Kamis, 04 Maret 2010

Mushthalahul Hadits

Written by Administrator
Tuesday, 28 April 2009 23:27 -
Mushthalahul Hadits

PENDAHULUAN
1. Pada awalnya Rasulullah saw melarang para sahabat menuliskan hadits, karena
dikhawatirkan akan bercampur-baur penulisannya dengan Al-Qur’an.
2. Perintah untuk menuliskan hadits yang pertama kali adalah oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau menulis surat kepada gubernurnya di Madinah yaitu Abu bakar bin Muhammad bin Amr Hazm Al-Alshari untuk membukukan hadits.
3. Ulama yang pertama kali mengumpulkan hadits adalah Ar-Rabi Bin Shabi dan Said bin Abi Arabah, akan tetapi pengumpulan hadits tersebut masih acak (tercampur antara yang shahih dengan, dha’if, dan perkataan para sahabat.
4. Pada kurun ke-2 imam Malik menulis kitab Al-Muwatha di Madinah, di Makkah Hadits
dikumpulkan oleh Abu Muhammad Abdul Malik Bin Ibnu Juraiz, di Syam oleh imam Al-Auza i, di Kuffah oleh Sufyan At-Tsauri, di Bashrah oleh Hammad Bin Salamah.
5. Pada awal abad ke-3 hijriyah mulai dikarang kitab-kitab musnad, seperti musnad Na’im ibnu hammad.
6. Pada pertengahan abad ke-3 hijriyah mulai dikarang kitab shahih Bukhari dan Muslim.

PEMBAHASAN

Ilmu Hadits: ilmu yang membahas kaidah-kaidah untuk mengetahui kedudukan sanad dan matan, apakah
diterima atau ditolak.

Hadits:
Apa-apa yang disandarkan kepada Rasulullah saw, berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, dan sifat (lahiriyah dan batiniyah).

Sanad:
Mata rantai perawi yang menghubungkannya ke matan.
Matan:
Perkataan-perkataan yang dinukil sampai ke akhir sanad.

PEMBAGIAN HADITS
Dilihat dari konsekuensi hukumnya:

Mushthalahul Hadits
Written by Administrator
Tuesday, 28 April 2009 23:27 -
1. Hadits Maqbul (diterima): terdiri dari Hadits shahih dan Hadits Hasan
2. Hadits Mardud (ditolak): yaitu Hadits dha’if

HADITS SHAHIH:
Yaitu Hadits yang memenuhi 5 syarat berikut ini:
1. Sanadnya bersambung (telah mendengar/bertemu antara para perawi).
2. Melalui penukilan dari perawi-perawi yang adil.Perawi yang adil adalah perawi yang muslim,baligh (dapat memahami perkataan dan menjawab pertanyaan), berakal, terhindar dari sebab-sebab kefasikan dan rusaknya kehormatan (contoh-contoh kefasikan dan rusaknya kehormatan adalah seperti melakukan kemaksiatan dan bid’ah, termasuk diantaranya merokok, mencukur jenggot, dan bermain musik).
3. Tsiqah (yaitu hapalannya kuat).
4. Tidak ada syadz. Syadz adalah seorang perawi yang tsiqah menyelisihi perawi yang lebih
tsiqah darinya.
5. Tidak ada illat atau kecacatan dalam Hadits
Hukum Hadits shahih: dapat diamalkan dan dijadikan hujjah.

HADITS HASAN:
Yaitu Hadits yang apabila perawi-perawinya yang hanya sampai pada tingkatan shaduq
(tingkatannya berada di bawah tsiqah).
Shaduq: tingkat kesalahannya 50: 50 atau di bawah 60% tingkat ke tsiqahannya. Shaduq bisa
terjadi pada seorang perawi atau keseluruhan perawi pada rantai sanad.
Para ulama dahulu meneliti tingkat ketsiqahan seorang perawi adalah dengan memberikan
ujian, yaitu disuruh membawakan 100 hadits berikut sanad-sanadnya. Jika sang perawi mampu
menyebutkan lebih dari 60 hadits (60%) dengan benar maka sang perawi dianggap tsiqah.
Hukum Hadits Hasan: dapat diamalkan dan dijadikan hujjah.
HADITS HASAN SHAHIH
Penyebutan istilah Hadits hasan shahih sering disebutkan oleh imam Tirmidzi. Hadits hasan
shahih dapat dimaknai dengan 2 pengertian:
• Imam Tirmidzi mengatakannya karena Hadits tersebut memiliki 2 rantai sanad/lebih. Sebagian
sanad hasan dan sebagian lainnya shahih, maka jadilah dia Hadits hasan shahih.
• Jika hanya ada 1 sanad, Hadits tersebut hasan menurut sebagian ulama dan shahih oleh
ulama yang lainnya.
HADITS MUTTAFAQQUN ‘ALAIHI
Yaitu Hadits yang sepakat dikeluarkan oleh imam Bukhari dan imam Muslim pada kitab shahih
mereka masing-masing.
TINGKATAN HADITS SHAHIH
• Hadits muttafaqqun ‘alaihi
• Hadits shahih yang dikeluarkan oleh imam Bukhari saja
• Hadits shahih yang dikeluarkan oleh imam Muslim saja
• Hadits yang sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim, serta tidak dicantumkan pada
kitab-kitab shahih mereka.
• Hadits yang sesuai dengan syarat Bukhari
2 / 4
Mushthalahul Hadits
Written by Administrator
Tuesday, 28 April 2009 23:27 -
• Hadits yang sesuai dengan syarat Muslim
• Hadits yang tidak sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim
Syarat Bukhari dan Muslim: perawi-perawi yang dipakai adalah perawi-perawi Bukhari dan
Muslim dalam shahih mereka.
HADITS DHA’IF
Hadits yang tidak memenuhi salah satu/lebih syarat Hadits shahih dan Hasan.
Hukum Hadits dha’if: tidak dapat diamalkan dan tidak boleh meriwayatkan Hadits dha’if kecuali
dengan menyebutkan kedudukan Hadits tersebut. Hadits dha’if berbeda dengan hadits palsu
atau hadits maudhu`. Hadits dha’if itu masih punya sanad kepada Rasulullah SAW, namun di
beberapa rawi ada dha`f atau kelemahan. Kelemahan ini tidak terkait dengan pemalsuan
hadits, tetapi lebih kepada sifat yang dimiliki seorang rawi dalam masalah dhabit atau
al-`adalah. Mungkin sudah sering lupa atau ada akhlaqnya yang kurang etis di tengah
masyarakatnya. Sama sekali tidak ada kaitan dengan upaya memalsukan atau mengarang
hadits.
Yang harus dibuang jauh-jauh adalah hadits maudhu`, hadits mungkar atau matruk. Dimana
hadits itu sama sekali memang tidak punya sanad sama sekali kepada Rasulullah saw. Walau
yang paling lemah sekalipun. Inilah yang harus dibuang jauh-jauh. Sedangkan kalau baru
dha`if, tentu masih ada jalur sanadnya meski tidak kuat. Maka istilah yang digunakan adalah
dha`if atau lemah. Meski lemah tapi masih ada jalur sanadnya.
Karena itulah para ulama berbeda pendapat tentang penggunaan hadits dha`if, dimana
sebagian membolehkan untuk fadha`ilul a`mal. Dan sebagian lagi memang tidak menerimanya.
Namun menurut iman An-Nawawi dalam mukaddimahnya, bolehnya menggunakan
hadits-hadits dha’if dalam fadailul a’mal sudah merupakan kesepakatan para ulama.
Untuk tahap lanjut tentang ilmu hadits, silakan merujuk pada kitab “Mushthalahul Hadits”
Buat kita orang-orang yang awam dengan ulumul hadits, tentu untuk mengetahui derajat suatu
hadits bisa dengan bertanya kepada para ulama ahli hadits. Sebab merekalah yang punya
kemampuan dan kapasitas dalam melakukan penelusuran sanad dan perawi suatu hadits serta
menentukan derajatnya.
Setiap hadits itu harus ada alur sanadnya dari perawi terakhir hingga kepada Rasulullah SAW.
Para perawi hadits itu menerima hadits secara berjenjang, dari perawi di atasnya yang pertama
sampai kepada yang perawi yang ke sekian hingga kepada Rasulullah SAW.
Seorang ahli hadits akan melakukan penelusuran jalur periwayatan setiap hadits ini satu per
satu, termasuk riwayat hidup para perawi itu pada semua level / tabaqathnya. Kalau ada cacat
pada dirinya, baik dari sisi dhabit (hafalan) maupun `adalah-nya (sifat kepribadiannya), maka
akan berpengaruh besar kepada nilai derajat hadits yang diriwayatkannya.
Sebuah hadits yang selamat dari semua cacat pada semua jalur perawinya hingga ke
Rasulullah SAW, dimana semua perawi itu lolos verifikasi dan dinyatakan sebagai perawi yang
tisqah, maka hadits itu dikatakan sehat, atau istilah populernya shahih. Sedikit derajat di
bawahnya disebut hadits hasan atau baik. Namun bila ada diantara perawinya yang punya
cacat atau kelemahan, maka hadits yang sampai kepada kita melalui jalurnya akan dikatakan
lemah atau dha`if.
Para ulama mengatakan bila sebuah hadits lemah dari sisi periwayatannya namun masih
tersambung kepada Rasulullah SAW, masih bisa dijadikan dalil untuk bidang fadhailul a`mal,
atau keutamaan amal ibadah.
Sedangkan bila sebuah hadits terputus periwayatannya dan tidak sampai jalurnya kepada
3 / 4
Mushthalahul Hadits
Written by Administrator
Tuesday, 28 April 2009 23:27 -
Rasulullah SAW, maka hadits ini dikatakan putus atau munqathi`. Dan bisa saja hadits yang
semacam ini memang sama sekali bukan dari Rasulullah SAW, sehingga bisa dikatakan hadits
palsu atau maudhu`. Jenis hadits yang seperti ini sama sekali tidak boleh dijadikan dasar
hukum dalam Islam.
Untuk mengetahui apakah sebuah hadits itu termasuk shahih atau tidak, bisa dilihat dalam kitab
susunan Imam Al-Bukhari yaitu shahih Bukhari atau Imam Muslim yaitu shahih muslim. Untuk
hadits-hadits dha’if juga bisa dilihat pada kitab-kitab khusus yang disusun untuk membuat daftar
hadits dha’if.
Di masa sekarang ini, para ulama yang berkonsentrasi di bidang hadits banyak yang
menuliskannya, seperti karya-karya Syaikh Nashiruddin Al-Albani. Di antaranya kitab Silsilah
Al-Ahadits Ash-Shahihah yang berjumlah 11 jilid.
Tags: hadits
Prev: Avicenna dan Al Qanun Fit-Tibb
Next: Pengantar Al-Arbain An-Nawawiyah
4 / 4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar