Segala puji hanya bagi Allah, shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda Rasulullah, dan aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah dengan sebenarnya selain Allah yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi -Nya dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan -Nya.. Amma Ba’du:
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
قال الله تعالى : ﴿ • ﴾ (الأعراف: 1-3)
Alif laam miim shaad. Ini adalah sebuah kitab yang diturunkan kepadamu, maka janganlah ada kesempitan di dalam dadamu karenanya, supaya kamu memberi peringatan dengan kitab itu (kepada orang kafir), dan menjadi pelajaran bagi orang-orang yang beriman. Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya). (QS. Al-A’rof: 1-3).
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
قال الله تعالى : ﴿ ﴾ (الشورى: 21)
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?. (QS. Al-Syuro: 21).
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda, “Barang siapa yang membuat perkara-perkara baru di dalam agama ini yang tidak ada dasarnya dari agama ini maka dia akan tertolak”.
Dan bid’ah adalah segala perkara yang baru di dalam syara’ yang tidak ada dalilnya. Dan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda, “Dan perkara yang terburuk dalam agama ini adalah perkra-perkara yang baru, dan setiap yang baru di dalam agama ini adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah itu adalah sesat dan setiap kesesatan di neraka”.
Dan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda, “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya adalah tertolak”.
Dan Ibnu Rajab berkata dalam mensyarah hadits ini, “Dan ini adalah salah satu pondasi Islam yang agung, dan seperti barometer bagi amal-amal ibadah yang sifatnya lahiriyah sebagaimana hadits yang menyatakan: “Sesungguhnya setiap perkara itu tergantung dari niatnya”. Adalah barometer bagi amal-amal yang sifatnya bathiniyah, sebagaimana setiap amal ibadah yang tidak didasarkan pada mengharap ridla Allah semata maka orang yang mengerjakannya tidak mendapat pahala apa-apa, begitu juga dengan amalan yang tidak ada dari tuntunan Allah dan Rasul -Nya pada amal ibadah tersebut maka dia akan dikembalikan kepada orang yang mengerjakannya, dan setiap orang yang membuat perkara-perkara baru dalam urusan agama yang tidak pernah diizinkan oleh Allah maka dia bukan termasuk bagian dari agama tersebut”.
Ibnu Hajar berkata, “Hadits ini termasuk salah satu pondasi hukum Islam, salah satu dasar hukum di dalam Islam, oleh karena itu barangsiapa yang membuat-buat perkara baru dalam urusan agama yang tidak didasarkan pada salah satu dasar hukum Islam maka perkara baru tersebut tidak dilihat”.
Imam Nawawi berkata, “Hadits ini harus dijaga dengan mengahafalnya dan menggunakannya untuk mengingkari berbagai kemungkaran serta menjadikannya sebagai dalil dalam banyak perkara”.
Al-Tharqi berkata, “Hadits bisa disebut dengan setengah dalil syara’”.
Ibnul Qoyyim berkata, “Jika hati itu menyibukkan diri dengan bid’ah maka dia akan berpaling dari perkara yang sunnah”.
Diriwayatkann oleh Muslim di dalam kitab shahihnya dari Jabir radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda di dalam sebuah khutbah jum’at, “Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam dan seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara yang baru dalam urusan agama adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah itu adalah sesat”.
Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: Dan telah ditegaskan bahwa para shahabat Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam dan generasi salafus shaleh, memperingatkan agar tidak terjebak ke dalam bid’ah dan mengancam perilaku bid’ah, semua itu dilakukan karena bid’ah adalah tambahan baru pada agama dan tambahan syari’at yang tidak diizinkan oleh Allah Azza Wa Jalla, dan hal ini menyerupai musuh-musuh Allah dari kalangan Yahudi dan Nashrani dalam tindakan mereka yang menambah-nambah perkara agama mereka, dan membuat perkara-perkara baru dalam urusan agama yang tidak diizinkan oleh Allah. Sebab dengan menciptakan perkara yang baru berarti menganggap ada sesuatu yang kurang dalam agama Islam ini dan mengklaim bahwa Islam ini tidak sempurna, maka dengan ini tidak dapat dimaklumi bahwa begitu besar nilai kerusakan (membuat perkara baru dalam urusan) agama ini dan begitu keji kemungkaran tersebut, yaitu kemungkaran yang berbenturan dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
قال الله تعالى : ﴿ ﴾ (المائدة: 3)
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu. (QS. Al-Ma’idah: 3)
Serta bertentangan secara terang-terangan dengan hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam yang memperingatkan akan bahaya bid’ah dan memerintahkan untuk menghindarinya”.
Dan Ibnu Mas’ud telah melewati sekelompok kaum yang sedang menunggu shalat dan mereka berkelompok-kelompok membentuk lingkaran, dan pada setiap kelompok terdapat seorang lelaki dan ditangan mereka terdapat batu-batu, salah seorang lelaki berkata kepada mereka, “Bertasbihlah seratus kali, maka merekapun bertasbih, bertakbirlah seratus kali maka merekapun bertakbir seratus kali, tahlillah sejumlah seratus kali maka merekapun bertahlil seratus kali. Maka Ibnu Mas’ud berkata, “Hitunglah dosa-dosa kalian, sungguh aku menjamin bahwa kebaikan-kebaikan kalian tidak akan hilang sedikitpun. Alangkah celakanya kalian wahai umat Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam secepat itukah kehancuran kalian. Banyak para shahabat Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam yang masih hidup dan ini pakian beliau Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam belum terkoyak, bejana-bejananya belum pecah. Demi yang jiwaku berada di tangan -Nya apakah kalian berada pada ajaran agama yang lebih lurus dari ajaran agama Muhammad atau kalian justru membuka pintu kesesatan?. Mereka menjawab, “Demi Allah wahai Abu Abdurrahman kami tidak meninginkan kecuali kebaikan. Maka dia menjawab: Banyak orang yang menginginkan kebaikan namun dia tidak mendapatkannya”.
Dan para ulama berkata, “Dan setiap amal yang dijadikan sebagai taqarrub kepada Allah hendaklah memenuhi dua syarat utama:
Pertama: Ikhlas karena Allah semata. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim di dalam kitab shahihnya dari Umar bin Al-Khattab radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda, “Sesungguhnya setiap perkara itu tergantung dari niatnya dan setiap orang akan mendapat seperti apa yang diniatkannya, barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul -Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul -Nya dan barangsiapa yang berhijrah untuk mendapat dunia atau untuk menikahi seorang wanita maka mendapat apa yang menjadi niat hijrahnya tersebut”.
Kedua: Mengikuti sunnah Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam. Dan mengikuti Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam ini tidak terwujud kecuali jika terpenuhi enam perkara:
1. Sebab: Maka jika seseorang beribadah kepada Allah sebuah ibadah yang didasarkan pada sebab yang tidak disyari’atkan maka ibadah tersebut tertolak dan dikembalikan kepada pelakunya. Misalnya orang yang menghidupkan malam dua puluh tujuh rajab dengan berbagai macam ibadah seperti tahajjud dengan alasan bahwa malam itu adalah malam isro’ dan mi’rajnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam. Tahajjud adalah sunnah, namun didirikan dengan alasan bahwa ibadah tersebut dilakukan dengan dorongan tersebut, maka perbuatan ini menjadi bid’ah, sebab dia telah menegakkan ibadah ini dengan sebab yang tidak dilandaskan oleh syara’. Maka dengan ini tampaklah perbuatan bid’ah orang yang menganggap menghidupkan malam kedua puluh tujuh adalah sunnah padahal dia tidak termasuk sunnah. Di antara contoh yang lain adalah bid’ah merayakan perayaan maulid Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam. Sebab di adakannya perayaan ini tidak disyari’atkan, tidak pernah dikerjakan oleh Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam dan para shahabat serta orang yang hidup pada masa generasi yang mulia, dia dibuat-buat oleh orang-orang Ubaidiyah yang bermazhab syi’ah rafidhah pada saat mereka menguasai Mesir abad ke sepuluh.
2. Jenis. Jenis ibadah tersebut harus sesuai dengan syara’. Dan seandainya seseorang beribadah dengan suatu ibadah yang jenisnya tidak disyari’atkan maka ibadah itu tidak akan diterima. Contohnya adalah seseorang menyembelih seekor kuda kurban maka kurbannya tidak sah sebab kurban tersebut bertentangan dengan syara’ dari sisi jenisnya. Dan kurban tersebut tidak sah kecuali dari jenis hewan ternak yaitu onta, sapi dan kambing.
3. Ukuran. Seandainya seseorang ingin menambah rekaat shalat fardhu maka dikatakan kepadanya bahwa perbuatan ini adalah bid’ah yang tidak diterima, sebab perbuatan tersebut bertentangan dengan syara’ dalam sisi ukurannya, maka apalagi jika seseorang shalat zuhur lima rekaat, misalanya, maka shalatnya tidak sah berdasarkan kesepakatan para ulama.
4. Cara. Seandainya seseorang berwudhu’ dan memulai wudhu’nya dengan mencuci kedua kakinya, kemudian mengusap kepalanya, kemudian membasuh kedua tangannya lalu wajahnya, maka dikatakan kepadanya: Wudhu’mu itu bathal, sebab dia bertentangan dengan syara’ pada sisi cara.
5. Zaman. Seandainya seseorang menyembelih kurban pada awal zulhijjah, maka kurban itu tidak akan diterima sebab bertentangan dengan syara’ pada sisi zaman. Sebagian orang bertaqarrub kepada Allah pada bulan ramadhan dengan menyembelih kambing, maka amalan ini adalah bid’ah sebab tidak ada tuntunan untuk bertaqarrub kepada Allah dengan cara menyembelih binatang ternak kecuali menyembelih binatang untuk kurban, hadyu dan aqiqah. Adapun menyembelih hewan pada bulan Ramadhan dengan keyakinan bahwa pahalanya sama dengan menyembelih pada hari idul Adha maka perbuatan ini adalah bid’ah. Adapun jika menyembelih untuk kebutuhan makan maka hal itu diperbolehkan.
6. Tempat. Seandainya seseorang beri’tikaf di luar mesjid maka i’tikafnya tidak sah, sebab i’tikaf itu tidak dilaksanakan kecuali di mesjid. Dan seandainya seorang wanita berkata: Aku mau beri’tikaf di tempat shalat yang ada di dalam rumah maka i’tikafnya tidak sah sebab perbuatan itu bertentangan dengan syara’ pada sisi tampat pelaksanaan ibadah.
Di antara contohnya adalah seandainya seseorang ingin melaksanakan thawaf dan dia mendapatkan tempat thawaf telah penuh, dan begitu juga dengan tempat disekitarnya, lalu dia thawaf dari luar mesjid, maka thawafnya tidak sah, sebab tempat thawaf tersebut adalah di mesjid Al-Haram. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman kepada Ibrahim Al-Khalil:
قال الله تعالى : ﴿ ﴾ (الحج: 26)
“...dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang tawaf, dan orang-orang yang beribadah dan orang-orang yang rukuk dan sujud”. (QS. Al-Haj: 26).
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, semoga shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad dan kepada keluarga, shahabat serta seluruh pengikut beliau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar