11, dll. Maka tidak diragukan lagi bahwa jihad dengan harta itu adalah kewajiban lain
di luar zakat. Di antara hak pemerintah (ulilamri) dari kaum Muslimin adalah menentukan bagian tiap orang
yang sanggup memikul beban jihad dengan harta ini.
5. Kerugian yang dibalas dengan keuntungan
Sesungguhnya kekayaan yang diperoleh dengan pajak akan digunakan untuk segala keperluan umum yang
manfaatnya kembali kepada masyarakat seperti; pertahanan dan keamanan, hukum, pendidikan, kesehatan,
pengangkutan, dll.
Syarat-syarat diperbolehkannya pajak di luar zakat
Pajak yang diakui dalam sejarah Islam dan dibenarkan sistemnya harus memenuhi syarat-syarat sbb:
1. Harta itu benar-benar dibutuhkan dan tak ada sumber lain. Tidak diperbolehkan memungut sesuatu dari rakyat
selagi dalam baitul-mal masih terdapat kekayaan.
2. Adanya pembagian pajak yang adil.
Pengertian adil tidak harus sama rata bebannya.
3. Pajak hendaknya dipergunakan untuk membiayai kepentingan ummat bukan untuk maksiat dan hawa nafsu.
Pajak bukan upeti untuk para raja dalam rangka memuaskan hawa nafsu, kepentingan pribadi dan keluarga
mereka, atau kesenangan para pengikut mereka, tetapi harus dikembalikan untuk kepentingan masyarakat luas.
4. Adanya persetujuan para ahli dan cendikia.
Pemerintah tidak bertindak sendirian dalam hal mewajibkan pajak, menentukan besarnya serta memungutnya
tanpa adanya persetujuan dari hasil musyawarah para ahli atau cendikia dari kalangan masyarakat (dewan
perwakilan rakyat).
Ternyata pajak sangat dimungkinkan keberadaanya di luar kewajiban zakat. Dengan demikian diskusi di isnet
tahun-tahun yang lalu yang ingin memperbesar persentase zakat untuk mengimbangi besarnya pengeluaran
pemerintah adalah tidak beralasan. Zakat adalah kewajiban yang bersifat tetap (lihat posting-posting sebelumnya).
Tinggal satu posting lagi untuk mengakhiri pembahasan Pajak dan Zakat.
Terdapat beberapa pendapat yang mencoba mengawinkan antara zakat dan pajak, dan memungkinkan
adanya substitusi antara pajak dan zakat. Sehingga bagi kita yang telah rajin membayar pajak tidak perlu lagi
membayar zakat, benarkah ? Hal ini diulas panjang lebar oleh Yusuf Al-Qaradhawy di bagian akhir buku beliau.
APAKAH CUKUP MEMBAYAR PAJAK SAJA TANPA MEMBAYAR ZAKAT
Itu adalah suatu pertanyaan yang sering muncul diantara kita. Yang saat ini merasakan terbebani dua
kewajiban sekaligus.
Namun setelah mengkaji beberapa perbedaan antara pajak dan zakat maka dapat dimengerti bahwa zakat
tidak dapat digantikan oleh pajak, walaupun sasaran zakat dapat dipenuhi sepenuhnya oleh pengeluaran dari pajak.
Zakat berkaitan dengan ibadah yang diwarnai dengan kemurnian niat karena Allah. Ini adalah tali penghubung
seorang hamba dengan khaliqnya yang tidak bisa digantikan dengan mekanisme lain apapun. Zakat adalah
mekanisme yang unik Islami, sejak dari niat menyerahkan, mengumpulkan dan mendistribusikannya. Maka apapun
yang diambil negara dalam konteks bukan zakat tidak bisa diniatkan oleh seorang Muslim sebagai zakat hartanya.
Demikian pula setiap pribadi Muslim wajib melaksanakannya walaupun dalam kondisi pemerintah tidak
memerlukannya atau tidak mewajibkannya lagi.
Adalah suatu hal yang sangat berbahaya, bila kita diperbolehkan untuk mengganti zakat dengan pungutanpungutan
lainnya, niscaya hukum wajib zakat akan hilang dan sedikit demi sedikit akan sirna dari kehidupan setiap
orang, seperti hal telah lenyapnya zakat dari undang-undang pemerintahan saat ini.
Sesungguhnya zakat tidak dapat dicukupi oleh pajak. Inilah pendapat yang akan menyelamatkan agama
seorang Muslim, yang akan melestarikan kewajiban tersebut dan mengekalkan hubungan antara kaum Muslimin
melalui zakat, sehingga zakat tidak dapt diganti dengan nama pajak dan tak dapat dihilangkan begitu saja.
Benar orang Islam itu dibebani kesulitan dalam menanggung beban harta yang sebagian ini tidak dapat
dipikulnya. Akan tetapi ini adalah kewajiban iman dan tuntutan Islam, khususnya dalam masa-masa cobaan (fitnah)
yang membuat bimbang orang-orang penyantun dan orang yang memegang agama seperti orang yang menggenggam
bara api.
Akhirnya kaum Muslimin berkewajiban untuk bekerja dan berjuang untuk memperbaiki penyimpanganpenyimpangan,
meluruskan peraturan yang bengkok dan mengembalikannya pada jalan yang lurus dalam hukum
Islam. Tanpa usaha tersebut orang Muslim akan dirugikan oleh harta, jiwa dan sosial, karena ia akan hidup dalam
masyarakat yang membuatnya hidup terbelakang tanpa ada yang menolongnya, dan diam tanpa berbuat apa-apa.
Dan ini merupakan cobaan umum dalam segala sektor kehidupan yang dituntut oleh Islam terhadap putera-puteri
Islam agar tetap berpegang teguh pada syariat Islam, bukan hanya dalam soal zakat saja.
ZAKAT DALAM ISLAM ADALAH SISTEM BARU DAN UNIK
Dari celah-celah seluruh bagian dan bab pada buku ini jelaslah kepada kita bahwa zakat diwajibkan mulamula
di Madinah dan diterangkan batas-batas serta hukumnya, zakat adalah suatu sistem baru yang unik dalam
sejarah kemanusiaan. Suatu sistem yang belum pernah ada pada agama-agama samawi juga dalam peraturanperaturan
manusia. Zakat mencakup sistem keuangan, ekonomi, sosial, politik, moral dan agama sekaligus.
Zakat adalah sistem keuangan dan ekonomi karena ia merupakan pajak harta yang ditentukan. Sebagai
sistem sosial karena berusaha menyelamatkan masyarakat dari berbegai kelemahan. Sebagai sistem politik karena
pada asalnya negaralah yang mengelola pemungutan dan pembagiannya. Sebagai sistem moral karena ia bertujuan
membersihkan jiwa dari kekikiran orang kaya sekaligus jiwa hasud dan dengki orang yang tidak punya. Akhirnya
sebagai sistem keagamaan karena menunaikannya adalah salah satu tonggak keimanan dan ibadah tertinggi dalam
mendekatkan diri kepada Allah.
Zakat itu sendiri menjadi bukti bahwa ajaran Islam itu dari Allah SWT. Suatu sistem yang adil, yang tidak
mungkin dihasilkan oleh Rasulullah Muhammad SAW yang ummi.
Inilah zakat yang disyariatkan Islam meskipun banyak kaum Muslimin pada masa akhir-akhir ini tidak
mengetahui hakikatnya dan mereka melalaikan membayarnya, kecuali mereka yang disayangi Tuhannya dan
jumlahnya sedikit.
Banyak pendapat baik yang dari kalangan Muslim maupun non Muslim, yang mengagumi indahnya
konsepsi zakat sebagai pemecahan problematika sosial.
Jika seandainya kaum Muslimin melaksanakan kewajiban ini dengan baik, tentu di kalangan mereka tidak
akan ditemukan lagi orang-orang yang hidupnya sengsara. Akan tetapi kebanyakan dari mereka telah melalaikan
kewajiban ini, mereka mengkhianati agama dan ummatnya, akibatnya nasib Ummat Islam sekarang ini lebih buruk
dalam kehidupan ekonomi dan politiknya dari seluruh bangsa-bangsa lain di dunia ini.
Kekayaan, kebesaran dan kemuliaan Ummat Islam telah sirna. Kini mereka menjadi tanggungan penganut
agama lain, sehingga pendidikan anak-anaknya pun diserahkan ke sekolah-sekolah missi kristen atau missi atheis.
Bila mereka ditanya mengapa tidak mendirikan sendiri sekolah itu, mereka berkata: "kami tidak mempunyai biaya
untuk mendirikannya. Maka sebanarnya mereka tidak memperoleh dari agama; akal fikiran, cita-cita dan ghairah
yang dengan itu mereka dapat melakukannya. Mereka menyaksikan para penganut agama lain yang berkorban untuk
mendirikan sekolah-sekolah, organisasi-organisasi sosial dan politik, padahal tidak disuruh oleh agama mereka, tapi
mereka diharuskan oleh akal fikiran dan ghairahnya terhadap agama dan kaumnya. Tapi pada kaum Muslimin
ghairah itu telah tidak ada. Mereka rela menjadi beban dan tanggungan orang. Mereka telah meninggalkan
agamanya sendiri, akibatnya mereka kehilangan dunianya sesuai dengan firman Allah : "Dan janganlah kamu seperti
orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah
orang-orang yang fasik" (59:9).
Yang menjadi kewajiban bagi para da'i saat ini ialah mulai mengadakan usaha membina mereka yang masih
ada rasa keagamaannya dengan mendirikan organisasi pengumpulan zakat. Zakat yang dapat digunakan untuk
konsolidasi ummat, memberantas kemiskinan, memperlancar aktivitas da'wah menahan agresi dari kaum kuffar. Bila
seluruh kaum Muslimin menunaikan zakat dan digunakan secara teratur, maka Islam akan mampu untuk
mengembalikan kejayaannya.
Ikhwan para isneter sekalian. Demikian berakhirlah Serial Mengaji Zakat. Tidak akan ada ujian tertulis dari
Ustadz Yusuf. Tapi Allah akan menguji kita secara praktek. Setelah lebih jauh memahami kewajiban zakat, Insya
Allah kita akan menjadi pionir-pionir Muslim yang dengan sikap taat melaksanakan perintah ini.
Lebih jauh lagi, bisakah kita berbuat sesuatu untuk meluaskan gerakan zakat ini, dengan menyadarkan
orang-orang di sekitar kita; keluarga, teman sejawat, tetangga dll. Hal ini sangat mendesak. Memasyarakatkan
kewajiban zakat bukan lagi sekedar tanggung jawab para ulama dan mubaligh, tapi adalah tanggung jawab kita
semua yang telah mengetahui dan menjalankan kepada mereka yang belum mengetahui dan menjalankannya.
Banyak hal yang bisa dilakukan untuk ummat. Banyak kerja dalam masalah perzakatan ini yang menunggu
sambutan Ikhwan sekalian. Menjajagi, merumuskan dan membuat pola mekanisme pengumpulan dan
pendistribusian zakat yang effisien dan effektif, yaitu pola yang akan diterapkan dalam skala kecil maupun besar;
membuat panduan yang lengkap dan jelas dalam perhitungan zakat; juga yang tidak kalah pentingnya merangsang
pengajian-pengajian zakat dimana saja agar ummat Islam dimana saja senantiasa termotivasi dalam menjalankan
rukun Islam ketiga ini, dll.
Semoga Allah memberikan kekuatan kepada kita semua, dan meridhoi aktivitas kita. Amiin.
Wassalamu'alaikum Wr Wb
Abu Azka, Lukman Mohammad Baga
Dept. of Agr. Economics and Business, Massey University
Palmerston North, New Zealand
Tidak ada komentar:
Posting Komentar