- Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Salinglah kalian berjabat tangan, dengan begitu akan menghilangkan perasaan benci, dan salinglah kalian menghadiahi niscaya kalian akan slaing mencintai dan akan menghilangkan perasaan dendam “
- Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Tidaklah dua orang muslim yang saling berjumpa, kemudian keduanya saling berjabat tangan kecuali keduanya akan diampuni sebelum mereka berpisah “
Beberapa Adab ketika berjumpa :
1. Disenangi untuk saling berjabat tangan
Telah disebutkan beberapa atsar, bahwa dengan berjabat tangan akan menghilangkan perasaan benci, dan menjadi sebab terampuninya dosa. Dan berjabat tangan adalah amalan yang dianjurkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan amalan yang telah dicontohkan oleh para sahabat beliau radhiallahu ‘anhum.
Qatadah mengatakan : “ Saya bertanya kepada Anas : Apakah saling berjabat tangan sudah menjadi amalan dikalangan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?
Beliau menjawab : Iya “
Dan juga pada kisah taubat dari Allah bagi Ka’ab, beliau berkata : “ Saya masuk kedalam masjid, yang ternyata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berada didalamnya. Lalu thalhah bin ‘Ubaidullah berdiri berjalan bergegas menjumpaiku hingga menjabat tanganku dan mengucapkan selamat kepadaku “
Dan pada hadits Anas radhiallahu ‘anhu, ketika penduduk Yaman datang, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Penduduk Yaman telah datang dan mereka adalah orang-orang yang lebih lembut hatinya dibandingkan dengan kalian “. Dan merekalah yang pertama kali datang dengan berjabat tangan .
Dan dari hadits Al-Barra` bin ‘Azib beliau mengatakan : “ Diantara kesempurnaan ucapan salam danahdenganmenjabat tangan saudaramu “
Berjabat tangan adalah sunnah disaat bertemu dan merupakan penegas ucapan salam. Disebutkan didalam Al-Adab Al-Mufrad : “ Ketahuilah bahwa sesungguhnya berjabat tangan ketika bertemu merupakan penyerta dan penegas ucapan salam dari lisan. Karena ucapan salam adalah pemberitahuan keamanan dari ucapan sementara berjabat tangan laksana penyetujuan, pengulangan dan penegasan salam yang diucapkannya, dengan dmeikian kedua yang saling bertemu merasa dalam keadaan aman dari temannya masing-masing .
Dan setelah pencantuman beberapa atsar yang menunjukkan bolehnya berjabat tangan, maka janganlah kami hingga menyangka ada seorang muslim yang masih pelit bagi dirinya sendiri untuk mendapatkan kebaikan atau cenderung kepada suatu amalan sunnah !
Masalah : Dan telah menjadi kebiasan kaum manusia untuk menjabati tangan imam shalat mereka atau yang berada disamping mereka selepas mengerjakan shalat-shalat wajib. Apakah perbuatan itu suatu yang disyariatkan ?
Jawab : Berjabat tangan selepas mengerjakan shalat yang wajib bukan suatu yang disyariatkan dan sama sekali tidak pernah terjadi dizaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , para Khalifah Rasyidin dan tidak juga oleh para sahabat beliau yang mulia. Da melakukan hal itu merupakan pengada-adaan didalam agama Islam yang tidak diperbolehkan oleh Allah ta’ala.
Fadhlullah Al-Jaelani mengatakan : “ Ibnu ‘Abidin berkata : Seringnya melakukan perbuatan tersebut secara khusus setelah pengerjaan shalat-shalat wajib akan menyebabkan karena kebodohan seseorang,persangkaan bahwa perbuatan tersebut adalah amalan yang sunnah pada tempat-tempat tersebut. Sedangkan amalan tersebut adalah amalan tambahan yang khusus pada selainnya, dengan apa yang nampak dari perkataannya bahwa hal tersebut tidaklah dilakukan oleh salah seorang dari kalangan salaf pada pembahasan ini. Dan dalam Kitab Al-Multaqath : Dimakruhkan berjabat tangan setelah menunaikan shalat dalam segala keadaan, dikarenakan para sahabat – ridhwanullahu ‘alaihim- tidaklah melakukan yang demikian itu, bahkan hal itu adalah perbuatan sunah orang-orang rawafidh. Dan para ulama Asy-Syafi’iyah berpendapat berjabat tangan setelah mengerjakan ibadah shalat adalah perbuatan bid’ah yang tidak ada dasarnya didalam syariat dan yang pelakunya dilarang setelah itu mendapat teguran yang keras.
Didalam Al-Madkhal: Bhawa berjabat tangan setelah shalat adalah perbuatan yang bid’ah. Dan tempat yang dibenarkan oleh syariat untuk berjabat tangan adalah disaat seorang muslim bertemu dengan saudaranya bukan disetiap kali selesai mengerjakan shalat. Maka dimana syariat menempatkan amalan berjabat tangan disitulah seharusnya ditempatkan. Perbuatan itu seharusnya dilarang daan pelakunya mendapatkan teguran karena telah melakukan suatu yang menyalahi as-sunnah .
Al-Lajnah Ad-Daa`imah didalam salah satu fatwanya menyatakan : Apabila seseorang tersebut tidak berkesempatan berjabat tangan dengannya sebelum pengerjaan shalat, lalu dia menjabat tangannya setelah mengerjakan salam, baik setelah shalat wajib atau sunnah, baik berada dikanan atau kirinya. Akan tetapi jikalau setelah pengerjaan shalat wajib maka setelah membaca zikir-zikir yang disyariatkan sewtelah shalat. Adapun salam makmu kepada imam seelah mengerjakan shalat, kami tidak mengetahui ada nash khusus yang menerangkannya .
Faedah :Diriwayatkan oleh Al-Bukhari didalam Al-Adab Al-Mufrad dari riwayat Salamah bin Wirdan, beliau mengatakan : “ Saya telah melihat Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu mengucapkan salam kepada kaum muslimin, lalu beliau bertanya kepadaku, siapakah anda ? Saya menjawab : Maula bani Laits. Lantas beliau mengusap kepalaku seraya mengatakan: Baarakallahu fiika “
Berdasarkan atsar diatas, menunjukkan disunnahkannya mengucapkan salam kepada anak-anak kecil dan menjabat tangan mereka dimana hal tersebut menunjukkan kasih sayang kepada mereka, perhatian bagi mereka dan membiasakan mereka dengan perbuatna yang baik. Dan mengusap kepala anak kecil yang dilakukan oleh Anas radhiallahu ‘anhu, menunjukkan kecintaan dan kasih sayang beliau kepada anak-anak kecil.
2. Diharamkan berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram
Dalil pengharaman hal tersebut adalah apa yang diriwayatkkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih beliau, dari hadits Aisyah – ummul-mukminin radhiyallahu anha – dan dari bapaknya – tentang pembai’atan wanitawanita kaum Muhajirin, beliau berkata : “ … Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, disat mereka – para wanita tersebut – membenarkan hal itu dengan perkataan mereka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka : Kembalilah kalian semua, sesungguhnya saya telah membai’at kalian. Dan sekali-kali demi Allah tidaklah tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sekalipun menyentuh tangan seorang wanita. Melainkan beliau hanya membai’at mereka dengan perkataan. Demi Allah tidaklah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyentuh wanita disaat membai’atnya kecuali yang Allah perintahkan. Beliau hanya mengucapkan kepada mereka disaat membai’at mereka : Saya telah membai’at kalian, dengan sekali ucapan “
Perkataan beliau : “ Dan saya telah membai’at kalian, dengan ucapan “ yakni beliau mengatakan kalimat itu. Tidak dengan menjabat tangan, sebagaimana kebiasaan – yakni beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen – membai’at kaum laki-laki sambil menjabat tangan mereka. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Hajar .
Dan pada hadits Umaimah binti Raqiqah radhiallahu ‘anha, terdapat yang menguatkan hal tersebut. Dan pada haditsnya terdapat penegasan penolakan beliau menjabat tangan wanita. Dimana sewaktu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membai’at kaum wania, beliau mengatakan : Kami berkata : Allah dan Rasul-Nya lebih mengasihi kita daripada diri kita sendiri. Marilah, kami hendak membai’at anda wahai Rasulullah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“ Sesungguhnya saya tidak menjabat tangan wanita. Sesungguhnya perkataanku kepada seratus wanita sama dengan perkataanku kepada seorang wanita, atau semisal dengan ucapanku kepada salah seorang wanita. “
Ibnu Abdil Barr mengatakan : “ Sabda beliau : Sesungguhnya saya tidak menjabat nagan wanita, menunjukkan bahwa beliau tidak membolehkan seorang laki-laki menyentuh wanita yang tidak dihalalkan baginya, tidak menyentuh wanita tersebut dengan tangannya dan tidak pula menjabat tangannya “
Faedah : Sebagian kaum muslimin berkeyakinan bahwa diperbolehkan menjabat tangan wanita yang bukan mahram dari balik penghalang atau semisalnya. Dan ini merupakan keyakinan yang keliru. Tidak diperbolehkan menjabat tangan wanita yang bukan mahram secara mutlak.
Benar ada beberapa atsar yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membai’at kaum wanita dari balik pakaian beliau. Akan tetapi kesemua riwayat tersebut adalah riwayat-riwayat yang mursal yang sebagiannya tidak dapat menguatkan sebagian lainnya untuk menolak hadits-hadits yang shahih yang dengan jelas menerangkan penolakan jabat tangan dengan wanita yang bukan mahram.
Al-Albani mengatakan : “ Dan telah diriwayatkan hal itu dalam beberapa riwayat lainnya, akan tetapi kesmeua riwayat tersebut mursal. Al-Hafidz telah menyebutkanya didalam Al-Fath ( 8 / 488 ). Dan tidak satupun riwayat tersebut yang dapat dijadikan sandaran, terlebih setelah menyelisihi riwayat yang lebih shahih …
3. Disenangi untuk tidak melepas tangan disaat berjabat tangan hingga yang dijabat tangani telebih dahulu melepas tangannya.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan : “ Apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan seseorang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjabat tangannya dan tidak melepas tangan beliau hingga orang tersebut yang pertama kali melepas tnagannya … al-hadits “
Dan pada hadits tersebut menunjukkan disukainya berjabat tangan dan melamakan menggenggam tangan yang dijabati namun tidak smapai memberatkan.
Masalah : Dan seandainya dua orang slaing berjabat tangan dan keduanya melamakan menggenggam tangan, maka siapakah yang lebih dahulu melepaskan tangannya ?
Jawab : Asy-Syaikh Taqiyuddin mengatakan : “ Acuannya jikalau telah memprediksikan bahwa yang lainnya akan melepaskan pegangannya maka dia tetap menggenggam. Jikalau tidak maka sekiranya masing-masing yang berjabat tangan lebih menyenangi untuk saling menggenggam tangan, maka dapat untuk terus bergenggaman tangan. Akan tetapi ulasan Abdul Qadir adalah ulasan yang baik, bahwa yang lebih dahulu melepas adalah yang memulai .
4. Berdiri untuk mengucapkan salam kepada seseorang yang datang
Berdiri menyambut seseorang terbagi menjadi tiga bentuk : Pertama : Berdiri diatas kepala orang yang merupakan perbuatan penguasa yang sombong. Kedua berdiri kepada seseorang disaat datang menghampirinya. Dan ini perbuatan yang diperbolehkan. Ketiga : Berdiri ketika melihatnya, dan ini perbuatan yang masih diperselisihkan hukumnya.
Adapun dalil yang pertama : Hadist yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhu : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah menderita sakit, maka kami mengerjakan shalat dibelakang beliau sementara fbeliau mengerjakannya sambil duduk. Dan Abu Bakar memperdengarkan takbir beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para makmum. Maka beliau menoleh kearah kami dan melihat kami dalam keadaan berdiri, maka beliau mengisyaratkan agar kami duduk maka kamipun duduk.
Kemudian kami mengerjakan shalat bersama beliau sambil duduk. Setelah mengucapkan salam, beliau bersabda : “ Hampir saja tadi kalian melakukan perbuatan orang-orang Persia dan Romawi. Mereka berdiri kepada para raja-raja mereka, sementara raja-raja tersebut duduk. Maka janganlah kalian melakukannya. Ikutilah imam kalian , apabila ima shalat berdiri maka shalatlah kalian sambil berdiri dan apabila imam shalat sambil duduk maka shalatlah kalian sambil duduk. “
Berdiri dengan tujuan seperti ini adalah suatu yang terlarang tanpa diragukan lagi. Dan hadits diatas dengan sangat djelasnya menunjukkan larangan orang-orang untuk berdiri menghormati para pembesar mereka atau yang mereka agungkan. Dan ini termasuk perbuatan para penguasa yang sombong.
Kecuali jika hal itu diperlukan, seperti jika khawatir kepada seseorang yang kemungkinan akan berbuat semena-mena kepadanya maka tidak mengapa berdiri menghormatinya. Demikian pula jika seseorang beridiri untukmemuliakan seseorang yang dilakukannya disaat yang memang ditujukan untuk pemuliaan orang tersebut. Dan juga jika ditujukan untuk merendahkan musuh, semisal yang terjadi dengan Al-Mughirah bin Syu’bah radhiallahu ‘anhu pada peristiwa perdamaian Hudaibiyah. Kala itu orang-orang Quraisy mengirim utusan untuk mengajak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berunding dengan mereka. Al-Mughirah bin Syu’bah saat itu berdiri didekat kepala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ditnagannya terhunus pedang sebagai ungkapan pengagungan beliau terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pnghinaan kepada utusan orang-orang kafir Quraisy yang diutus ntuk berunding. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Utsaimin .
Dalil yang kedua : Yang diriwayatkan oleh Malik didalam Muwaththa’ beliau , berkaitan dengan kisah islamnya ‘Ikrimah bin Abu Jahl – pada hadits tersebut disebutkan : “ … Lantas beliau memeluk Islam dan mengunjungi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun penaklukan Makkah. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau terhentak berdiri menghampirinya sebagai ekspresi suka cita beliau dan menanggalkan jubah beliau hingga beliaupun membai’atnya … al-hadits “
Telah juga dkemukakan kisah taubatnya Ka’ab dan pada kisah tersebut disebutkan bahwa Thalhah berdiri menyambut beliau untuk mengucapkan selamat. Beliau mengatakan : “ Saya masuk kedalam masjid, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berada didalam masjid. Lalu Thalhah bin ‘Ubaid berdiri bergegas menuju kepadaku hingga menjaba tanganku dan mengucapkan selamat kepadaku “
Dalil untuk bentuk yang ketiga – yang diperdebatkan oleh ulama, yaitu berdiri disaat melihat seseorang - :
Hadist Abu Mijlaz, beliau berkata : bahwa Mu’awiyah suatu saat keluar sementara Abdullah bin Amir dan Abdullah bin Az-Zubair sedang duduk. Lalu Ibnu Amir berdiri sementara Ibnu Az-Zubair tetap duduk – dan beliau yang paling tenang diantara mereka berdua -. Mu’awiyah berkata : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Barang siapa yang merasa senang hamba-hamba Allah berdiri menghormatinya maka hendaknya dia menyiapkan tmepat duduknya diapi neraka “ .
Dan pada lafazh Abu Daud : “ Maka Mu’awiyah berkata kepada Amir : “ Duduklah, karena sesungguhnya saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Barang siapa yang menyukai orang-orang menghormatinya sambil berdiri maka hendaknya dia mempersiapkan tempat duduknya di api neraka “
Ulama dalam memahami hadits ini terbagi menjadi tiga kelompok :
Pertama : Sebagian ulama berpendapat bahwa hadit ini menunjukkan makruhnya berdiri kepada para penguasa sebagaimana yang dilakukan terhadap para penguasa Persia dan Romawi. Dan mereka menyertakan hadis ini dengan hadits pada riwayat Muslim yang menyebutkan makruhnya berdiri diatas kepala seseorang yang duduk, sebagaimana yang dilakukan orang-orang asing kepada pemimpin-pemimpin mereka.
Pendapat kedua : Ulama yang berargumen dengan hadist ini akan makruhnya seseorang berdiri bagi seorang yang datang. Dan mereka berpendapat bahwa hadits ini adlah nsh yang sangat jelas tentang hal itu. Mu’awiyah radhiallahu ‘anh menyebutkan hadits ini ketika Ibnu Amir berdiri mlihat beliau. Penyebutan hadits ini pada kejadian ini merupakan indikasi kuat yang menjelskan maksud dari hadits. Dan pula, tidak adanya pengingkaran Ibnu Az-Zubair kepada Mu’awiyah radhiallahu ‘anhuma adalah bukti bahwa hal itu suatu yang beliau pahami juga.
Para ulama yang mendukung pendapat kedua ini menynggah ulama yang memahami hadits Mu’awiyah , bahwa maksud hadits tersebut adalah berdiri diatas seseorang yang sedang duduk, dengan beberapa sangahan :
Pertama : Karena kaum Arab tidaklah mengenal hal ini – berdiri diatas seseorang yang sementara duduk -, melainkan amalan tersebut adalahamalan kaum Persia dan Romawi.
Kedua : Dan hal ini, tidaklah dikategorikan berdiri untuk menyambutnya, melainkan berdiri untuk menghormatinya. Dan jelas perbedaan antara berdiri menyambut seseorang yang terlarang dan berdiri menghormatinya yang merupakan bentuk tasyabbuh – penyerupaan – dengan perbuatan kaum Persia dan Romawi. Sedangkan berdiri menyambut kedatangan seseorang adalah merpakan kebiasaan kaum Arab. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Qayyim .
Pendapat yang ketiga : Ulama yang memberi perincian akan masalah itu, mereka berpendapat : Apabila berdiri tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mengagungkan maka hal tersebut suatu yang makruh, namun apabila dilakkan sebagai bentuk pemuliaan maka tidaklah makruh. Pnedapat ini disebutkan oleh Al-Ghazali dan dianggap pendapat yang bagus menurut Ibnu Hajar .
Penyelarasan permasalahan ini sebagaimana yang disimpulkan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah, beliau mengatakan : “ Dan bukanlah menjadi kebiasaan ulama Salah dizaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Khalifah Rasyidin, untuk berdiri setiap kali melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti yang banyak dilakukan oleh kum muslimin. Melainkan Anas bin Malik berkata : “ Tidaklah ada seorangpun yang para sahabat cintai selain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan apabila mereka melihat beliau mereka tidaklah berdiri menyambutnya, karena mereka mengetahui bahwa hal tersebut suatu yang beliau benci “
Akan tetpai mereka terkadang berdiri menyambut seseorang yang datang setelah lama tidak terlihat untuk menunjukkan sambutan kepadanya, sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau berdiri untuk menyambut ‘Ikrimah. Dan beliau bersabda kepada kaum Anshar ketika Sa’ad bin Mu’adz datang : “ Berdirilah kalian menyambutpenghulu kalian “
Dan beliau waktu itu datang dari pemutusan hukum bagi bani Quraidzah yang hanya mau menerima keputusan beliau.
Yang sepatutnya dilakukan oleh kaum muslimin adalah menjadikan ittiba’/keteladanan kepada para ulama salaf sebagai suatu kebiasaan, meneladani segala yangmereka perbuat dizaman Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena merekalah sebaik-baik masa, dan sebaik-baik perkataan adalah Kalamullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Maka tidaklah boleh seseorang berpaling dari petunjuk sebaik-baik manusia dan berpaling dari petunjuk sebaik-baik masa kepada amalan yang selainnya.
Dan juga sepatutnya kepada seseorang yang ditaati agar tidak membenarkan hal itu dilakukan oleh para pengikutnya. Yakni ketika mereka melihatnya mereka tidaklah berdiri menyambutny kecuali disaat pertemuan yang biasa. Adapun berdiri menyambut seseorang yang baru datang dari bepergian dan yang semisal dengan itu ebagai ungkapan selamat datang maka perbuatan tersebut suatu yang baik.
Dan apabila kebiasaan kaum muslimin adalah memuliakan seseorang yang datang dengan berdiri, yang seandainya kebiasaan ini ditinggalkan maka akan diyakini bahwa hal itu karena meninggalkan haknya atau karena ingin merendahkannya, dan dia tidaklah mengetahui kebiasaan yang sesuai dengan as-sunnah, maka yang lebih baik adalah turut beridiri menyambutnya. Dikarenakan hal itu akan menjalin hubungan baik keduanya dan menghilangkan kebencian dan ketidak senangan. Adapun jika kebiasaan suatu kaum sesuai dengan sunnah, maka bukanlah dengan meninggalkan hal itu sebagai suatu yang menyakitinya “
Ibnu Hajar mengatakan : “ Kesimpulannya, kapan meninggalkan berdiri dianggap sebagai suatu penghinaan atau akan menimbulkan mafsadat bagi dirinya maka janganlah dia melakukannya. Dan pendapat inilah yang tersirat dari pernyataan Ibnu Abdis Salam “
5. Apakah seseorang dibolehkan mencium seorang lainnya ketika bertemu ?
Bukanlah merupakan kebiasaan para As-Salaf, baik para sahabat atau generasi setelah mereka, apabila sebagian diantara mereka bertemu dengan sebagian lainnya saling berciuman seperti yang terjadi dihari ini. Atsar-atsar yang menyebutkan tentang berciuman ketika bertemu tidak cukup kuat untuk membantah hadits yang sangat jelas menerangkan larangan mencium ketika bertemu. Al-Albani telah memberikan bantahan kepada hadits-hadits tersebut dari dua tinjuan , yang paling berfaedah dari dua tinjauan tersebut bahwa hadits-hadits ini adalah hadits-hadits yang ma’lul tidak dapat dijadikan hujjah. Yang kedua : Dan sekiranyapun shahih, namun hadits tersebut tidaklah dapat dipertentangkan dengan hadits yang shahih .
Hadist yang dimaksud adalah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu , beliau berkata : “ Seseorang berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa salah seorang dari kami bertemu dengan temannya, apakah boleh dia men-tahni’ / yaitu memeluknya kanan dan kiri bergantian – temannya ?.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : Tidak
Orang itu bertanya : Merengkuhnya dan menciumnya ?
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : Tidak
Orang itu bertanya : Bolehkan dia menjabat tangannya “
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Iya, jika dia mau “
Hadist diatas jelas sekali menunjukkan larangan at-tahni` dan mencium ketika bertemu pertemuan biasa. Akan tetapi tidak berarti melarang berdekapan kanan dan kiri ketika bertemu seorang yang dari perjalanan atau yang lama tidak bertemu.
Yang menjadi dalil bagi kami adalah perbuatan Jabir bin Abdullah . Dari Jabir bin Abdullah, bahwa telah sampai kepada beliau sebuah hadits dari salah seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . [ Beliau mengatakan ]: Maka saya segera membeli seekor onta, dan kemudian selama sebulan saya melakukan perjalanan hingga saya tiba ke Syam, yang ternyata sahabat terseut adalah Abdulah bin Unais. Lalu saya menyuruh seseorang menyampaikan bahwa Jbair berada didepan pintu. Lalu utusan tersebut kembali, dan mengatakan : Jabir bin Abdullah ?. Saya berkata : Benar.
Maka diapun keluar lalu mendekapku kanan dan kiri – al-mu’anaqah -.
Saya berkata : “ – Karena – sebuah hadits yang telah smapai kepadaku atau yang telah saya dengar. Saya Khawatir meninggal atau anda yang meninggal.
Dia berkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“ Semua hamba Allah – kaum manusia - akan dikumpulkan dalam keadaan teanjang, tidak berkhitan dan buhmaan . Kami bertanya: Apakah makna buhmaan ? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Tidak mempunyai sesuatu. Lalu suatu suara menyeru kepada mereka, suara yang terdengar oleh yang berada jauh – saya menyangka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Sebagaimana didengarkan oleh yang berada dekat “ - : Akulah Al-Malik. Tidaklah sepatutnya seseorang penghuni surga masuk kedalam surga sementara seseorang dari penghuni neraka menuntut pembalasan kezhalimannya. Dan tidaklah sepatutnya salah seorang penghuni neraka masuk kedalam neraka sementara seseorang penghuni surga menuntut pembalasan kezhalimannya “
Saya bertanya : Lalu Bagaimanakah ? Dan sesungguhnya kita akan menjumpai Allah dlam keadaan telanjag dan tidak memiliki sesuatupun ?
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : Dengan amal-amal kebaikan dan amal-amal keburukan. “
Faedah: Seorang ayah mencium anaknya merupakan bentuk kesempurnaan kasih sayang dan kecintaannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium anak-anak beliau, dan mencium Al-Hasan dan Al-Husain, dan Abu Bakar mencium anak perempuannya Aisyah, dan ini adalah kabar-kabar yang masyhur. Mencukupkan bagi kita dengan kemasyhurannya tentang takhrij silsilahnya hingga pada sumbernya.
Faedah lain : Mencium tangan , sebagian ulama membolehkannya, sesuai tata cara beragama. Al- Marrudzi berkata : “ Aku bertanya kepada Abu Abdillah tentang mencium tangan, beliau menjawab jikalau sesuai dengan tata cara beragama maka tidak mengapa. Abu Ubaidah mencium Umar Ibnu Al- Khaththab radhiallahu anhuma, jika disesuaikan dengan tata cara keduniaan maka tidak diperbolehkan, kecuali seseorang takut akan pedangnya atau cambuknya…Berkata Abdullah bin Ahmad : ” Aku melihat banyak dari kalangan ulama, ahli fiqih, muhadditsin, Bani Hasyim dan Quraisy serta kaum Anshar mereka menciumnya – yakni bapaknya – sebagian mencium tangannya dan sebagian mencium kepalanya.
Dan sebagian yang lain memakruhkan mencium tangan dan mereka menyebutkan As-Sajdah Ash-Shughra. Berkata Sulaiman bin Harb : “ Dia adalah As-Sajdah Ash-Shughra, adapun kebid’ahan yang masyarakat dengan mengulurkan tangannya kepada orang lain agar dia menciumnya dan meniatkan untuk hal yang demikian, maka hal ini tidak disangkal bagi siapa saja. Berbeda jikalau yang mencium itu adalah orang yang mengada-adakan hal tersebut.
6. Haramnya membungkuk dan sujud disaat memberi salam
Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu‘anhu beliau berkata : “ Berkata seorang lelaki : “ Wahai Rasulullah salah seorang dari kami bertemu dengan temannya apakah dia membungkuk baginya ? “. Beliau berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “ Tidak “. Dia berkata : “ Apakah dia memeluknya dan menciumnya ? ”. Beliau menjawab : “ Tidak “. Dia berkata : “ Dia menciumnya ? “ . Beliau menjawab : “ Ya jika dia bersedia “ .
Hadist ini sangat jelas menunjukkan pelarangan, dan tidak satupun dalil yang memalingkannya. Dengan demikian menunjukkan suatu yang haram. Tidak diperbolehkan membungkuk kepada seorang makhlukpun selamanya, dikarenakan perbuatan itu tidaklah dilakukan kecuali kepada Al-Khalik jalla wa ‘ala. Sedangkan sujud terlebih lagi - pelarangannya -.
Ibnu Taimiyah mengatakan : “ Adapun membungkuk disaat memberi salam adalah suatu yang dilarang. Sebagaimana yang berada pada riwayat At-Tirmidzi dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bahwa mereka – para sahabat – bertanya kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seseorang yang bertemu dengan saudaranya lalu dia membungkuk kepadanya ?. Beliau bersabda : “ Tidak “. Dan juga dikarenakan ruku’ dan sujud tidak diperbolehkan dilakukan kecuali kepada Allah ‘azza wajalla.
Adapun sujud, tidaklah boleh seorang yang berakal merasa sangsi untuk diserahkan hanya kepada Allah subhanahu wata’ala tidak kepada selain-Nya. Dan pada perbuatan ini terkandung maknan ubudiyah – penghambaan – yang tidak terdapat pada perbuatan membungkukkan badan. Dikarenakan membngkukkan badan tidak terkandung padanya posisi yang mencakup seluruh makna penghinaan diri, kerendahan, ketundukan dan ubudiyah sebagaimana yang terdapat didalam sujud. Olehnya itu diriwayatkan pada hadits Ibnu Abbas dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda : “ Adapun sujud maka bersungguh-sungguhlah berdoa, dan berharaplah untuk dikabulkan bgi kalian “
Sabda beliau : “ Berharaplah “ artinya suatu yang hakiki dan layak untuk mendapatkan pengabulan doa ini. Karena pada sujud terkandung makna pengagungan , yang apabila dilimpahkan kepada selain Allah merupakan suatu perbuatan yang haram.
Dan dalil yang menunjukkan hal itu, bahwa ketika Mu’adz tiba dari Syam beliau lantas sujud kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Ada apakah ini wahai Mu’adz ? “
Beliau berkata : Saya baru saja tiba dari Syam dan menjumpai mereka sujud kepada para uskup dan orang-orang terkemuka mereka. Maka diri saya menyukai untuk melakukan hal itu kepada anda. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ janganlah kalian melakukan hal itu, karena sesungguhnya jikalau saya menyuruh seseorang untuk bersujud kepada selain Allah, niscaya saya akan menyuruh seorang wanita untuk sujud kepada suaminya. Demi Zat yang jiwa Muhammad berada ditangan-Nya, tidaklah seorang wanita dapat menunaikankan hak Rabbnya hingga dia menunaikan hak suaminya. Sekiranya suaminya meminta istrinya tersebut untuk melakukan hubungan suami istri sementara si istri sedang jenuh, si istri tidak menolak permintaan suaminya “
Faedah berkaitandenganpermasalahan sujud : Seorang muslim meletakkan wajahnya yang merupakan bagian tubuhnya yang paling mulia dan paling terpandang diatas tanah yang meruapkan tempat kaki-kaki berlalu-lalang. Sebagai pemuliaan dan pengaungan kepada Allah dan bentuk ubudiyah kepada Allah. Dan seorang mukmin akan merasakan kelezatan disaat dia menundukkan hatinya kepada Allah pada saat sujud, yang dia tidak rasakan ditempat lain. Maka Mahasuci Allah yang orang-orang mengerjakan shalat bersujud kepada-Nya diatas tanah dan mensucikan-Nya dari kerendahan dengan ucapan mereka : “ Subhana Rabiyal A’la “
Tidak ada komentar:
Posting Komentar