PEMBAGIAN HADITS DARI SUDUT KUALITAS PERIWAYAT
M
A
K
A
L
A
H
DIPRESENTASIKAN PADA SEMINAR
MATA KULIAH HADITS
DOSEN PEMBIMBING: Prof. Dr. NAWIR YUSLEM, MA
Oleh : Ismul Azhari
Nim: 08 EKNI 1348
PASCA SARJANA IAIN SUMUT
2009-2010
Pendahuluan
Definisi Ulumul Hadits
عِلْمُ الْحَدِيْثِ هُوَ مَعْرِفَةُ الْقَوَاعِدَ الَّتِيْ يَتَوَصَّلُ بِهَا إِلَى مَعْرِفَةِ الرَّاوِي وَالْمَرْوِي
Ilmu Hadits adalah pengetahuan mengenai kaidah-kaidah yang menghantar-kan kepada pengetahuan tentang rawi (periwayat) dan marwi (materi yang diriwayatkan)
Ada pendapat lain yang menyatakan
هُوَ عِلْمٌ بِقَوَانِيْنَ يُعْرَفُ بِهَا أَحْوَالُ السَّنَدِ وَالْمَتْنِ
Ilmu Hadits adalah ilmu tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui kondisi sanad dan matan
Penjelasan Definisi
Sanad adalah rangkaian rijal yang menghantarkan kepada matan
Matan adalah perkataan yang terletak di penghujung sanad.
Contoh-contoh
Al-Bukhari meriwayatkan hadits berikut, di dalam kitabnya yang ber-nama ash-Shahih, Bab Kayfa kana bad’ al-wahyi ila Rasulillah saw, j. 1, h. 5
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ، قَالَ: أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِي اللَّه عَنْهم عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَ إِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Telah menceritakan kepada kami al-Humaidi, Abdullah bin az-Zubair, ia berkata; Telah menceritakan kepada kami Sufyan, ia berkata; Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id al-Anshari, ia berkata; Telah memberitahukan kepadaku Muhammad bin Ibrahim at-Taimi bahwasannya ia mendengar ‘Alqamah bin Waqqash al-Laitsi berkata; Aku mendengar Umar bin Khaththab ra berkata di atas mimbar; Rasulullah saw bersabda; Sesungguhnya semua perbuatan itu disertai dengan niat, dan sesungguhnya setiap orang akan dibalas sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya (diniatkan) kepada dunia yang akan diperolehnya, atau perempuan yang akan dinikahinya, maka hijrahnya (dibalas) kepada apa yang ia niatkan
Yang dinamakan Sanad pada hadits di atas adalah
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْر،ِ قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ، قَالَ: أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُولُ: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِي اللَّه عَنْهم عَلَى الْمِنْبَرِ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
Sedangkan matan pada hadits di atas adalah;
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Tujuan mempelajari ilmu hadits adalah untuk membedakan antara hadits sahih dan dla’if.
Definisi Hadits, Khabar Dan Atsar
Definisi:
الْحَدِيْثُ مَا جَاءَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، سَوَاءً كَانَ قَوْلاً أَوْ فِعْلاً أَوْ تَقْرِيْرًا أَوْ صِفَةً
Hadits adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi saw, baik yang berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, ataupun sifat
الْخَبَرُ مَا جَاءَ عَنْهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ عَنْ غَيْرِهِ مِنْ أَصْحَابِهِ أَوِ التَّابِعِيْنَ أَوْ تَابِعِ التَّابِعِيْنَ أَوْ مَنْ دُوْنَهُمْ
Khabar adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi saw ataupun yang lainnya, yaitu shahabat beliau, tabi’in, tabi’ tabi’in, atau generasi setelahnya
الأَثَرُ مَا جَاءَ عَنْ غَيْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الصَّحَابَةِ أَوِ التَّابِعِيْنَ أَوْ تَابِعِ التَّابِعِيْنَ أَوْ مَنْ دُوْنَهُمْ
Atsar adalah segala yang datang selain dari Nabi saw, yaitu dari shahabat, tabi’in, atau generasi setelah mereka
Contah-contoh
Contoh hadits qouly (perkataan)
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Sesungguhnya setiap amal itu dengan niat
Contoh hadits fi’ly (perbuatan) adalah hadits dari Aisyah ra.
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ وَهُوَ جُنُبٌ غَسَلَ فَرْجَهُ وَتَوَضَّأَ لِلصَّلاَةِ
Nabi saw apabila akan tidur, sedangkan beliau dalam keadaan junub maka beliau berwudlu seperti wudlu untuk shalat
Contoh hadits taqriry (persetujuan) adalah hadits dari Ibnu Abbas ra,
أَنَّ خَالَتَهُ أَهْدَتْ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمْناً وَأَضْبًا وَأَقْطاً فَأَكَلَ مِنَ السَّمْنِ وَ مِنَ الْأَقْطِ وَتَرَكَ الْأَضْبَ تَقَذُّرًا وَأُكِلَ عَلَى مَائِدَتِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلَوْ كَانَ حَرَاماً مَا أُكِلَ عَلَى مَائِدَةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Bahwa bibinya memberi hadiah kepada Rasulullah saw berupa mentega, daging biawak dan keju, lalu beliau memakan mentega dan keju dengan meninggalkan daging biawak karena merasa jijik, tetapi daging itu dimakan di meja makan rasulullah saw, seandainya haram maka tak akan dimakan di meja Rasulullah saw
Contoh hadits sifat, yaitu hadits yang memuat sifat pribadi nabi saw, adalah hadits dari Anas ra;
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَبْعَةً لَيْسَ بِالطَّوِيْلِ وَلاَ بِالْقَصِيْرِ حَسَنُ الْجِسْمِ وَكَانَ شَعْرُهُ لَيْسَ بِجَعْدٍ وَلاَ سَبْطٍ أَسْمَرُ اللَّوْنِ إِذَا مَشَى يَتَكَفَّأُ
Rasulullah itu tingginya sedang, tidak tinggi dan tidak pendek, tubuhnya bagus, rambutnya tidak keriting dan tidak lurus, warnanya coklat, apabila berjalan rambutnya bergoyang.
Pembagian Hadis dari Sudut Kualitas Periwayat
Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadits bergantung kepada tiga hal, yaitu jumlah rawi, keadaan (kualitas) rawi, dan keadaan matan. Ketiga hal tersebut menetukan tinggi-rendahnya suatu hadits. Bila dua buah hadits menentukan keadaan rawi dan keadaan matan yang sama, maka hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih tinggi tingkatannya dari hadits yang diriwayatkan oleh satu orang rawi; dan hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi lebih tinggi tingkatannya daripada hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi.
Jika dua buah hadits memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang sama, maka hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya, lebih tinggi tingkatannya daripada hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah tingkatannya, dan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang jujur lebih tinggi tingkatannya daripada hadits yang diriwayatkan oleh rawi pendusta.
Artinya :
“Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon tobat kepada kami) pada waktu yang telah kami tentukan.”
Pendapat lain membatasi jumlah mereka empat pulu orang, bahkan ada yang membatasi cukup dengan empat orang pertimbangan bahwa saksi zina itu ada empat orang.
Kata-kata (dari sejumlah rawi yng semisal dan seterusnya sampai akhir sanad) mengecualikan hadits ahad yang pada sebagian tingkatannya terkadang diriwayatkan oleh sejumlah rawi mutawatir.
Contoh hadits :
Artinya :
“Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya.”
Awal hadits tersebut adalah ahad, namun pada pertengahan sanadnya menjadi mutawatir. Maka hadits yang demikian bukan termsuk hadits mutawatir.
Kata-kata (dan sandaran mereka adalah pancaindera) seperti sikap dan perkataan beliau yang dapat dilihat atau didengar sabdanya. Misalnya para sahabat menyatakan; “kami melihat Nabi SAW berbuat begini”. Dengan demikian mengecualikan masalah-masalah keyakinan yang disandarkan pada akal, seperti pernyataan tentang keesaan firman Allah dan mengecualikan pernyataan-pernyataan rasional murni, seperti pernyataan bahwa satu itu separuhnya dua. Hal ini dikarenakan bahwa yang menjadi pertimbangan adalah akal bukan berita.
Bila dua hadits memiliki rawi yang sama keadaan dan jumlahnya, maka hadits yang matannya seiring atau tidak bertentangan dengan ayat-ayat Al-Quran, lebih tinggi tingkatannya dari hadits yang matannya buruk atau bertentangan dengan ayat-ayat Al-quran. Tingkatan{martabat) hadits ialah taraf kepastian atau taraf dugaan tentang benar atau palsunya hadits berasal dari Rasulullah.
Hadits yang tinggi tingkatannya berarti hadits yang tinggi taraf kepastiannya atau tinggi taraf dugaan tentang benarnya hadits itu berasal Rasulullah SAW. Hadits yang rendah tingkatannya berarti hadits yang rehdah taraf kepastiannya atau taraf dugaan tentang benarnya ia berasal dari Rasulullah SAW. Tinggi rendahnya tingkatan suatu hadits menentukan tinggi rendahnya kedudukan hadits sebagai sumber hukum atau sumber Islam.
Para ulama membagi hadits ahad dalam tiga tingkatan, yaitu hadits sahih, hadits hasan, dan hadits daif. Pada umumnya para ulama tidak mengemukakan, jumlah rawi, keadaan rawi, dan keadaan matan dalam menentukan pembagian hadits-hadits tersebut menjadi hadits sahih, hasan, dan daif.
1. Hadits Sahih
Hadits sahih menurut bahasa berarti hadits yang bersih dari cacat, hadits yang benar berasal dari Rasulullah SAW. Batasan hadits sahih, yang diberikan oleh ulama, antara lain :
Artinya :
“Hadits sahih adalah hadits yng susunan lafadnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat (al-Quran), hdis mutawatir, atau ijimak serta para rawinya adil dan dabit.”
Keterangan lebih luas mengenai hadits sahih diuraikan pada bab tersendiri.
2. Hadits Hasan
Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut Imam Turmuzi hasis hasan adalah :
Artinya :
“yang kami sebut hadits hasan dalam kitab kami adalah hadits yng sannadnya baik menurut kami, yaitu setiap hadits yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta, matan haditsnya, tidak janggal diriwayatkan melalui sanad yang lain pula yang sederajat. Hadits yang demikian kami sebut hadits hasan.”
3. Hadits Daif
Hadits daif menurut bahasa berarti hadits yang lemah, yakni para ulama memiliki dugaan yang lemah (keci atau rendah) tentang benarnya hadits itu berasal dari Rasulullah SAW.
Para ulama memberi batasan bagi hadits daif :
Artinya :
“Hadits daif adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits sahih, dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan.”
Jadi hadits daif itu bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadits sahih, melainkan juga tidak memenuhi syarat-syarat hadits hasan. Pada hadits daif itu terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadits tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW.
Hadits Sahih
Pengertian dan Kriteria Hadits Shahih
هُوَ الْمُسْنَدُ، الْمُتَّصِلُ إِسْنَادُهُ، بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ، عَنِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ إِلَى مُنْتَهَاهُ، مِنْ غَيْرِ شُذُوْذٍ وَلاَ عِلَّةٍ
Hadits sahih adalah hadits yang musnad, bersambung sanadnya, dengan penukilan seorang yang adil dan dlabith dari orang yang adil dan dlabith sampai akhir sanad, tanpa ada keganjilan dan cacat.
Untuk memudahkan memahami definisi tersebut, dapat dikatakan, bahwa hadits sahih adalah hadits yang mengandung syarat-syarat berikut;
1. Haditsnya musnad
2. Sanadnya bersambung
3. Para rawi (periwayat)nya adil dan dlabith
4. Tidak ada syadz (keganjilan)
5. Tidak ada ilah (cacat)
Penjelasan Definisi
Musnad, maksudnya hadits tersebut dinisbahkan kepada nabi saw dengan disertai sanad. Tentang definisi sanad telah disebutkan di depan.
Sanadnya bersambung, bahwa setiap (periwayat) dalam sanad mendengar hadits itu secara langsung dari gurunya
Para rawi-nya adil dan dhabith, yaitu setiap periwayat di dalam sanad itu memiliki sifat adil dan dhabith. Apa yang dimaksud dengan adil dan dhabith?
Adil adalah sifat yang membawa seseorang untuk memegang teguh taqwa dan kehormatan diri, serta menjauhi perbuatan buruk, seperti syirik, kefasikan dan bid’ah .
Dlabith (akurasi), adalah kemampuan seorang rawi untuk menghafal hadits dari gurunya, sehingga apabila ia mengajarkan hadits dari gurunya itu, ia akan menga-jarkannya dalam bentuk sebagaimana yang telah dia dengar dari gurunya Dlabith ini ada dua macam, yaitu;
1. Dlabith shadr, yaitu kemampuan seorang rawi untuk menetapkan apa yang telah didengarnya di dalam hati – maksudnya dapat menghafal dengan hafalan yang sempurna- sehingga memungkinkan baginya untuk menyebutkan hadits itu kapanpun dikehendaki dalam bentuk persis seperti ketika ia mendengar dari gurunya .
2. Dlabith kitab, yaitu terpelihara bukunya dari kesalahan, yang menjadi tempat untuk mencatat hadits atau khabar yang telah didengarnya dari salah seorang atau beberapa gurunya, dengan dikoreksikan dengan kitab asli dari guru yang ia dengarkan haditsnya, atau diperbandingkan dengan kitab-kitab yang terpercaya kesahihannya. Dan ia memelihara bukunya dari tangan-tangan orang yang hendak merusak hadits-hadits di dalam kitab-kitab lainnya.
Tidak ada syadz. Syadz secara bahasa berarti yang tersendiri, secara istilah berarti hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat bertentangan dengan hadits dari periwayat lain yang lebih kuat darinya. Tentang hadits syadz secara terperinci, akan dibahas pada bagian tersendiri, Insya Allah.
Tidak ada illah, Di dalam hadits tidak terdapat cacat tersembunyi yang merusak kesahihan hadits. Tentang hadits mu’allal (cacat) juga akan dibahas dalam bagian tersendiri .
Contoh Hadits Sahih
Hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam kitab Shahih-nya j.4 h.18, kitab al- jihad wa as-siyar, bab ma ya’udzu min al-jubni;
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا مُعْتَمِرٌ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي قَالَ:سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِي اللَّه عَنْهم، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ، وَالْكَسَلِ، وَالْجُبْنِ، وَالْهَرَمِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Mu’tamir, ia berkata; Aku mendengar ayahku berkata; Aku mendengar Anas bin Malik ra berkata, Rasulullah saw berdo’a ; Ya Allah, aku memohon kepada-Mu perlindungan dari kelemahan, kemalasan, sifat pengecut dan dari kepikunan, dan aku memohon kepada-Mu perlindungan dari fitnah (ujian) di masa hidup dan mati, dan memohon kepada-Mu perlindungan dari adzab di neraka
Hadits tersebut di atas telah memenuhi persyaratan sebagai hadits sahih, karena.
1. Ada sanadnya hingga kepada Rasulullah saw.
2. Ada persambungan sanad dari awal sanad hingga akhirnya. Anas bin Malik adalah seorang shahabat, telah mendengarkan hadits dari nabi saw. Sulaiman bin Tharkhan (ayah Mu’tamir), telah menya-takan menerima hadits dengan cara mendengar dari Anas. Mu’tamir, menyatakan menerima hadits dengan mendengar dari ayahnya. Demikian juga guru al-Bukhari yang bernama Musaddad, ia menyatakan telah mende-ngar dari Mu’tamir, dan Bukhari -rahimahullah- juga menyatakan telah mendengar hadits ini dari gurunya.
3. Terpenuhi keadilan dan kedhabitan dalam para periwayat di dalam sanad, mulai dari shahabat, yaitu Anas bin Malik ra hingga kepada orang yang mengeluarkan hadits, yatu Imam Bukhari
a. Anas bin Malik ra, beliau termasuk salah seorang shahabat Nabi saw, dan semua shahabat dinilai adil.
b. Sulaiman bin Tharkhan (ayah Mu’tamir), dia siqah abid (terpercaya lagi ahli ibadah).
c. Mu’tamir, dia siqah
d. Musaddad bin Masruhad, dia siqah hafid.
e. Al-Bukhari –penulis kitab as-Shahih-, namanya adalah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, dia dinilai sebagai jabal al-hifdzi (gunungnya hafalan), dan amirul mu’minin fil hadits.
4. Hadits ini tidak syadz (bertentangan dengan riwayat lain yang lebih kuat)
5. Hadits ini tidak ada illah-nya
Dengan demikian jelaslah bahwa hadits tersebut telah memenuhi syarat-syarat hadits sahih, Karena itulah Imam Bukhari menampilkan hadits ini di dalam kitabnya ash-Shahih.
Tingkatan Hadits Shahih dan Macam-macamnya
Adapun tingkatan hadis Shahih adalah sebagai berikut:
• Hadits muttafaqqun ‘alaihi
• Hadits shahih yang dikeluarkan oleh imam Bukhari saja
• Hadits shahih yang dikeluarkan oleh imam Muslim saja
• Hadits yang sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim, serta tidak dicantumkan pada kitab-kitab shahih mereka.
• Hadits yang sesuai dengan syarat Bukhari
• Hadits yang sesuai dengan syarat Muslim
• Hadits yang tidak sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim Syarat Bukhari dan Muslim: perawi-perawi yang dipakai adalah perawi-perawi Bukhari dan Muslim dalam shahih mereka.
Ulama Hadits membagi Hadits Shahih menjadi beberapa macam sebagai berikut:
a. Hadits Shahih Lizatihi
b. Hadits Shahih Lighairihi
1. Hadits Shahih Lizatihi
Definisinya:
هُوَ الْمُسْنَدُ، الْمُتَّصِلُ إِسْنَادُهُ، بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ، عَنِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ إِلَى مُنْتَهَاهُ، مِنْ غَيْرِ شُذُوْذٍ وَلاَ عِلَّةٍ
Hadits sahih adalah hadits yang musnad, bersambung sanadnya, dengan penukilan seorang yang adil dan dlabith dari orang yang adil dan dlabith sampai akhir sanad, tanpa ada keganjilan dan cacat.
Untuk memudahkan memahami definisi tersebut, dapat dikatakan, bahwa hadits sahih adalah hadits yang mengandung syarat-syarat berikut;
1. Haditsnya musnad
2. Sanadnya bersambung
3. Para rawi (periwayat)nya adil dan dlabith
4. Tidak ada syadz (keganjilan)
5. Tidak ada ilah (cacat)
2. Hadits Shahih Lighairihi
Definisinya:
الْحَسَنُ لِذَاتِهِ إِذَا رُوِيَ مِنْ طَرِيْقٍ آخَرٍ مِثْلَهُ أَوْ أَقْوَى مِنْهُ، وَسُمِّيَ صَحِيْحًا لِغَيْرِهِ لِأَنَّ الصِّحَّةَ لَمْ تَأْتِ مِنْ ذَاتِ السَّنَدِ، وَإِنَّمَا جَاءَتْ مِنْ انْضِمَامِ غَيْرِهِ إِلَيْهِ
Adalah hadits hasan lidzatihi apabila diriwayatkan dari jalan lain yang setingkat atau lebih kuat darinya. Dan dinamakan hadits shahih lighairihi, karena keshahihannya tidak datang dari sanadnya sendiri, tetapi karena bergabung dengan sanad yang lain .
Penjelasan Definisi
Diriwayatkan dari jalan lain yang setingkat; Maksudnya adalah ada riwayat dengan sanad lain yang menyamai kekuatan dlabthnya.
Sedangkan yang lebih kuat; yaitu hadits sahih lidzatihi
Dinamakan hadits shahih lighairihi; menjadi hadits sahih karena bergabungnya dua jalan.
Keshahihannya tidak datang dari sanadnya sendiri; Maksudnya ketetapan-nya sebagai hadits sahih tidak didasarkan pada satu sanad saja, melainkan karena digabungkannya dengan sanad yang lain yang sama atau lebih kuat.
Hukum dan Status kehujjahan Hadis Shahih
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa setelah diteliti terhadap rawi-rawi hadits Shahih tentang keadilan dan kedlabitannya tidak diragukan lagi meskipun hadis shahih belum memuhi syarat sebagaimana yang harus dipenuhi pada hadis mutawatir, dan juga dikarenakan hadis Shahih sanadnya yang bersambung dan tidak terdapat illat (cacat) dan syaz, maka wajiblah bagi setiap muslim menerima dan mengamalkan semua hadits Shahih. Umat Islam telah sepakat tentang faedah hadits Sahih seperti tersebut di atas Dengan kata lain hukum Hadits shahih dapat diamalkan dan dijadikan hujjah.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa suatu hadis perlu dilakukan pemeriksaan, penyelidikan dan pemhahasan yang seksama khususnya hadis shahih, karena hadis tersebut tidak mencapai derajat mutawatir. Memang berbeda dengan hadis mutawatir yang memfaedahkan ilmu darury, yaitu suatu keharusan menerima secara bulat.
Hadis Shahih tersebut di atas adalah bagian hadis-hadis maqbul yang wajib diterima, namun demikian para muhaddisin dan juga ulama yang lain sependapat bahwa tidak semua hadis yang maqbul itu harus diamalkan, mengingat dalam kenyataan terdapat hadis-hadis yang telah dihapuskan hukumnya disebabkan datangnya hukum atau ketentuan barn yang juga ditetapkan oleh hadis Rasulullah SAW.
Adapun hadis maqbul yang datang kemudian (yang menghapuskan) disebut dengan hadis nasikh, sedangkan yang datang terdahulu (yang dihapus) disebut dengan hadis mansukh. Disamping itu, terdapat pula hadis-hadis maqbul yang maknanya berlawanan antara satu dengan yang lainnya yang lebih rajih (lebih kuat periwayatannya). Dalam hal ini hadis yang kuat disebut dengan hadis rajih, sedangkan yang lemah disebut dengan hadis marjuh.
Apabila ditinjau dari segi kemakmurannya, maka hadis maqbul dapat dibagi menjadi 2 (dua) yakni hadis maqbulun bihi dan hadis gairu ma'mulin bihi.
1. Hadis maqmulun bihi
Hadis maqmulun bihi adalah hadis yang dapat diamalkan apabila yang termasuk hadis ini ialah:
a. Hadis muhkam, yaitu hadis yang tidak mempunyai perlawanan
b. Hadis mukhtalif, yaitu dua hadis yang pada lahimya saling berlawanan yang mungkin dikompromikan dengan mudah
c. Hadis nasih
d. Hadis rajih.
2. Hadis gairo makmulinbihi
Hadis gairu makmulinbihi ialah hadis maqbul yang tidak dapat diamalkan. Di antara hadis-hadis maqbul yang tidak dapat diamalkan ialah:
a. Hadis mutawaqaf, yaitu hadis muthalif yang tidak dapat dikompromikan, tidak dapat ditansihkan dan tidak pula dapat ditarjihkan
b. Hadis mansuh
c. Hadis marjuh.
Kitab-Kitab Hadits Shahih
Orang Pertama Kali Membukukan Hadits Sahih
Kemudian setelah generasi mereka muncul imam huffadz dan amirul mukminin fil hadits, Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari, beliau mengumpulkan hadits-hadits sahih dalam satu kitab hadits yang diseleksi dari 100 ribu hadits sahih yang beliau hafalkan. Disebutkan di dalam suatu riwayat bahwa beliau berkata, “Aku hafal 100 ribu hadits sahih, dan 200 ribu hadits yang tidak sahih”
Adapun gagasan yang membangkitkannya untuk menulis kitab Jami’ ash-Shahih, sebagaimana disebutkan oleh Ibrahim bin Ma’qal, bahwa ia mendengar al-Bukhari berkata, “Aku di sisi Ishaq bin Rahawiyah, lalu sebagian kawan-kawanku berkata, andaikata Engkau mengumpulkan sebuah kitab ringkas tentang sunnah-sunnah nabi saw, lalu terbetiklah di dalam hatiku keinginan untuk menuliskannya, lalu aku mengambil keputusan untuk mengumpulkan hadits shahih di dalam kitab ini”
Kemudian muridnya, dan pengikut metode beliau al-Imam, huffadz al-Mujawwad, Abu al-Hasan Muslim bin al-Hujjaj bin Muslim bin Ward bin Kausyan al-Qusyairy an-Naisabury (rahimahullah) mengikuti jejak langkah al-Bukhari. Dia menuliskan kitab ash-Shahih dalam tempo 15 tahun .
Para ulama’ mendapatkan kedua kitab tersebut dengan sikap menerima, dan bersepakat bahwa keduanya adalah kitab paling shahih setelah al-Qur’an al-Karim. Imam Nawawi berkata , “Para ulama’ sepakat bahwa kitab paling sahih setelah al-Qur’an al-Aziz adalah kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dan ummat menerima keduanya”
Hanya saja sebagian ulama’, seperti ad-Daruquthni, Abu Ali al-Ghaisany al-Jiyani, Abu Mas’ud ad-Dimasyqi, dan Ibnu Ammar asy-Syahid mengkritik beberapa buah hadits di dalam kedua kitab tersebut, .Tetapi kritikan itupun telah dijawab oleh sejumlah ulama’ seperti an-Nawawy di dalam Syarh Shahih Muslim, Ibnu Hajar di dalam kitab Hadyu as-Sari dan Fathu al-Bari. Dan di antara tokoh yang zaman kini adalah asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhaly, beliau telah menulis sebuah kitab yang bagus yang berjudul, Baina al-Imamain Muslim wa ad-Daruquthny. Kitab tersebut berisi pembelaan terhadap Shahih Muslim dari para pengritiknya.
Oleh karena itu maka Buku Hadits Sahih (paling sahih setelah al-Qur’an al-Karim) adalah sebagai berikut :
1. Shahih Bukhari, disusun oleh Bukhari (194-256 H)
2. Shahih Muslim, disusun oleh Muslim (204-262 H)
Syarah (semacam tafsir untuk Al Hadist)
1. Untuk Shahih Bukhari terdapat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Asqalani (773-852 H / 1371-1448 M)
2. Untuk Shahih Muslim terdapat Minhajul Muhadditsin oleh Imam Nawawi (631-676 H / 1233-1277 M)
3. Untuk Shahih Muslim terdapat Al Mu'allim oleh Al Maziri (wafat 536 H / 1142 M)
Mukhtashar (ringkasan)
1. Untuk Shahih Bukhari diantaranya Tajridush Shahih oleh Al Husain bin Mubarrak (546-631 H / 1152-1233 M)
2. Untuk Shahih Muslim diantaranya Mukhtashar oleh Al Mundziri (581-656 H / 1185-1258 M)
Al-Mustakhraj Terhadap Kitab ash-Shahihain
Definisi
Al-Mustakhraj adalah suatu kitab hadits yang ditulis oleh seorang ulama’ dengan mentakhrijkan (menuliskan riwayat) hadits-hadits yang sudah dibukukan di dalam suatu kitab hadits dengan sanadnya yang sama tetapi dari jalan yang lain dari pengarang kitab mustakhraj ‘alaih (yang dimustakhrajkan), lalu periwayatan mereka bertemu pada gurunya (penulis kitab yang dimustakhrajkan) atau guru yang lebih tinggi, sampai kepada shahabat.
Syaratnya, tidak sampai kepada syaikh dengan jalan yang lebih panjang sehingga menghilangkan sanad yang menghantarkan kepadanya yang lebih dekat, kecuali dengan alasan uluw (ketinggian) atau ada ziyadah (tembahan) yang penting. Bisa jadi Mustakhraj menggugurkan hadits-hadits yang sanadnya yang tidak memuaskan dan bisa pula menyebutkan hadits-hadits itu dengan jalan penulis kitab yang dimustakhrajkan.
Contoh; Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab Shahihnya j.1, h.222, Kitab ath-Thaharah, Bab Khishol al-Fithrah;
حَدَّثَنِي أَبُوْ بَكْر بْنُ إِسْحَاق أَخْبَرَنَا ابْنُ أَبِيْ مَرْيَمَ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَر أَخْبَرَنِي الْعَلَاءُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ يَعْقُوْبِ مَوْلَى الْحِرْقَةِ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جروا الشوارب وأرخوا اللحي وخالفوا المجوس
Telah menceritakan kepadaku, Abu Bakar bin Ishaq, Telah memberitahukan kepada kami Ibnu Abi Maryam, telah memberitakan kepada kami Muhammad bin Ja’far, telah memberitakan kepadaku al-‘Ala’ bin Abdurrahman bin Ya’qub, maula al-Hirqah, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah saw bersabda; cukurlah brengos dan panjangkanlah jenggot, dan berrbedalah dengan arang-prang Majusi
Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Awanah dalam kitab al-Mustakhraj ‘ala Shahih Muslim j.1, h.188, dan dalam sanadnya terjadi pertemuan dengan sanad Imam Muslim pada guru beliau, yakni Ibnu Abi Maryam. Bandingkan hadits tersebut dengan hadits berikut ini!
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاق الصَّغَانِي قال أَخْبَرَنَا ابْنُ أَبِيْ مَرْيَمَ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَر أَخْبَرَنِي الْعَلَاءُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ يَعْقُوْبِ مَوْلَى الْحِرْقَةِ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احفوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحْيَ وَخَالِفُوا الْمَجُوْسَ
Telah menceritakan kepada kami, Muhammad bin Ishaq ash-Shaghani, ia berkata; Telah memberitahukan kepada kami Ibnu Abi Maryam, telah memberitakan kepada kami Muhammad bin Ja’far, telah memberitakan kepadaku al-‘Ala’ bin Abdurrahman bin Ya’qub, maula al-Hirqah, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah saw bersabda; cukurlah brengos dan panjangkanlah jenggot, dan berrbedalah dengan arang-prang Majusi
Bukanlah suatu yang sangat urgen untuk menyebutkan sama persis antara matan (teks hadits) yang ada di dalam kitab al-Mustakhraj dengan matan yang ada di dalam kitab ash-Shahih (yang disebut juga al-mustakhraj ‘alaih), sebagaimana yang terlihat di dalam contoh di atas.
Demikian juga, kadang-kadang hadits di dalam kitab al-Mustakhraj ada ziyadah (tambahan) matan, tidak sebagaimana yang tertulis di dalam kitab ash-Shahih. Untuk itu apabila di dalam al-Mustakhraj salah satu kitab ash-shahihain terdapat ziyadah, kita tidak secara otomatis menganggap tambahan matan itu sahih sehingga diadakan peninjauan terhadap sanadnya.
Kitab-kitab Al-Mustakhraj.
Sejumlah ulama’ yang berminat untuk menuliskan al-Mustakhraj antara lain;
1. Mustakhraj al-Isma’ily,
2. Mustakhraj al-Ghithrify,
3. Mustakhraj Ibnu Abi Dzuhal.
Ketiga kitab tersebut adalah mustakhraj kitab Shahih al-Bukhari. Adapun kitab-kitab Mustakhraj untuk Shahih Muslim adalah;
1. Mustakhraj Abu Awanah,
2. Mustakhraj al-Hairy,
3. Mustakhraj Abu Hamid al-Harawy.
Dan di antara kitab Mustakhraj kedua kitab Shahih, adalah;
1. Mustakhraj Abu Nu’aim al-Ashbahany,
2. Mustakhraj Ibnu al-Akhram,
3. Mustakhraj Abu Bakar al-Barqany
Hadits Hasan
Pengertian dan Kriteria Hadits Hasan
Definisinya:
مَا اسْتَوْفَى شُرُوْطُ الصِّحَّةِ إِلاَّ أَنَّ أَحَدَ رُوَاتِهِ أَوْ بَعْضَهُمْ دُوْنَ رَاوِي الصَّحِيْحِ فِي الضَّبْطِ بِمَا لاَ يَخْرِجُهُ عَنْ حَيِّزِ اْلإِحْتِجَاجِ بِحَدِيْثِهِ
Adalah hadits yang memenuhi syarat sebagai hadits sahih , hanya saja kualitas dhabth (keakuratan) salah seorang atau beberapa orang rawinya berada di bawah kualitas rawi hadits sahih, tetapi hal itu tidak sampai mengeluarkan hadits tersebut dari wilayah kebolehan berhujjah dengannya.
Hadits seperti ini disebut hasan lidzatihi
Penjelasan Definisi
Hadits yang memenuhi syarat sebagai hadits sahih. Dalam hal ini syarat hadits sahih adalah;
1. Adanya sanad sampai kepada Rasulullah saw.
2. Persambungan sanad sampai kepada Rasulullah saw.
3. Tiadanya syadz (keganjilan)
4. Tiadanya illah (cacat tersembunyi)
Sedangkan syarat dlabth menjadi titik pembeda antara keduanya. Rawi hadits hasan tingkat dlabthnya berada di bawah kualitas rawi hadits sahih. Periwayat hadits hasan biasanya disebut dengan istilah, shaduq (jujur), laa ba’sa bih (tidak apa-apa), siqah yukhthi’ (terpercaya tetapi banyak kesalahan), atau shaduq lau awham (jujur tetapi diragukan)
Contoh hadits hasan; Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu al-Quththan di dalam Ziyadah ‘ala Sunan Ibni Majah (2744) dengan jalan
يَحْيَ بْنُ سَعِيْدٍ، عَنْ عَمْرو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ، قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُفْرٌ بِامْرِئٍ ادَّعَا نَسَبَ لاَ يَعْرِفُهُ، أَوْ جَحَّدَهُ، وَإِنْ دَقَّ، وَسَنَدُهُ حَسَنٌ
Yahya bin Sa’id, dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, berkata; Rasulullah saw bersabda; “kafirlah orang yang mengaku-aku nasab orang yang tidak diketahuinya, atau menolak nasab (yang sebenarnya), meskipun samar” Hadits ini sanadnya hasan.
Di dalam sanad hadits ini terdapat Amr bin Syu’aib bin Muhammad, bin Abdullah bin Amr bin al-Ash. al-Hafidz Ibnu Hajar di dalam kitab at-Taqrib (2/72) mengatakan, bahwa ia adalah shaduq.
Macam-macam Hadits Hasan
Ulama Hadits membagi Hadits Hasan menjadi beberapa macam sebagai berikut:
a. Hadits Hasan Lizatihi
b. Hadits Hasan Lighairihi
1. Hadits Hasan Lizatihi
Definisinya:
مَا اسْتَوْفَى شُرُوْطُ الصِّحَّةِ إِلاَّ أَنَّ أَحَدَ رُوَاتِهِ أَوْ بَعْضَهُمْ دُوْنَ رَاوِي الصَّحِيْحِ فِي الضَّبْطِ بِمَا لاَ يَخْرِجُهُ عَنْ حَيِّزِ اْلإِحْتِجَاجِ بِحَدِيْثِهِ
Adalah hadits yang memenuhi syarat sebagai hadits sahih , hanya saja kualitas dhabth (keakuratan) salah seorang atau beberapa orang rawinya berada di bawah kualitas rawi hadits sahih, tetapi hal itu tidak sampai mengeluarkan hadits tersebut dari wilayah kebolehan berhujjah dengannya.
Hadits seperti ini disebut hasan lidzatihi
Penjelasan Definisi
Hadits yang memenuhi syarat sebagai hadits sahih. Dalam hal ini syarat hadits sahih adalah;
1. Adanya sanad sampai kepada Rasulullah saw.
2. Persambungan sanad sampai kepada Rasulullah saw.
3. Tiadanya syadz (keganjilan)
4. Tiadanya illah (cacat tersembunyi)
Sedangkan syarat dlabth menjadi titik pembeda antara keduanya. Rawi hadits hasan tingkat dlabthnya berada di bawah kualitas rawi hadits sahih. Periwayat hadits hasan biasanya disebut dengan istilah, shaduq (jujur), laa ba’sa bih (tidak apa-apa), siqah yukhthi’ (terpercaya tetapi banyak kesalahan), atau shaduq lau awham (jujur tetapi diragukan)
1. Hadits Hasan Lighairihi
Definisinya:
الضَّعِيْفُ الْمُحْتَمَلُ الضُّعْفُ إِذَا تَعَدَّدَتْ طُرُقُهُ
Hadits dla’if yang ringan kedla’ifannya, apabila jalannya banyak
Ada pula yang mendefinisikan dengan;
مَا كَانَ ضَعْفُهُ مُحْتَمَلاً فَعَضَدَهُ مِثْلُهُ أَوْ أَقْوَى مِنْهُ
Apabila kedla’ifannya ringan, lalu dikuatkan dengan hadits yang serupa atau yang lebih kuat darinya
Penjelasan Definisi
Hadits dla’if yang ringan kedla’ifannya; yaitu hadits yang datang dengan sanad yang kedla’ifannya ringan, tidak berat.
Apabila jalannya banyak; dengan adanya satu mutabi’ atau lebih yang semisal atau lebih kuat lagi.
Contoh; Hadits yang dikeluarkan oleh al-Bazar di dalam kitab Musnad, sebagaimana disebutkan di dalam kitab Majma’ az-Zawaid (10/166), Ibnu Syahin di dalam Fadla’il Syahr Ramdlan (h.7), Abdul Ghina al-Maqdisy di dalam kitab Fadlail Ramadhan (h.12) dengan jalan dari;
سَلَمَة بْنُ وَرْدَانٍ، عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: رَقَى رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمِنْبَرَ، فَارْتَقَى دَرَجَةً ثُمَّ قَالَ: آمِيْنٌ، ثُمَّ ارْتَقَى دَرَجَةً أُخْرَى، ثُمَّ قَالَ: آمِيْنٌ، … الْحَدِيْثُ فِي فَضَائِلِ رَمَضَانَ
Salamah bin Wardan, dari Anas bin Malik, ia berkata; Rasulullah saw naik ke mimbar, beliau naik satu tangga kemudian mengucap, “Amin”, kemudian naik satu tangga lagi dan mengucap “Amin”…… Hadits tentang keutamaan Ramadlan.
Salamah bin Wardan adalah rijal yang dla’if, dalam hal hafalan, dia meriwa-yatkan beberapa hadits dari Anas bin Malik yang tidak sama dengan hadits yang diriwayatkan oleh rijal yang siqah, hanya saja kedla’ifannya ringan, tidak berat.
Hadits ini diikuti oleh Tsabit al-Banani, yang juga meriwayatkan dari Anas bin Malik. Dikeluarkan oleh Ibnu Syahin (h.4). Tetapi dalam riwayat inipun terdapat kedla’ifan yang ringan juga. Di dalam sanad kepada Tsabit ada Mu’ammal bin Isma’il, yang hafalannya juga lemah.
Dengan bergabungnya dua jalan ini, hadits tersebut menjadi hasan.
Hukum dan Status kehujjahan Hadits Hasan
Setelah dilakukan pemeriksaan, penyelidikan dan pemhahasan yang seksama tentang hadis Hasan, dimana hadits Hasan merupakan hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil. hafalannya kurang sempurna tetapi sanad nya muttashil lagi tidak mu’allal dan tidak pula syadz, kemudian hadits hasan ini menjadi kuat karena didukung oleh satu jalur atau dua jalur periwayatan lainnya, maka predikatnya naik menjadi shahih lighairihi, maka wajiblah bagi setiap muslim menerima dan mengamalkan hadits Hasan. Dengan kata lain hukum Hadits Hasan dapat diamalkan dan dijadikan hujjah.
Hadis Hasan juga merupakan bagian hadis-hadis maqbul yang wajib diterima, namun demikian para muhaddisin dan juga ulama yang lain sependapat bahwa tidak semua hadis yang maqbul itu harus diamalkan, mengingat dalam kenyataan terdapat hadis-hadis yang telah dihapuskan hukumnya disebabkan datangnya hukum atau ketentuan baru yang juga ditetapkan oleh hadis Rasulullah SAW.
Kitab-Kitab Hadits Hasan
Buku-buku hadis yang memuat tentang Hadits Hasan cukup banyak dikarenakan pada perinsipnya Hadits Hasan adalah sebuah hadis yang mempunyai peringkat dibawah Hadits Shahih atau turun tingkatannya dari Hadits Shahih dikerenakan tingkat kedhabitan atau keadilan perawinya kurang sempurna atau di bawah tingkatan hadits Shahih. Kebanyakan kitab Hadits pada abad ke 2 , ke 3 dan ke 4 mengandung sebagian hadits Shahih dan kebanyakan diantara Hadits-hadits tersebut banyak yang jatuh peringkatnya menjadi Hadits Hasan. Kadang-kadang peringkatnya hasannya itu bisa menjadi hadits Shahih lighairihi dikarenakan terdapat jalur-jalur periwayatan yang lain terhadap hadits yang sama.
Adapun kitab-kitab hadis yang bisa digolongkan ke dalam buku-buku Hadits Hasan adalah sebagai berikut :
Abad ke 2 H
Beberapa kitab yang terkenal :
1. Al Muwaththa oleh Malik bin Anas
2. Al Musnad oleh As Syafi'i (tahun 150 - 204 H / 767 - 820 M)
3. Mukhtaliful Hadist oleh As Syafi'i
4. Al Jami' oleh Abdurrazzaq Ash Shan'ani
5. Mushannaf Syu'bah oleh Syu'bah bin Hajjaj (tahun 82 - 160 H / 701 - 776 M)
6. Mushannaf Sufyan oleh Sufyan bin Uyainah (tahun 107 - 190 H / 725 - 814 M)
7. Mushannaf Al Laist oleh Al Laist bin Sa'ad (tahun 94 - 175 / 713 - 792 M)
8. As Sunan Al Auza'i oleh Al Auza'i (tahun 88 - 157 / 707 - 773 M)
9. As Sunan Al Humaidi (wafat tahun 219 H / 834 M)
Dari kesembilan kitab tersebut yang sangat mendapat perhatian para Ulama hanya tiga, yaitu Al Muwaththa', Al Musnad dan Mukhtaliful Hadist. Sedangkan selebihnya kurang mendapat perhatian akhirnya hilang ditelan zaman.
Abad ke 3 H
1. Musnadul Kabir oleh Ahmad bin Hambal
2. As Sunan Ibnu Majah oleh Ibnu Majah (207-273 H / 824-887 M)
3. As Sunan Abu Dawud oleh Abu Dawud (202-275 H / 817-889 M)
4. As Sunan At Tirmidzi oleh At Tirmidzi (209-279 H / 825-892 M)
5. As Sunan Nasai oleh An Nasai (225-303 H / 839-915 M)
6. As Sunan Darimi oleh Darimi (181-255 H / 797-869 M)
Abad ke 4 H
1. Al Mu'jamul Kabir oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
2. Al Mu'jamul Ausath oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
3. Al Mu'jamush Shaghir oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
4. Al Mustadrak oleh Al Hakim (321-405 H / 933-1014 M)
5. Ash Shahih oleh Ibnu Khuzaimah (233-311 H / 838-924 M)
6. At Taqasim wal Anwa' oleh Abu Awwanah (wafat 316 H / 928 M)
7. As Shahih oleh Abu Hatim bin Hibban (wafat 354 H/ 965 M)
8. Al Muntaqa oleh Ibnu Sakan (wafat 353 H / 964 M)
9. As Sunan oleh Ad Daruquthni (306-385 H / 919-995 M)
10. Al Mushannaf oleh Ath Thahawi (239-321 H / 853-933 M)
11. Al Musnad oleh Ibnu Nashar Ar Razi (wafat 301 H / 913 M)
Abad ke 5 H dan selanjutnya
a. Hasil penghimpunan
1. Bersumber dari kutubus sittah saja
1. Jami'ul Ushul oleh Ibnu Atsir Al Jazari (556-630 H / 1160-1233 M)
2. Tashiful Wushul oleh Al Fairuz Zabadi (? - ? H / ? - 1084 M)
b. Hasil pembidangan (mengelompokkan ke dalam bidang-bidang)
1. Kitab Al Hadits Hukum, diantaranya :
1. Sunan oleh Ad Daruquthni (306-385 H / 919-995 M)
2. As Sunannul Kubra oleh Al Baihaqi (384-458 H / 994-1066 M)
4. Muntaqal Akhbar oleh Majduddin Al Hirani (? - 652 H / ? - 1254 M)
5. Bulughul Maram oleh Ibnu Hajar Al Asqalani (773-852 H / 1371-1448 M)
PENUTUP
Menatap prespektif keilmuan hadis, sungguh pun ajaran hadis telah ikut mendorong kemajuan umat Islam. Sebab hadits Nabi, sebagaimana halnya Al-Qur’an telah memerintahkan orang-orang beriman menuntut pengetahuan. Dengan demikian prespektif keilmuan hadits, justru menyebabkan kemajuan umat Islam. Bahkan suatu kenyataan yang tidak boleh luput dari perhatian, adalah sebab-sebab dimana al-Qur’an diturunkan. Bertolak dari kenyataan ini, Prof. A. Mukti Ali menyebutkan sebagai metode pemahaman terhadap suatu kepercayaan, ajaran atau kejadian dengan melihatnya sebagai suatu kenyataan yang mempunyai kesatuan mutlak dengan waktu, temapat, kebudayaan, golongan dan lingkungan dimana kepercayaan, ajaran dan kejadian itu muncul. Dalam dunia pengetahuan tentang agama Islam, sebenarnya benih metode sosio-historis telah ada pengikutsertaan pengetahuan asbab al nuul (sebab-sebab wahyu diturunakan) untuk memahami al-Qur’an, dan asbab al-wurud (sebab-sebab hadits diucapkan) untuk memahami al-Sunnah.
Sebagai kesimpulan, para ahli hadis telah memberikan definisi yang bermacam-macam terhadap hadis sahih. Di sini, kita akan memilih definisi yang paling tepat dan steril dari kritik.
Hadis sahih adalah hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang Adl dan Dhabith dari perawi yang Adl dan Dhabith pula, demikian seterusnya hingga akhir sanad, serta steril dari Syudzudz dan Illat.
Oleh karena itu, hadis yang memiliki cacat Illat tidak dapat dikatakan sebagai hadis sahih. Hadis yang demikian keadaannya disebut sebagai hadis mu'allal.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Suyuthi, Jalaluddin, Tadrib ar_Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi, jil. I. Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah, 1979.
Asqalani, Ibnu Hajar, An-Nukat ‘ala Ibni ash-Sholah, jil. I. Kairo: Dar ar-Raiyan, 1988.
Al-Khathib, Muhammad Ajjaj, Tarikh al-Baghdad, jil. II, Beirut; Dar Fikr, 1975.
Thahhan, Mahmud, Taisir Mushthalah al-Hadits. Kairo: Maktabah al-Ma’arif li nasyr wat tauzi’ Riadh, t.th.
An-Nawawi, Yahya bin Syaraf, Syarh Shahih Muslim, al-Minhaj bi Syarh Sahih Muslim bin al-Hajjaj, jil.I, Beirut: Dar kutub al-Ilmiyyah, 1995.
Adz-Dzahaby, Muhammad bin Ahmad, Siyar A’lam an-Nubala’, jil. XII, Mekkah al Mukarramah: Penerbit Maktabah al Malik Fahd al Wathaniyah, 1425H
Ibnu al-Shalâh, Abu 'Amr Utsmân, Muqaddimah Ibnu Sholah, Beirut, Dâr al-Tsurayya li al-Narys
Shidqie, Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka Rezeki Putra, 1999.
Qathan, Manna, Mabahis Fi Ulumil Hadis, terj. Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadis, Jakarta: Al-Kausar, 2005.
Yuslem, Nawir, Ulumul Hadits, Jakarta: Mutiara Sumber Widya, Cetakan Kedua, 2003.
Hassan, Dr. Suhaib, Introduction to the Science of Hadith Classification by Shaikh
Jaiz, Mh. Amin, Pengetahuan Dasar tentang Pokok-pokok Ajaran Islam
http://mediaislam.fisikateknik.org
salam alaikum, postingan yang sangat bermanfaat, terutama bagi saya yang awam dalam hal ini. terima kasih banyak. saya follow, follow balik, ya Saudaraku. :)
BalasHapus