Drs. Istadiyantha, M.S.
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret,
Solo, Jawa Tengah, Indonesia
ABSTRAK
Ada suatu tahapan yang penting dalam membuat klasifikasi suatu karya sastra sehingga timbul adanya bermacam-macam jenis sastra (genre). Jika dilihat secara kualitas, terdapat karya bermutu dan tidak bermutu sastra; jika dilihat dari segi bentuknya, timbul jenis sastra seperti puisi, prosa, dan drama; dan jika ditinjau secara fungsional timbul karya sastra yang bermanfaat dan bersifat hiburan atau utile et dulce, sehingga masing-masing jenis sastra masih dapat dikembangkan lagi menjadi subjenis yang lebih khusus lagi.
Sastra sufi dan sastra mistik muncul karena adanya suatu kesadaran akan pentingnya penghayatan kehidupan kerohanian. Sastra Sufi Jawa dimana merupakan karya sastra yang berasal dari dan tentang kehidupan orang-orang sufi di Jawa, baik ditulis sendiri maupun dibawakan oleh orang lain atau pengikutnya, sastra sufi lebih bersifat khusus, sedangkan sastra mistik lebih bersifat umum. Sesuai dengan namanya, aktivitas mistik dapat saja dilakukan oleh orang dari golongan agama apa saja dan tidak terbatas dari golongan agama Islam .Di era globalisasi ini, Sastra Sufi Jawa akan mudah diakses oleh kalangan peminat sastra, di pihak lain ajaran tasawuf sesuai sifatnya hanya dapat dipahami oleh kalngan terbatas. Sastra Sufi Jawa yang inklusif di dalam ajaran Sufi bermanfaat sebagai media pendidikan moral, hidup sederhana, dan pengamalan ajaran agama secara mendalam.
Kata-kata kunci: Jenis sastra, sastra sufi, sastra mistik.
1. Pendahuluan
Bahasa Jawa termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia atau Melayu-Polinesia bagian barat. Berdasarkan tipologi bahasa, yakni tipe-tipe morfem, bahasa Jawa merupakan bahasa aglutinasi karena ia memakai morfem afiks atau imbuhan sebagai sistem bahasanya. Bahasa yang bersifat demikian dikenal sebagai bahasa analitis (Abdul Rahman Kaeh, 1991:132). Selanjutnya dikatakan bahwa hubungan antara bahasa Jawa dengan beberapa bahasa Jawa di Nusantara ini terutama berkaitan dengan kosakata dan morfem afiksnya. Baik bahasa Malaysia atau bahasa Indonesia maupun bahasa Jawa sebagai bahasa daerah di Nusantara tetap sebagai bahasa yang serumpun, yaitu bahasa analitis (lih. Slamet Muljana, 1966: 12).
Setiap masyarakat bahasa, setiap suku, atau kelompok tertentu sering memiliki spesifikasi di bidang kesastraan. karya sastra merupakan bangunan bahasa yang didasarkan pada konven¬si tertentu. Dari konvensi itu timbulah jenis sastra yang beraneka ragam, yang di antara keanekaragaman jenis sastra itu terdapatlah sastra sufi, yang merupakan bagian dari sastra ke¬agamaan.
Munculnya jenis sastra sufi dapat memperkaya khazanah du¬nia kesusasteraan. Kesusasteraan jenis ini muncul sebagai mani¬festasi adanya kesadaran bahwa penghayatan terhadap kehidupan kerohanian perlu dilakukan. Kesadaran akan pentingnya pengha¬yatan kehidupan kerohanian itu ada yang diwujudkan dalam ben¬tuk sastra keagamaan dan ada pula yang diwujudkan dalam bentuk yang lebih khusus yaitu sastra sufi dan atau sastra mistik. Di Indonesia, unsur keagamaan amat besar peranannya dalam sastra tradisional, penelitian teks lama sehubungan dengan aliran, ajaran, atau praktek keagamaan, dikembangkan dalam sejumlah penelitian filologi berupa tesis dan disertasi (Achadiati Ikram, 1997:4).
Timbulnya sastra keagamaan, sastra sufi, dan sastra mistik dalam bahasa Jawa, Indonesia, dan Melayu itu membawa akibat kepada peneliti sastra Nusantara untuk menambah cakrawala baru dalam analisis karya tersebut. Sejumlah teori sastra yang dewasa ini pesat perkembangannya ternyata sangat terbatas pe¬nerapannya. Hal itu antara lain disebabkan oleh beberapa fak¬tor, satu di antaranya ialah karena munculnya sejumlah teori itu tidak selalu dapat melihat keanekaragaman objek sastra, atau dengan kata lain teori itu muncul dalam suatu situasi so¬sial budaya tertentu untuk suatu objek tertentu, dengan demi¬kian perlulah diketemukan cara baru dalam menelaah objek-objek tertentu sehingga ada relevansi antara teori dengan objeknya.
Berdasarkan alasan di atas, perlulah diupayakan cara penelaahan terhadap sastra sufi, yang merupakan karya sastra yang berisi masalah-masalah tasawuf.
2. Sastra - Filologi
Dalam perkembangan terakhir ini, pada pertemuan-pertemuan tingkat nasional maupun international sudah jarang dibedakan lagi antara sastra dan filologi (Sulastin Sutrisno, 21 Agus¬tus 1985 : Symposium, 1986).
Pernyataan tersebut untuk memperkuat alasan bahwa pekerjaan filologi dewasa ini tidaklah cukup jika hanya melakukan penyuntingan naskah dan transliterasi, lagipula sekarang mulai banyak dijumpai pendekatan secara sastra un¬tuk dilakukan dalam penelitian filologi. Di lain pihak untuk menandaskan bahwa objek dan definisi sastra tidak mudah dija¬barkan secara umum, kenyataan ini diakui oleh Teeuw (1982 : 7; 1987: 1) bahwa sastra sebagai suatu gejala kebudayaan menunjukkan sesuatu yang menarik, di satu pihak sastra merupakan gejala universal yang terdapat dalam setiap masyarakat tetapi di la¬in pihak ilmu sastra masih dalam proses merumuskan gejala sastra yang universal dan umum diterima.
Kesulitan itu tidak hanya terletak di situ saja, pada ob¬jek penelitiannya pun masih terdapat ketidakpastian (Teeuw, 1984 : 21). Hal ini tidak berarti bahwa para peneliti kita terdahulu juga melakukan suatu ketidakpastian, sama sekali ti¬dak. Sebab kesulitan itu telah mulai diatasi secara bertahap. Salah satu tahap di antara tahap-tahapnya yang penting adalah mengklasifikasikan sesuatu karya sehingga timbul adanya ber¬macam-macam jenis sastra. Dilihat secara kualitas timbul kla¬sifikasi karya sastra bermutu dan tidak bermutu sastra.
Dari segi bentuk timbul penjenisan karya sastra menjadi jenis (gen¬re) puisi, prosa, dan drama (Abrams, l981). Ditinjau secara fungsional tim¬bul karya yang bermanfaat dan bersifat hiburan atau utile et dulce (Horatius dalam Teeuw, 1984 : 183 - 184), dan sebagai¬nya. Sehingga masing-masing jenis sastra masih dapat dikembangkan lagi menjadi subjenis yang lebih khusus lagi, dan seterusnya.
Dalam pembahasan ini akan dibatasi pada pembahasan seca¬ra fungsional tersebut, yang ternyata pada fungsi ini terkan¬dung isi, dan dalam keseluruhan isi tersimpul tema atau amanat. Di sini objek filologi dan sastra dapat diketemukan dalam isi pesan sesuatu karya.
Filologi berobjek studi pada naskah, mula-mula filologi diarti¬kan sebagai kegemaran berbincang-bincang, selanjutnya isti¬lah tersebut berkembang menjadi ‘cinta kata’, hingga seterusnya berarti ‘studi ilmu sastra’ (Wagenvoort dalam Sulastin Su¬trisno, 1981 : 1).
Secara operasional para peneliti bidang filologi menemukan masalah yang.beraneka ragam yang terdapat di dalam naskah sebagai objeknya, sehingga arti filologi terus berkembang men¬jadi ilmu yang menyelidiki perkembangan kerohanian sesuatu bangsa dan kekhususannya atau yang menyelidiki kebudayaan ber¬dasarkan bahasa dan kesusasteraannya ( Baroroh Baried dkk.: 1977).
3. Sastra Sufi - Sastra Mistik
Di atas telah disebutkan bahwa bagian dari objek sastra dan filologi dalam pembahasan ini dibatasi pada isi karya, yaitu karya sastra yang berisi masalah tasawuf. Peninjauan secara isi ini¬lah sehingga timbul jenis sastra sufi atau sastra mistik seba¬gai suatu subjenis sastra di antara beberapa jenis sastra yang lain. Dalam perkembangan yang lain ada jenis sastra profetik, dan ada pula jenis sastra sufistik (Bani Sudardi, 2001), yang tidak dibahas dalam makalah ini.
Selanjutnya timbul pertanyaan, samakah Sastra Sufi dengan Sastra Mistik? Istilah sufi berasal darl bahasa Arab dengan arti menunjuk kepada pelakunya, yaitu orang yang melakukan kegiatan tasawuf. Sedangkan mistik dapat berarti ‘batin’, ‘gaib’, dan dalam perkembangan selanjutnya, dapat disamaartikan dengan tasawuf. Belum diketahui dengan pasti dari bahasa apakah kata mistik ini dipungut untuk sementara dapat dibandingkan dengan istilah bahasa asing (dengan arti yang sama) yaitu mystic (Inggris) ; mystiek (Belanda).
Bertolak dari pemakaian katanya, sastra sufi menuntut ada¬nya relevansi penulis dengan hasil karyanya, sedangkan sastra mistik dapat hanya berorientasi kepada hasil karyanya, tanpa ada konsekuensi bahwa si penulis harus sebagai pelaku kegiatan mistik atau "mistikus"?. Dalam "pembukaan" Adam Makrifatnya Danarto terdapat pengakuan dari penulis bahwa sesuatu karya dapat saja bertentangan seratus persen dengan kemauan penulisnya (1982:9). Kecuali itu, sastra sufi lebih bersifat khusus, sedangkan sas¬tra mistik bersifat umum, karena istilah sufi menunjukkan akti¬vitas kerohanian yang dilakukan oleh orang yang beragama Islam, sedangkan istilah mistik berhubungan dengan aktivitas kerohanian yang dilakukan tidak terbatas pada kalangan orang Islam saja melainkan juga dilaksanakan oleh orang-orang yang beraga¬ma Nasrani, Hindu, Budha, dan sebagainya.
Berikut ini disajikan beberapa contoh yang menunjukkan bahwa kegiatan mistik dilakukan oleh pelbagai kalangan beragama:
3.1. Ballada Penyaliban karya W.S. Rendra
Yesus berjalan ke Golgota
Disandangnya salib kayu
Bagai domba kapas putih
Tiada mawar-mawar di jalanan
Tiada daun-daun palma
Domba putih menyerap azab dan dera
Merunduk oleh tugas teramat dicinta
……………………………………….
Akan diminumnya dari tuwung kencana
Anggur darah lambungnya sendiri
Dan pada tarikan napas terakhir bertuba
Bapa, selesailah semua!
Penyair tersebut bukan saja dikatakan “bertemu tetapi pula kena oleh Yesus”, demikian menurut Teeuw (1982a : 129 ¬130). Lebih lanjut dijelaskan bahwa sajak yang serupa ini na¬sib setiap manusia yang menyedihkan diberinya cahaya baru yang menggembirakan, memberikan harapan, karena mereka tidak sendirian tetapi bersama, bersatu, dengan domba kapas putih (id.129).
3.2. Contoh yang terdapat di dalam kitab Sutasoma karya Empu Tantular dengan seloka sebagai berikut:
Mangka Jinatwa lawan Siwatatwa tunggal,
Bhinneka Tunggal Ika
Tan Hana Dharma Mangrwa (Sri Mulyono, 1983: 84 - 85)
Artinya:
“Sesungguhnya esensi Budha dan Siwa adalah satu. Sekalipun berbeda-beda, sesungguhnya satu juga. Tak ada kebenaran yang mendua. “
4. Pengertian Tasawuf
Kata tasawuf diperkirakan berasal dari berbagai kata di antaranya : Ibnu Shaūf, shūfah, shāfa, sophia, shuffah, shūf (Zaki Mubarak delam Abubakar Aceh, 1984 : 25 - 26), shāf, BarmawieUmarie,1961:13), shaufanah (Umar Suhrawardi dalam Asjwadie Sjukur, 1978:5), dan theashofos (Von Hamer dalam id. 5)
Adapun arti kata-kata tersebut adalah sebagai berikut: Ibnu Shaūf adalah gelar yang diberikan terhadap seorang Arab saleh yang selalu mengasingkan diri di dekat Ka’bah dengan tujuan untuk mendekatkan diri terhadap Tuhan, orang tersebut bernama Ghaus bin Mur (Abubakar Aceh, 1984:25), istilah ini diambil karena ada hubungan dengan kebiasaaan orang sufi yang suka mengasingkan dirinya dalam rangka mendekatkan Kepada Tuhan. Shūfah adalah nama surat ijazah bagi orang yang melakukan ibadah haji (id.:25) hal ini dapat dihubungkan dengan kebiasaan perguruan tarekat, murid perguruan tersebut setelah mencapai tataran tertentu memperoleh ijazah dari gurunya. Shāfa berarti bersih, suci (id.:25) pengertian ini dihubungkan dengan jalan yang ditempuh oleh orang sufi dalam pendekatannya terhadap Tuhan dengan cara membersihkan hati dari segala dosa. Shopia adalah kata Yunani yang berarti hikmah atau kebijaksanaan (id.:25) hal ini sesuai dengan ilmu (ma’rifat) yang mereka peroleh dalam menjalankan ajaran tasawuf tersebut. Shuffah adalah nama suatu ruangan di dekat masjid Madinah tempat Nabi Muhammad s.a.w. memberikan pelajaran agama terhadap para sahabatnya (id.:25). Shūf berarti bulu kambing, pakaian yang dibuat dari bahan ini biasa disebut pakaian shūf, pakaian yang biasa dipakai oleh orang sufi. Shāf yaitu barisan/jajaran di dalam sholat. Shaufanah adalah nama sejenis buah berbulu yang tumbuh di padang pasir Arab ( Asjwadie Sjukur, 1978:5) Theashofis adalah kata yang berasal dari bahasa Yunani Thea dan shofos, Thea berarti ‘Tuhan’ dan shofos berarti ‘hikmah’, jadi Theashofis berarti ‘hikmah ke-Tuhanan’ (id:6). Pendapat yang mengatakan bahwa kata tasawuf berasal dari kata Yunani Theashofis ini dibantah oleh para ulama fikih dan tasawuf antara lain Ibnu Taimiyah, Imam Ahmad bin Hambal, Abu Sulaiman Addarani, Abu Sofyan Ats-Tsauri, dan Hasan Bishri. Salah seorang dari mereka yaitu Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa secara gramatika bahasa Arab kata itu tidak dapat dipertanggungjawabkan (id.:6).
Kecuali itu pendapat yang mengatakan bahwa kata tasawuf dibentuk dari kata wazan: tafa’’ala – yatafa’’alu – tafa’’ulan, perimbangan katanya yaitu: tashawwafa – yatashawwafu – tashawwufan (Barmawie Umarie,1961:13) yang berarti ‘menjadi orang sufi’.
Uraian di atas adalah tentang pengertian tasawuf secara etimologis. Berikut pengertian tasawuf secara definitif yang dikemukakan oleh para ahli di antaranya yaitu:
Menurut Hamka, tasawuf adalah pembersihan jiwa dari pengaruh benda dan alam, agar lebih mudah untuk mendekat kepada Allah (Hamka,1952: 77). Abul Qasim Qusairy mengatakan bahwa tasawuf adalah penerapan secara konsekuen terhadap ajaran Al Qur’an dan Sunah Nabi berjuang untuk mengendalikan hawa nafsu, menjauhi perbuatan bid’ah, dan tidak meringan-ringankan ibadah (Asjwadie Sjukur,1978: 7). Al-Ghazali mengatakan bahwa tasawuf adalah memakan yang halal, mengikuti akhlak, perbuatan dan perintah rasul yang tercantum di dalam sunahnya. Kata Al-Ghazali selanjutnya bahwa siapa yang tidak hafal (paham, pen.) terhadap isi Al Qur’an dan Hadis Nabi tidaklah perlu diikuti ajarannya, karena ajaran tasawuf adalah berdasarkan Al Qur’an dan Hadis (id. 8). Junaidi Al-Baghdadi mengatakan bahwa tasawuf adalah keluar dari budi pekerti yang tercela dan masuk pada budi pekerti yang terpuji (id.8).
Berdasar definisi-definisi di atas dapatlah disimpulkan bahwa arti taswuf adalah suatu usaha pendekatan diri kepada Allah secara bersungguh-sungguh berdasarkan Al Qur’an dan Hadis. Cara pendekatan yang ditempuh adalah dengan membersihkan diri dari segala dosa dan perbuatan tercela, serta menghiasi perbuatannya itu dengan budi pekerti yang terpuji, kadang-kadang jalan yang ditempuhnya dengan cara hidup sederhana dan menghindarkan diri dari tempat-tempat yang ramai agar dapat dengan mudah berkomunikasi terhadap Allah.
4.1 Macam – macam Aliran Tasawuf
Secara garis besar aliran taawuf dapat dibagi menjadi dua macam:
1) Aliran Wihdatul – Wujūd yaitu suatu aliran tasawuf yang memandang bahwa manusia itu berasal dari Tuhan dan dapat bersatu (mencapai penghayatan kesatuan) dengan Tuhan, aliran ini disebut juga dengan istilah union mistik atau mysticism of infinity (Simuh, 1985:72; Asjwadie Sjukur, 1978:58). Orang-orang sufi yang menganut paham tersebut adalah Yazid Al-Busthami, Al-Hallaj, Ibnu l-‘Arabi, Syeh Siti Jenar, dsb. (bandingkan Barmawie Umarie, 1961: 36-37).
Contoh:
a. “Dan tidak ada yang di dalam jubahku kecuali Allah”
“Telah bercampur roh-Mu, laksana bercam¬purnya khamar dengan air yang jernih, oleh sebab itu Engkau adalah Aku dalam segala hal” (Al-Hallaj dalam Barmawie Umarie, 1961 : 37).
b. “Payah-payah mencari bilah
bilah ada di dalam buluh
payah-payah mencari Allah
Allah ada di dalam tubuh” ( ... dalam id. 43).
2) Aliran Wihdatu sy-Syuhūd yaitu suatu aliran tasawuf yang masih mempertahankan adanya perbedaan yang esen¬sial antara manusia sebagai makhluk dan Tuhan sebagai Khaliq atau pencipta makhluk tersebut, aliran ini bi¬asa disebut juga dengan istilah personal mistik atau mysticism of personality (Simuh, 1985 : 72; Asjwadie Sjukur, 1978 : 58). Orang-orang sufi yang menganut aliran ini adalah Abul Fa’idl Dhunnun Al-Mishri, Ibnu Taimiyyah, Ibrahim Ibn Adham, Rabi’ah Al-‘Adawiyyah, dsb.
Contoh:
a. "Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasih¬ku?
Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat
naik, setelah menghalaukan panas payah terik.
Angin malam mengembus lemah, menyejuk badan, melambung
rasa menayang pikir, membawa angan ke bawah kursi-Mu.
Hatiku terang menerima kata-Mu, bagai bintang memasang lilinnya. Kalbuku terbuka menunggu kasih-Mu, bagai sedap malam menyirak
kelopak.
Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan kata-Mu, penuhi dada¬ku dengan cahaya-Mu, biar bersinar mataku sendu, biar berbinar gelakku rayu!” (“Doa” dalam Nyanyi Sunyi Amir Hamzah – 1935 – Hooykaas, 1951:220)
b. ”Aku melihat bunga mekar, wajah-Mu yang kulihat;
aku melihat gunung, wajah-Mu yang kulihat;
aku melihat om¬bak, Engkau juga yang tampak”
(Abul Fa’idl Dhunnun Al-¬Mishri dalam Barmawie Umarie : 36).
Uraian di atas disebutkan bahwa mistik dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu union mistik dan personal mistik. Kecu¬ali itu mistik dapat dibedakan pula berdasar atas benar tidaknya jika ditinjau secara syariat Islam. Aliran mistik yang masih mengikuti ajaran syariat disebut nomistis, sedangkan yang sudah tidak mempedulikan lagi perihal syariat disebut anomistis (Barmawie Umarie, 1961 : 131).
1. Nomistis, contoh:
Dhandhanggula
Nanging yen sira anggeguru kaki
amiliha manungsa kang nyata
ingkang becik martabate
sarta kang wruh ing kukum.
…………………… (Serat Wulang Reh Sri Paku Buana IV dalam Darusuprapta, 1982 : 65). Artinya: "jika ¬engkau ingin berguru (tentang ilmu kerohanian) pilihlah guru dari orang yang baik budi pekertinya dan yang paham benar tentang hukum agama (syariat)".
Mijil
Ngelmu sarengat puniku dadi
wawadhah kang yektos
kawruh tetelu kawengku kabeh
pan sarengat kanggo lahir batin
mulane den sami
brantaa ing ngelmi (id. 83).
Artinya:
“Ilmu syariat adalah menjadi.wadah ketiga pengetahuan itu secara kokoh (syariat, tarekat, dan ha¬kikat), karena persoalan syariat itu juga diterapkan pada masalah 'lahiriah dan batiniah, maka cintailah il¬mu pengetahuan".
2. Anomistis, contoh:
Meditasi
Tidak. Sebaiknya kau datang saja di sore hari di saat aku bercermin.
Tapi jangan lagi mewujud atau menjelma.
Tuhan, siapakah nama-Mu yang sebenar-Nya? Dari manakah asal-Mu?
Apakah kebangsaan-Mu? Dan apa pula agama-Mu?
Manusia begitu ajaib. Mereka pandai benar membuat ra¬tusan teori tentang Aku dengan susah payah. Tapi sia¬pa Aku yang sebenarnya. Aku sendiri pun tidak pernah tahu siapa sebenarnya Aku, dari mana dan sedang menuju ke mana?
(Abdul Hadi W.M., 1982:50)
Puisi di atas dapat dibandingkan,dengan ayat Al Qur’an :
“Ingatlah/zikirlah kepada Tuhan-Mu dengan hati-mu, dengan merendahkan di¬ri dan rasa takut, dan bukan dengan suara yang jahar/keras" (Q.S. Al-A’raf 205).
4.2 Tataran dalam pelaksanaan ajaran tasawuf
Pelaksanaan ajaran tasawuf dilaksanakan dalam empat tahap, yaitu tahap pelaksanaan syariat, tahap pengamalan tarekat, tahap pencapaian tingkat hakikat, dan tahap memperoleh makrifat.
4.2.1 Syariat
Syariat adalah peraturan yang ditetapkan Tuhan bagi manu¬sia berupa hukum-hukum yang disampaikan oleh rasul-Nya, yang berhubungan dengan keyakinan (iktikad), ibadah, dan muamalah (Hassan Shadily, 1984 : 3405). Selanjutnya dikatakan bahwa ula¬ma-ulama mutaakhirin (ulama yang terkenal sesudah abad ke-3 Hi¬jriah) memberikan istilah syariat sama dengan hukum fikih, yang meliputi bidang ibadah dan muamalah, sedangkan bidang iktikad disusun tersendiri dalam ilmu kalam dan ilmu tauhid. Ibadah meliputi peraturan-peraturan yang mengatur hubungan manusia de¬ngan Tuhan, seperti sembahyang, puasa, zakat, haji, dan seba¬gainya. Muamalah adalah suatu peraturan yang mengatur hubungan manusia satu dengan lainnya serta antara manusia dengan benda lainnya (id. 3405). Secara ringkas dapat dikatakan bahwa syari¬at adalah hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia satu dengan yang lainnya berdasarkan Al Qur’an dan Hadis. Hal-hal yang tidak tercantum di dalam Al Qur’an dan Hadis, penetapan hukumnya didasarkan kepada Ijmak dan Kias. Ijmak adalah kesepakatan ulama yang berpengetahuan luas dan salih, sedangkan kias adalah mengambil analogi terhadap sesuatu masa¬lah dengan masalah lain yang serupa dan sudah ada pedomannya.
4.2.2 Tarekat
Tarekat berarti jalan, cara, atau aliran tertentu (A’1-Yasul’i], 1956: 465). Menurut Gibb dan Kramers tarekat diberi batasan
sebagai berikut : "This Arabic term meaning ‘road’,’way’, ‘path’, has acquired two successive technical meanings in Muslim Mysticism: 1) In the ninth and tenth centuries A.D. it was a method of moral psychology for the practical guidance of individuals who had a mystic call. 2) After the XIth century, it become the whole system of rites for spiritual training laid down for communal life in the various Muslim religious orders which began to founded at this timel”(1953 : 573).
Kecuali itu menurut LIMTI tarekat adalah jalan atau cara pelak¬sanaan teknis untuk mendekat kepada Tuhan dengan pimpinan seo¬rang guru atau mursyid (1985 : 21). Mursyid adalah orang yang memiliki hubungan silsilah dengan guru-guru sebelumnya hingga sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Pengertian silsilah di sini bukan berarti silsilah yang menunjukkan hubungan keturunan te¬tapi menunjuk kepada hubungan penurunan ilmu tarekat dari satu guru kepada guru tarekat yang lain. Orang yang dianggap berhak menjadi guru tarekat biasanya diberi surat ijazah atau khirqah dari guru sebelumnya. Dalam uraian ini pengertian yang dikemu¬kakan LIMTI tampak lebih sesuai dengan arti tarekat yang sebe¬narnya.
4.2.3 Hakikat
Hakikat berasal dari istilah Arab haqiqatun yang berarti ‘kebenaran’, dapat pula dihubungkan dengan kata haq yang juga berarti ‘kebenaran’ (Ing.:truth); Al-Haq berarti ‘Tuhan’: maka hakikat menurut istilah sufi diartikan sebagai suatu kebenaran yang berhubungan dengan masalah ke-Tuhanan.
Menurut Ibnu Arabi hakikat yang maujud itu satu, Yang ber¬ada dalam Jauhar (Arab : nyata) dan Zat-Nya, jika ditinjau dari sudut Zat-Nya dikatakan itulah "Haq", tetapi jika dilihat dari segi nama dan sifatnya terjadilah berbagai kemungkinan, yaitu makhluk dan alam (Abubakar Aceh, 1984 : 67). Itulah sebabnya dalam perkembangan terakhir ini aliran tasawuf ada yang merubah sikap dalam menemukan kebenaran. Sebelumnya hakikat itu keba¬nyakan diperolehnya dengan melaksanakan syariat dan tarekat, tetapi sekarang diperluas cakrawalanya dengan tidak mengesam¬pingkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (LIMTI, 1985 : 3 ), karena pada hakikatnya kebenaran yang berhubungan dengan makhluk dan alam dapat diketemukan lewat hukum-hukum il¬miah. Sehingga dasar-dasar pengetahuan yang bersifat ilmiah tersebut diletaksejajarkan dengan syariat (konsep Wedhatama syariat = sembah raga). Selanjutnya uraian di atas ada relevansinya dengan bidang metafisika spiritualisme, epistemologi, dan filsafat khusus (yang tidak dibahas panjang lebar di sini). Me¬tafisika adalah filsafat tentang hakikat yang ada di balik fi¬sika, tentang hakikat yang bersifat transendens, di luar jangkau¬an pengalaman manusia (Endang Saifuddin Anshari, 1979: 89).
Spiritualisme adalah cabang filsafat metafisika yang berpenda¬pat bahwa hakikat itu bersifat roh (id. 90); Epistemologi ada¬lah filsafat tentang ilmu pengetahuan; dan filsafat khusus se¬bagai salah satu contoh yang dibidanginya adalah filsafat agama.
Jadi hakikat adalah kebenaran mutlak yang bersifat me¬tafisis dan fisis, secara lahiriah dan batiniah.
4.2.4 Makrifat
Makrifat dapat dihubungkan dengan kata Arab ma’rifatun yang berarti ‘pengetahuan’, ‘pengenalan’, Arif artinya ‘orang yang mengetahui’, ‘yang mengenal’ (Marbawy, 1935:17). Makrifat dalam konsep tasawuf diartikan sebagai pengenalan tentang ke¬mahabesaran Tuhan dengan penghayatan batin melalui kesungguh¬an dalam peribadatan, dalam istilah Barat disebut gnosis. Se¬lain itu makrifat diistilahkan pula dengan jnanasandhi atau rahasia pengetahuan atau ngelmu sinengker (bahasa Jawa) (Sri Mulyono, 1983:62).
Makrifat dibagi menjadi dua macam yaitu :
1) Ilmu adna yaitu pengetahuan yang diperoleh dengan ca¬ra belajar atau membaca.
2) Ilmu ladunni yaitu ilmu tentang rahasia ke-Tuhanan yang diperoleh karena karunia Allah semata-mata (Al-¬Ghazali dalam Abubakar Aceh, 1984 : 69 - 70).
Makrifat dapat dicapai oleh seseorang secara bertahap, dan keadaan ilmunya bertingkat-tingkat, tingkat tertinggi dicapai oleh rasul dan nabi, tingkat di bawahnya dicapai oleh wali, dan seterusnya. Secara etis orang yang memiliki ilmu makrifat ini jika terbuka ma¬ta hatinya (kasyaf) dalam mengetahui rahasia kegaiban, rahasia tersebut tidak boleh diceritakan kepada orang lain kecuali dengan isyarat (dikomunikasikan secara simbolik dan tak boleh secara verbal).
5. Ciri-ciri Sastra Sufi
Dalam kitab Wedhatama syariat diartikan sebagai sembah raga, tarekat diartikan sebagai sembah cipta (bait pertama disebutkan sebagai sembah cipta, dan pada bait ke-11 disebutkan sebagai sembah kalbu), hakikat diartikan sebagai sembah jiwa (bait ke-16 disebutkan sebagai sembah katur mring Hyang Suksma) dan makrifat diartikan sebagai sembah rasa (Tanojo, tt:8-9).
Sehubungan dengan uraian di atas dapat digambarkan bagan berikut ini:
Keterangan:
S = syariat
T = tarekat
H = hakikat
M = makrifat
X = bukan tasawuf
Y = tasawuf
Bagan di atas menunjukkan bahwa sesuatu karya sastra yang membicarakan Y karya itu tergolong sastra sufi atau sufistik, tetapi jika membicarakan X maka karya itu termasuk sastra keagamaan.
Penentu sesuatu karya berisi tasawuf ada tiga hal, yaitu:
5.1 . Berisi istilah tasawuf.
5.2 Adanya ekspresi pendekatan terhadap Tuhan dan pengha¬yatan kesatuan dengan Tuhan
5.3. Berisi masalah tasawuf tetapi diekspresikan dengan kata-kata yang ambigu.
Berikut beberapa contoh sehubungan dengan uraian di atas:
5.1 Berisi istilah tasauf
5.1.1 Suluk Suksma Lelana oleh R. Ng. Ranggawarsita
Punapa yen wus kakekat
estu lajeng sarengatnya kawuri
yen saking pamanggih ulun
tan wonten kang tinilar
jer muktamat ing hadis ugi kasebut
kak tanpa sarengat batal
sarak tanpa kak tan dadi
Paran Gusti yen kapisah
temah mangke kakalihira sisip
kang lempeng taksih ing kawruh
sakawanira tunggal
ngelmuning Hyang sarengat myang tarekatu
kakekat miwah makripat
punika kamil apdoli (Simuh, 1985:22).
Terjemahan: Suluk Suksma Lelana
Apakah jika seseorang sudah sampai ke tingkatan hakikat, dia boleh meninggalkan syariat? Menurut pendapatku dan pendapat Hadis tak boleh ada ajaran syariat yang diabaikan, karena kebenaran atau haq tanpa syariat tak jadi dan syariat tanpa haq batal juga.
Perjalalanan menuju Tuhan tak boleh hanya dengan pendekatan secara partial, mereka harus melakukan empat hal itu sebagai satu kesatuan, yaitu : syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat, inilah suatu hal yang sempurna.
5.1.2 Serat Wulang Reh oleh Sri Paku Buana IV
Ginulang sadina-dina,
wiwekane mindeng basa basuki,
ujubriya, kibiripun, sumungah tan kanggonan,
mung sumendhe ing karsanira Hyang Agung,
ujar sirik kang rineksa,
kautaman ulah wadi (Darusuprapta,,1982 : 70).
Terjemahan: Serat Wulang Reh
Dididik berhari-hari, dengan harapan agar mereka menjadi sejahtera, mereka harus berupaya menghidarkan diri dari ujub (kagum pada diri sendiri), riya dan sumungah (pamer kebaikan), ujar sirik (menjaga ucapan dan menjaga keyakinan agar tidak syirik), pandai menjaga rahasia, dan berserah diri kepada Allah.
5.1.3 Wedhatama oleh Mangkunegara IV
Samengko ingsun tutur,
gantiya sembah ingkang kaping catur,
sembah rasa karasa rosing dumadi,
dadine wus tanpa tuduh,
mung kalawan khasing batos.
Kalamun durung lugu,
aja pisan wani ngaku-aku,
antuk siku kang mangkono iku kaki,
kena uga wenang muluk,
kalamun wus padha melok. (R. Tanojo : 10).
Terjemahan: Wedhatama
Aku nanti akan memberi nasihat, tentang jenis pengabdian yang nomor 4, yaitu menyembah Tuhan dari sisi perasaan yang paling dalam, ketika itu dia bisa mengetahui sesuatu ilmu tanpa belajar, karena telah memiliki pengetahuan khusus di dalam batinnya.
Jika belum waktunya seseorang berhak memperoleh ilmu batin, janganlah kamu sekali-kali mengaku telah tahu, wahai cucuku engkau akan kena marah dari Tuhan, ibaratnya kamu boleh menyuap makanan jika telah jelas makanan itu tampak di depan matamu.
Istilah yang terdapat dalam Suluk Suksma Lelana (5.1.1) menunjukkan adanya beberapa istilah tasawuf, yaitu kakekat (hakikat), kak (kebenaran), tarekatu (tarekat), dan makripat (makrifat). Dalam Serat Wulang Reh pada tembang Pangkur (5.1.2) terdapat kata ujubriya, kibiripun, dan sumungah yang kesemuanya bera¬sal dari kata-kata Arab. Ujubriya berasal dari kata ‘ujub dan riya’, ‘ujub’ berarti ‘mengagumi diri sendiri’ dan riya’ berarti ‘memamer¬kan kebaikan’; kibir berarti ‘sombong’; dan sumungah (sum’ah) berarti ‘mem¬ceritakan kebaikan diri kepada orang lain’. Pada kitab Wedhatama terdapat tembang Gambuh (5.1.3) yang memuat kata sembah rasa yang sama artinya dengan makrifat (dibahas pada halaman sebelumnya).
5.2 Adanya ekspresi pendekatan terhadap Tuhan (personal mistik), atau menurut istilah Mangunwijaya (1982) ada un¬sur religiositasnya.
Contoh:
5.2.1 “Antara Mata dan Alis” oleh Sumnun
Telah kuenyahkan hatiku dari dunia ini
Namun dengan-Mu hatiku tak pernah tercerai
Hingga bila untuk sejenak mengatup mataku
Kusua Kau antara alis dan kelopak mata
(Abdul Hadi, 1985 : 74).
5.2 Adanya penghayatan kesatuan dengan Tuhan (union mistik). Contoh:
“Mencari” oleh Sanusi Pane dalam Madah Kelana
Aku mencari
Di kebun India,
Aku pesiar
Di kebun Yunani,
Aku berjalan
di tanah Roma,
Aku mengembara
Di benua Barat
Segala buku
Perpustakaan dunia
sudah kubaca,
segala filsafat
sudah kuperiksa,
Akhirnya ‘ku sampai
ke dalam taman
Hati sendiri.
Di sana bahagia
sudah lama menanti daku (Hooykaas, 1951:228).
5.3 Kata-kata ambigu yang terdapat dalam contoh berikut me¬nunjukkan ciri adanya hubungan antara nasihat untuk para abdi dalem dengan hamba yang mengabdi kepada Allah dalam ajaran tasawuf
5.3.1 Serat Wulang Reh oleh Sri Paku Buwana IV
“Megatruh”
Wong ngawula ing ratu luwih pakewuh, nora kena miug¬grang-minggring, kudu mantep sartanipun, setya tuhu marang gusti, dipun miturut sapakon.
Ing wurine yen ati durung tuwajuh, angur ta aja angab¬di,
becik ngindhunga karuhun, aja age-age ngabdi, yen durung eklas ing batos.
Ingkang lumrah yen kerep seba wong iku, nuli ganjaran denincih,
yen tan oleh nuli mutung, iku sewu-sewu si¬sip, yen wus mangarti ingkang wong.
Tan mangkono etunge kang sampun weruh, mapan ta dha¬tan denpikir,
ganjaran pan wis karuhun, amung naur ¬sihing gusti, winales ing lair batos. (Darusuprapta, 1982 : 74 - 75).
Terjemahan: Megatruh
Orang mengabdi kepada raja harus waspada, tak boleh ragu-ragu, harus memiliki kesetiaan yang total kepada raja (gusti), harus mematuhi semua perintahnya.Pada akhirnya jika hati belum tuwajuh (mantap untuk mengabdi), maka janganlah buru-buru mengabdi, lebih baik sekedar membantu-bantu saja dahulu jika kamu belum ikhlas menjadi hamba di kerajaan.
Pada umumnya, orang menjadi abdi kerajaan itu dengan tujuan mencari upah atau pahala, maka jika dia bekerja tanpa diberi upah maka mereka akan berputus asa. Jika kamu mau memahaminya maka prinsipmu ini tak benar.
Orang yang memahami persoalan itu, akan sadar bahwa upah atau pahala itu pasti diberikan, namun yang lebih penting adalah membalas kebaikan raja (gusti) secara lahir dan batin.
Pada bait pertama kata ratu yang berarti ‘raja’ belum jelas menunjukkan makna ganda antara raja dengan Tuhan, demiki¬an pula kata gusti, kata ini masih menunjukkan padan¬an arti kata ‘raja’, meskipun dalam hal-hal tertentu kata Gusti biasa dipakai untuk sebutan Tuhan seperti Gusti Allah. Tetapi jika diperhatikan. bait selanjutnya, di situ terdapat kata tuwajuh (Arab) yang berarti ‘menghadap Allah’, kata ini dapat dihubungkan dengan kata aslinya yaitu tawajjuh yang di dalam perguruan tarekat aliran ter¬tentu diartikan sebagai ‘menghadap Kepada Allah dengan melakukan zikir’. Dengan demikian dapat diketahui bahwa penulis tembang ini memasukkan makna ganda pada ratu dan gusti se¬hingga berarti ‘raja’ dan Tuhan.
Tembang yang tertulis pada halaman 13 nomor 5.3.1 tersebut berasal dari ba¬it ke-1, 4, 12, dan 13. Berikut ini ditambahkan contoh da¬ri bait ke-10 yang menunjukkan bahwa kata ratu dan gusti dikembalikan kepada makna denotatif dengan me¬nyebutkan jabatan-jabatan orang yang mengabdi raja itu terdiri dari bupati, mantri, prajurit, dan sebagainya.
Kang nyantana bupati mantri panewu, kaliwon paneket miji,
panalawe lan panajung, tanapip ara prajurit,
lan kang nambut karyeng katong. (id. 74).
Yang mengabdi di kerajaan itu di anrtaranya terdiri dari bupati, mantri, panewu, paneket miji, panalawe, panajung, tanapi, para prajurit, dan semua pegawai kerajaan.
5.3.2 Pada halaman 6 nomor 2.a makalah ini terdapat contoh puisi Amir Hamzah yang berjudul Doa dalam puisi ini Tuhan disebutnya dengan kekasih, sebelum diperhatikan judul puisinya, kata kekasih belum begitu jelas me¬nunjuk arti Tuhan, tetapi lebih bermakna dengan “orang yang disayangi”.
6. Sastra Sufi Jawa dan Sastra Mistik Jawa di Era Globalisasi
Era globalisasi yang ditandai dengan makin majunya teknologi dan semakin lancarnya proses komunikasi, akan membawa akibat transformasi budaya menjadi semakin mudah, sehingga hal ini akan mengakibatkan kepada lancarnya karya sastra sufi Jawa dan sastra mistik Jawa untuk diakses oleh masyarakat. Ajaran sufi yang sebelumnya merupakan ajaran yang hanya terbatas untuk diketahui oleh kalangan terbatas akan menjadi suatu ajaran yang mudah diketahui oleh banyak orang. Ajaran tasawuf yang dulunya merupakan ajaran yang eksklusif dan sakral akan menjadi suatu ajaran yang lebih terbuka. Walaupun demikian, masih ada saja hal yang selalu akan dikomunikasikan oleh orang-orang sufi sebagai suatu kumunikasi simbolik dan tidak seluruh ajarannya dapat dikomunikasikan secara verbal.
Pada ajaran tasawuf ada etika dalam penyampaian informasi, menurut keyakinan sufi bahwa orang-orang sufi yang telah sampai ke maqam/tataran akhir (Muntahi) orang yang bersangkutan akan memperoleh pengetahuan yang dinamakan makrifat (gnosis), orang pada tataran ini akan memperoleh berita gaib dari Tuhan sebagaimana berita gaib yang diberikan kepada Nabi Kidzir A.S. (lih. Q.S. Al-Kahfi), berita seperti ini tak boleh diinformasikan secara verbal, tetapi harus disampaikan secara simbolik.
Dalam pewayangan di Jawa ada lakon Kresna Duta, di situ Sri Bathara Kresna yang sehari-hari berperan sebagai pembimbing spiritual Pandawa Lima diutus agar menghadap ke Kahyangan untuk menghadap Dewata, pada saat itu Kresna menawarkan agar Pandawa Lima mengajukan suatu permohonan. Pandawa Lima terlebih dahulu melakukan musyawarah dan mereka sepakat untuk mengajukan permohonan agar kelak dalam Perang Bharata Yudha kemenangan terletak di tangan Pandawa Lima. Kresna mengusulkan agar Pandawa Lima masih mengajukan permohonan yang lain lagi ke Dewata, akan tetapi mereka sepakat bahwa permohonan mereka telah cukup itu saja. Padahal saat itu Kresna amat paham terhadap kelemahan Pandawa Lima, bahwa semestinya Pandawa Lima kecuali memohon agar menang dalam perang Bharata Yudha juga mohon ke Dewata agar para anak-anak mereka selamat dalam peperangan. Namun takdir harus terjadi, bahwa perang Bharata Yudha dimenangkan oleh Pandawa Lima, tetapi putera-putera terbaik Pandawa menjadi korban dalam peperangan, mereka adalah Gatotkaca dan Abimanyu. Di dunia mistis, Kresna diyakini telah mengetahui hal yang akan terjadi, namun Kresna masih terikat pada etika dalam dunia mistis untuk selalu merahasiakan hal yang masih gaib atau belum terjadi. Sehingga komunikasi yang dilakukan oleh Kresna kepada Pandawa saat itu adalah komunikasi secara simbolik. Demikianlah cerita wayang itu berlangsung, yang ternyata kematian Gatotkaca dan Abimanyu itu merupakan buah dari kesalahan mereka masa lampau, Gatotkaca salah karena menganiaya pamannya sendiri yang bernama Kala Bendana, sebelum Kala Bendana mati ia bersumpah suksmanya akan membalasnya di kala terjadi perang Bharata Yudha. Begitu pula Abimanyu yang masa lalunya juga memiliki track record yang kurang baik, yaitu bersumpah palsu di hadapan Siti Sendari. Abimanyu bersumpah jika ia benar-benar telah punya isteri agar ia mati dikeroyok oleh senjata berjumlah seribu (gaman sewu) saat terjadi perang Bharata Yudha, padahal Abimanyu benar-benar telah punya isteri, ia bersumpah di depan Siti Sendari karena ingin mempersuntingnya sebagai isteri.
Dari uraian di atas dapat kita ketahui bahwa ajaran tasawuf itu ada yang dapat dikomunikasikan secara verbal dan ada pula yang secara simbolik. Jika orang sufi tersebut masih taat pada etika kesufian, maka tidak akan semua ajaran yang mereka ketahui dapat dikomunikasikan kepada publik. Hal ini akan mengakibatkan bahwa publikasi Sastra Sufi Jawa dan Sastra Mistik Jawa dapat saja dikomunikasikan, namun ajaran tasawuf tak akan mungkin seluruhnya dapat dipublikasikan kepada masyarakat. Sehingga untuk mengetahui ajaran itu orang harus mengalaminya sendiri dengan mengamalkan ajaran tersebut.
Adapun manfaat Ajaran Sufi adalah:
1) memberikan contoh-contoh dalam pendidikan moral
2) mengajarkan orang agar gemar hidup sederhana, karena hidup yang hakiki adalah hidup di akhirat, sehingga mereka sangat tekun dalam melakukan urusan akhirat
3) mendidik orang lain dan pengikutnya agar tekun melakukan ibadah (dengan berlandaskan bahwa tasawuf yang benar selalu berasas kepada syariat yang benar).
7. Kesimpulan/penutup
Sastra sufi merupakan karya sastra yang berisi masalah ta¬sawuf, yang berasal dari dan tentang orang-orang sufi, sastra sufi lebih bersifat khusus dan sastra mistik lebih bersifat umum yang tidak terbatas berasal dari dan tentang mistikus muslim saja, namun meliputi berbagai agama dan keyakinan yang ada di dunia ini. Sastra sufi dan sastra mistik muncul sebagai manifestasi adanya kesadaran bahwa penghayatan terhadap kehidupan kerohanian perlu dilakukan. De¬ngan munculnya sastra jenis ini membawa para peneliti sastra un¬tuk memperluas cakrawala baru di dalam kajiannya, karena bagi sas¬tra sufi dan sastra mistik sebagai objek studi sastra dan filologi perlu diupayakan suatu pendekatan ilmu tasawuf/mistik sebagai salah satu ilmu bantu dalam pene¬litiannya.
Ditinjau dari segi penghayatannya, tasawuf dibedakan menja¬di union mistik dan personal mistik; dan jika ditinjau secara hu¬kum agama tasawuf dibedakan menjadi nomistik dan anomistik. Sastra sufi/mistik dapat diketahui cirinya dengan melalui 3 hal yaitu: Istilah yang dipergunakan, ekspresi yang muncul dalam sesuatu karya, dan pemakaian makna ganda yang ada kaitannya dengan tasawuf/mistik.
Demikianlah uraian tentang Sastra Sufi Jawa dalam Bingkai Sastra Sufi Nusantara, yang makalah ini merupakan penyempurnaan dari makalah yang penulis susun/presentasikan pada PIBSI (Pekan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia) XXIII di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, 2002 dengan judul Perbedaan Sastra Sufi dan Sastra Mistik, penulis mengharapkan agar pembahasan yang masih perlu disempurnakan lagi ini dapat menambah cakrawala baru untuk mengkaji karya=karya yang berisi tasawuf dan atau mistik.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hadi W.M.,1982, Meditasi, Jakarta: Balai Pustaka.
-----------,1985, Sastra Sufi: Sebuah Antologi, Pustaka Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Abdul Rahman Kaeh, 1991, “Bahasa Jawa Kehadirannya dalam Sastera Indonesia-Malaysia” dalam Ilmu-ilmu Humaniora, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Abrams, l999. A Glossary of Literary Terms. 7th. USA: Heinle & Heinle Thomson Learning.
Abubakar Aceh, 1984, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Sala: Ramadhani.
Al-Marbawy, 1935, Kamus Arab - Arab Melayu, Mesir: Musthafa Al-Bābī Al-Habī- wa Auladih.
Al-Yasū’I, Al-Abū Luis Ma’lūf, 1956, Al-Munjidu fi Lughah wa ‘l-Adāb wa ‘l-‘Ulūm, Beirut.
Asjwadie Sjukur, 1978, Ilmu Tasawuf I, Surabaya: Bina Ilmu.
Bani Sudardi, 2003, Sastra Sufistik: Internalisasi Ajaran-ajaran Sufi dalam Sastra Indonesia. Surakarta: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Barmawie Umarie, 1961, Sistimatik Tasawwuf, Sala: Ramadhani.
Baroroh Baried dkk., 1977, Kamus Istilah Filologi, Laporan Pe¬nelitian, Yogyakarta: Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM.
Braginsky, V.I. 1993. “Universe – Man – Text: The Sufi Concept of Literature (with special reference to Malay Sufism)”. Bijdragen: Tot de Taal-, Land- En Volkenkunde. Journal of the Royal Institute of Linguistics and Anthropology. Leiden: KITLV.
Danarto, 1982, Adam Ma’rifat, Jakarta: Balai Pustaka.
Darusuprapta, Serat Wulang Reh, Surabaya: Citra Jaya.
Endang Saifuddin Anshari, 1979, Ilmu, Filsafat, dan Agama, Surabaya: Bina Ilmu.
Gibb, H.A.R. dan Kramers, J.H., 1953, Shorter Encyclopaedia of Islam, New York: Cornell University Press, Ithaca.
Hamka, 1952, Perkembangan Tasawuf dari Abad ke Abad. Jakarta: Bulan Bintang.
Hassan Shadily dkk., 1984, Ensiklopedi Indonesia, Jld. 6, Jakarta: Pe¬nerbitan Buku Ichtiar Baru – van Hoeve.
Hooykaas, C., 1951, Perintis Sastra, terjemahan: Raihoel Amar, Jakarta: J.B. Wolters – Groningen.
Istadiyantha, 1988. “Pengantar Kajian Sastra Sufi”. Makalah PIBSI X, Sukoharjo-Ska.: IKIP Veteran (Sekarang Univ. Bantara).
………….., 2002. “Perbedaan Sastra Sufi dan Sastra Mistik” dalam Bahasa dan Sastra Indonesia Menuju Peran Transformasi Sosial Budaya Abad XXI, Editor: Sujarwanto dan Jabrohim. Yogyakarta: Universitas Ahmad Dahlan.
LIMTI (Lembaga Ilmiah Metafisika dan Tasauf Islam),1985, Isra’ Mi’raj Rasulullah SAW Ditinjau dari Sudut Ilmu Fisika – Eksakta III, Medan: Universitas Pembangunan Panca Budi.
-----------,1985, Mutiara Al-Qur’an dalam Capita Selecta tentang Agama, Metafisika, Ilmu Eksakta III, Medan: Universitas Pembangunan Panca Budi.
Mangunwijaya, J.B., 1982, Sastra dan Religiositas, Jakarta: Sinar Harapan.
Simuh, 1985, "Gerakan Kaum Sufi”, Prisma nomor 11, Jakarta.
Sri Mulyono, 1983, Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang, Jakarta: Gunung Agung.
Sulastin Sutrisno, 1981, Relevansi Studi Filologi, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam ilmu Filologi pada Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM, Yogyakarta: Liberty.
------------, 1985,” Kuliah Filologi FPS – UGM”, tanggal 21-8-1985, Yogyakarta.
Symposium on the Study of Indonesian Literatures, 1986. “Variation and Transformation Perspective in the Study of Indonesian Literature” tanggal 10-12 September, Leiden.
Tanojo, R., tanpa tahun, Wedhatama, Surakarta.
Teeuw, A.,1982, Khazanah Sastra Indonesia Beberapa Penelitian dan Penyebarluasannya, Jakarta: Balai Pustaka.
------------, 1982a, “Sang Kristus dalam Puisi Indonesia Baru”, dalam Sejumlah Masalah Sastra oleh Satyagraha Hoerip
------------, 1984, Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra , Jakarta: Pustaka Jaya.
INSTITUT ALAM DAN TAMADDUN MELAYU
UNIVERSITI KEBANGSAAN MALAYSIA
SASTRA SUFI JAWA
DALAM BINGKAI SASTRA SUFI NUSANTARA
26 April 2006
Oleh:
Drs. Istadiyantha, M.S.
NIP 131128572
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SOLO, JAWA TENGAH, INDONESIA
2006
CURRICULUM VITAE
1. Identitas Diri
Nama dan gelar : Drs. Istadiyantha, M.S.
NIP : 131 128 572
Tempat / Tanggal Lahir : Boyolali, 15 Oktober 1954
Pangkat / Golongan : Pembina / IVb
Jabatan sekarang : Lektor Kepala / Pembantu Dekan II
Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS
Kursus yang pernah diikuti : 1) Penataran P-4 Pola 120 jam Tingkat Nasional
Bagi Pemuka Agama Tahun 1984, di Jakarta
2) Bahasa Inggris (Post Intermediate), 1983, di UNS
3) Penatar LKMM (Latihan Ketrampilan Manajemen Mahasiswa, 2002, di UNPAD Bandung.
2. Pendidikan
No. Universitas/Institut/Lokasi Gelar Tahun Bidang Studi
1. Univ. Gadjah Mada Yogyakarta B.A. 1975 Sastra Arab
2. Univ. Gadjah Mada Yogyakarta Drs. 1980 Sastra Arab
3. Univ. Gadjah Mada Yogyakarta Magister Sains/M.S. 1989 Bidang Filologi:
Sastra Indonesia/Jawa (Ilmu-ilmu Humaniora)
3. Pengalaman Kerja
No. Univeritas/Institut/Lokasi Jabatan Periode Kerja
1. Fak. Kedokteran Hewan dan Fak. Peternakan UGM Asisten Dosen Pend..
Agama Islam 1977 - 1980
2. Fak. Farmasi UGM Idem 1979 - 1980
3. Fisip UGM Idem 1981
4. Fak. Sastra dan Seni Rupa UNS PNS Dosen Bahasa Arab 1982 – sekarang
5. 1) FISIP UNS
2) FKIP UNS
2) Fak. Sastra dan Seni Rupa UNS MKU Pend. Agam Islam
MKU Pend AgamaIslam
MKU Pend. Agam Islam 1983 – 1984
1990 --1999
1995 -- sekarang
6. Jurusan Seni Rupa FS-UNS Mk. Bahasa Indonesia 1984 – 1985
7. Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra UNS 1) Mk. Filologi
2) Mk. Seminar Filologi
3) Mk. Sastra Mistik
4) Mk. Bhs. Indonesia utk orang Asing 1987 – 1998
1987 – 2003
1987 – 2006
l987 -- 2000
9. Jurusan Sastra Indonesia FS-UNS Sekretaris Jurusan 1990 – 1996
10. Jurusan Sastra Indonesia FS-UNS Ketua Jurusan 1997 – 1999
(Nilai Akreditas A)
11.
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Pembantu Dekan III 1999 – 2003
12 Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret Pembantu Dekan II 2003 -- 2007
Surakarta, 26 April 2006
Drs.Istadiyantha, M.S.
NIP 131128572
JAVA SUFI LITERATURE
IN THE FRAME OF ARCHIPELAGO SUFI LITERATURE
Drs. Istadiyantha, M.S
Faculty of Letters and Fine Arts Sebelas Maret University
Solo, Central Java, Indonesia
ABSTRACT
There is an important phase in the process of literary classification that leads into a diverse kinds of literary genres. In terms of the quality, there are high and low qualities of literature. Whereas in terms of its shape, there are prose, poem and drama. Functionally, however, there are useful and entertaining literature or dulce et utile. Eventually, each literature can be developed into a more specific one.
Sufi and mystical literature occurs because of the rise of people’s consciousness on spiritual life. Java Sufi literature is a literary work which comes from and about Sufi’s people’s life in Java, either written by someone or another person or even his followers. Sufi literature is specific while mystical literature is more general in nature. Referring to the name, mystical activities can be done by many people not only Moslem but also by other religions. In this globalization era, Java Sufi literature will be accessed easily by literature lovers, however Tasawuf doctrine is only able to be understood by certain people. The inclusion of Sufi doctrine into Java Sufi literature is useful as a morality and modesty education medium, and the implementation of religious doctrine profoundly.
Keywords: kinds of literature, Sufi literature, mystical literature
1. Background
Java language belongs to the Austronesia or Melayu Polinesian language family of the west section. Based on the language typology, namely kinds of morpheme, Java language is agglutination language because it uses affix morpheme as its language system. Such a language is called analytical language (Abdul Rahman Kaeh, 1991: 132). To add, the relation between Java languages and some other Java languages in this archipelago relates more to its vocabulary and affix morpheme. Either Malaysian language Indonesian language and Java language as regional language in the archipelago, belong to one family that is analytical language (Slamet Muljana, 1966: 12).
Every language society, every ethnic or group often has its own specification in the literature field. Literary work is a language structure which is based on specific convention. Based on that convention, kinds of literature occur where Sufi literature is a part of the religious literature.
The appearance of many kinds of Sufi literature is able to enrich vocabularies of the literature world. Literature like this appears as manifestation of consciousness that the comprehension of the spiritual life needs to be done. The consciousness about the importance of spiritual life comprehension is realized not only into religion literature but also into Sufi literature and or mystical literature. In Indonesia, religious element has a big role in the traditional literature. The old text research related to religious ideology, doctrine or practice is developed into philology in form of thesis and dissertation (Achadiati Ikram, 1997: 4).
The appearance of religion, Sufi and mystical literature in Java, Indonesia and Melayu language gives effect to the researcher of archipelago literature to add new knowledge in analyzing that works. The literature theory that develops quickly turns out to be limited in application. That is caused by some factors; one of them is the appearance of theory that can’t see the variety of literature object or with another word that the theory appears in certain cultural social situation for certain object. Finally, it needs new way in analyzing certain objects so that there is a relevance between theories with its object.
Considering the reason mentioned above, there should be be an effort to analyze Sufi literature that brings about tasawuf problems.
2. Literature - Philology
Recently, in national or international conferences, literature and philology are not differentiated strickly (Sulastin Sutrisno, 21 Agustus 1985: Symposium, 1986).
The statement above is to support the fact that nowadays philological job description does not only cover editing and transliterating the text. Moreover, there are so many literature approaches to be done in philology research. Phenomenon, literary phenomenon in a more universal and acceptable way likewise, it is done to show that it is not easy to define object and literature in a more general way (Teeuw, 1982: 7; 1987: 1). That literature as a culture symptom shows interesting, in one side literature is universal symptom in every society, but on another side literature is still in then process of formulating.
The difficulties are still also found in the uncertainty of its research object (Teeuw, 1984: 21). It doesn’t mean that our previous researchers do uncertain things, because that difficulties have been solved gradually. One of the important stage is clasifying literature into many kinds of literature. From the quality, there is high and low quality literature work. From the shape, there are poem (genre), prose and drama (Abrams, 1991). Functionally, there is useful and entertaining literature or utile et dulce (Horatius in Teeuw, 1984: 183 – 184). So each literature can be developed again into specific one.
This discussion will be limited on the functional dimension consisting in the content and in all contents include theme or mandate. Here, philology object and literature can be found in the message of a work.
Philology focuses on the text. At first, philology is defined into speaking hobby. Next, the term develops into “loving word” and the next it means “studying literature science” (Wagenvoort in Sulastin Sutrisno, 1981: 1).
Operationally, the philology researchers find many kinds of problem in the text, so the meaning of philology continually develops into a more scientific namely the development of national spirit and its specific investigation of culture based on language and its literature (Baroroh baried dkk: 1977).
3. Sufi Literature – Mystical Literature
It has been mentioned above that a pat of literature object and philology in this discussion is limited in the content of work that is literary work consisting of tasawuf problem. The content observation emerges a kind of Sufi or mystical literature as a sub kind of literature between other literatures. In another development, there are prophetic and sufistic literature (Bani Sudardi, 2001) which is not discussed in this paper.
Next, there is a question “Is Sufi and Mystical literature the same? Sufi term comes from Arabian that means showing to their actors that a person is doing tasawuf activity. While, mystical means “spiritual”, “mysterious” and in the next development, it can be meant the same with tasawuf. The term mystical has not been known for sure yet may, but it can be meant the same with mystic (England); mystiek (Dutch).
Based on the use of its words, Sufi literature demands the writer to establish relevancy beween the writer with his work, while mystical literature is only oriented to the result of the work without no consequences that the writer must be the actor of the mystical activity or “mystic”. In the “preface” of Danarto’s Adam Makrifat, there is an acknowledgment from the writer that a work can be contradicted a hundred percent with the writer’s desire (1982: 9). Except that, Sufi literature is more specific, while mystical literature is more general, because Sufi term shows spiritual activity done by Moslem, while mystical literature have relations with spiritual activity done not only by Moslem but also Christian, Hindu, Buddha, etc.
Here are the examples showing that mystical activity is done by many religions:
3.1. Ballada Penyaliban (Crucifixion Ballad), the works of W.S Rendra:
Yesus berjalan ke Golgota
Disandangnya salib kayu
Bagai domba kapas putih
Tiada mawar-mawar di jalanan
Tiada daun-daun palma
Domba putih menyerap azab dan dera
Merunduk oleh tugas teramat dicinta
…………………………….
Akan diminumnya tuwung kencana
Anggur darah lambungnya sendiri
Dan pada tarikan nafas terakhir bertuba
Bapa, selesailah semua!
Translation of Ballada Penyaliban:
Jesus walks to the Golgota
He carries cross
Like a lamb
There are not roses in the road
There are not palm trees
White lamb absorbs punishment and whipping
Stooped by the loved duty
……………………………………….
He will drink it from the gold water jug
Blood grape from his stomach
And in the last breath poisoned
Father, finish!
The poet is said not only “to meet but also to know Jesus”, according to Teeuw (1982a: 129-130). The same poet explain continually that the fate of every sad person will be given a happy new light, and a hope because they are not alone but they are together, united with the lamb (id. 129).
3.2. The example in Sutasoma books, the work of Empu Tantular is as follow:
Mangka Jinatwa lawan Siwatatwa tunggal,
Bhinneka Tunggal Ika
Tan Hana Dharma Mangrwa (Sri Mulyono, 1983: 84-85)
The meaning:
“Actually the essential entity of Buddha and Siwa is one. Even though it is different, actually it is only one. There is no double truth”
4. Tasawuf Definition
Tasawuf term comes from many words like: Ibnu Shauf, shufah, shafa, sophia, shuffah, shuf (Zaki Mubarak in Abubakar Aceh, 1984: 25-26), shaf, Barmawie Umarie, 1961: 13), shaufanah (Umar Suhrawardi in Asjwadie Sjukur, 1978: 5) and theashofos (Von Hamer in id.5).
The meaning of those words is as follows: Ibnu Shauf is a degree which is given to the virtuous Arabian hide near Ka’bah to make him closer to the God, that person is Ghaus bin Mur (Abubakar Aceh, 1984: 25). The term is taken because there is a relation with the Sufi’s people habit who like hiding to make closer to the God. Shufah is a certificate name for people who does pilgrimage (id. 25). It can be related to the tarekat institution habit, that student after getting a certain level, he gets certificate from his teacher. Shafa means clean, pure (id. 25). This meaning is related to the way faced by Sufi people in their approach to the God by cleaning their heart from all sins. Shopia is a Greek word that means wisdom, wise (id: 25). This is suitable with the saints (ma’rifat) that they get in doing tasawuf theory. Shuffah is a room name near Madinah mosque where Muhammad s.a.w gives religious teaching to their friends. Shuf means sheep fur, the cloth that is made from this material is called shuf cloth and it is worn by Sufi people. Shaf is a row in sholat. Shaufanah is a kind of hairy fruit growing in Arabian Desert (Asjwadie Sjukur, 1978: 5). Theashofis comes from the Greek word, Thea and shofos. Thea means God and shofos means wisdom, so Theashofis means devine wisdom (id: 6). The opinion saying that tasawuf word comes from Greek-Theashofis is argued by fikih and tasawuf ulama, like Ibnu Taimiyah, Imam Ahmad bin Hambal, Abu Sulaiman Addarani, Abu Sofyan Ats-Tsauri and Hasan Bishri. One of them that is Ibnu Taimiyah says that are not reliable from the Arabian grammatical, point of view those words (id: 6). Except that, the opinion saying that tasawuf word is formed from the word wazan: tafa’’ala – yatafa’’alu – tafa’’ulan, the balance word tashawwafa – yatashawwafu – tashawwufan (Barmawie Umarie, 1961: 13) that means be Sufi people.
The explanation above is the definition of tasawuf etymologically. These are the definition of tasawuf definitively said by the experts:
According to Hamka, tasawuf is spiritual purification from thing and nature to get easier in bring closer to the God (Hamka, 1952: 77). Abul Qasim Qusairy said that tasawuf is the application of Al-Qur’an and prophet’s Sunnah consequently to restrain lust, to avoid bid’ah action and not to lighten act of devotion (Asjwadie Sjukur, 1978: 7). Al – Ghazali said that tasawuf is eating halal food, following Rosul’s morality, act and command in His sunnah. Next, he also said that those who don’t know (understand) the content of Al-Qur’an and Prophet Hadis, should not follow the teaching, because tasawuf theory is based on Al-Qur’an and Prophet Hadis (id.8). Junaidi Al-Baghdadi revealed that tasawuf means coming out from bad character and going into the good character (id.8).
Based on the definition above, it can be concluded that tasawuf is an effort to be closer to God based on Al-Qur’an and Hadis seriously. The approach that is used is purification from all sins and bad action and to decorate all action with good character, to live modestly and to avoid crowded places to make communication with God easier.
4.1. Types of Tasawuf Ideology:
Generally, there are two types of tasawuf:
Wihdatul–wujud ideology is a tasawuf ideology believing that human is coming from God and can unite with God. This ideology can be called mystical union or mysticism of infinity (Simuh, 1985: 72; Asjwadie Sjukur, 1978: 58). Sufi people that follow this ideology is Yazid Al-Bushtami, Al-Hallaj, Ibnu I-‘Arabi, Syeh Siti Jenar, etc (compare with Barmawie Umarie, 1961: 36-37).
Examples:
a. “Dan tidak ada yang di dalam jubahku kecuali Allah”;
“Telah bercampur roh-Mu, laksana bercampurnya khamar dengan air yang jernih, oleh sebab itu Engkau adalah Aku dalam segala hal”
The meaning: “And there is nothing in my veil except Allah”
“Your soul has mixed with mine, like wine mixed with clear water, therefore you are me in all cases” (Al-Hallaj in Barmawie Umarie, 1961: 37)
b. “Payah-payah mencari bilah
Bilah ada di dalam buluh
Payah-payah mencari Allah, Allah ada di dalam tubuh”
Meaning:
“It is difficult look for a lath
Lath is in bamboo
It is difficult to look for Allah
Allah is inside the body (…..in id. 43)
2. Wihdatu sy-Syuhud ideology is a tasawuf ideology defending the essential differentiation between human as creatures and the God as the creator. This ideology can be called personal mysticism or mysticism of personality (Simuh, 1985: 72; Asjwadie Sjukur, 1978: 58). Sufi people following this ideology is Abul Fa’idl Dhunnun Al-Mishri, Ibnu Taimiyyah, Ibrahim Ibn Adham, Rabi’ah Al-‘Adawiyyah, etc.
Examples:
"Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasih¬ku?
Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat
naik, setelah menghalaukan panas payah terik.
Angin malam mengembus lemah, menyejuk badan, melambung
rasa menayang pikir, membawa angan ke bawah kursi-Mu.
Hatiku terang menerima kata-Mu, bagai bintang memasang lilinnya. Kalbuku terbuka menunggu kasih-Mu, bagai sedap malam menyirak
kelopak.
Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan kata-Mu, penuhi dada¬ku dengan cahaya-Mu, biar bersinar mataku sendu, biar berbinar gelakku rayu!” (“Doa” dalam Nyanyi Sunyi Amir Hamzah – 1935 – Hooykaas, 1951:220)
The meaning:
“What should I use to compare our meeting, darling?
With twilight blows softly, in an increasing full moon
After driving away suffocating heat
Night wind blows softly, cools the body, and let the feeling high,
Carries opinion, brings notion under your chair
My heart is lighten by your word, like a star setting its candle
My mind is opened waiting for your love, like tuberose scatters calyx
Oh my love, fill my heart with your words
Full my breast with your light,
Let my sad eyes shine,
Let my charms! (“Pray” in Nyanyi Sunyi Amir Hamzah – 1935 – Hooykaas, 1951: 220)
c. “Aku melihat bunga mekar, wajah-Mu yang kulihat
aku melihat gunung wajahmu yang kulihat
aku melihat ombak, Engkau juga yang tampak” (Abu ‘l-faodh Dhunnun Al-Misri in Barmawie Umarie: 36)
The meaning:
“When I see a flower blossoms, your face I see;
When I see the mountain, your face that I see;
When I see waves, you that I see too
(Abul Fa’idl Dhunnun Al-Mishri in Barmawie Umarie: 36)
The explanation above shows that there are two types of mystical issues is namely union and personal mysticism. Likewise, mysticism can be divided into categories based on true or false of Islam syariat. Mystical ideology following syariat ideology is nomistic, while the other is anomistic (Barmawie Umarie, 1961: 131).
1. The examples of Nomistic:
Dhandhanggula
Nanging yen sira anggeguru kaki
Amiliha manungsa kang nyata
Ingkang becik martabate
Sarta kang wruh ing kukum.
(Serat Wulang Reh Sri Paku Buana IV in Darusuprapta, 1982: 65). The above verse means: “If you want to learn (about spiritual saint) choose the teacher from those who have good characters and understand religion law (syariat)”.
Mijil
Ngelmu sarengat puniku dadi
Wawadhah kang yektos
Kawruh tetelu kawengku kabeh
Pan sarengat kanggo lahir batin
Mulane den sami
Brantaa ing ngelmi (id. 83).
The meaning:
“Syariat knowledge is the real place of the three sciences strongly (syariat, tarekat and hakikat), Those three should be pursued as they count for our physic and emotion. Anyone should therefore love knowledge”.
2. The examples of Anomistic:
Meditation
No. It would be better if you come this evening when I look at myself in the mirror.
But do not materialize or transform
God, what’s Your real name? Where are You from?
What is Your nationality? And what is Your religion?
Human is so miraculous. They are very clever in making hundred of theories about Me desperately. But who am I really? I do not know who I really am my self, from where and where will I go?
(Abdul Hadi W.M, 1982: 50)
The poem above can be compared with the Al-Qur’an verses:
“Remember and always zikir (repeatedly chant part of the confession of faith, often in unison, as a form of worship).to the God with your hearth, humbly and be afraid on Him in a low voice (AL-A’raf: 205).
4.2. The Execution Phases of Tasawuf Doctrine:
There are four stages of tasawuf ideology realization, namely the stage of syariat realization, the stage of tarekat application, the stage of hakikat staging reaching and the stage of getting makrifat.
4.2.1. Syariat
Syariat is the rules given by God for human being in the form of laws conveyed by His Rasul related to the conviction (iktikat), ibadah (act of devotion) and muamalah (Hassan Shadily, 1984: 3405). In addition, mutaakhirin ulama (Muslim religious teacher or leader) (famous ulama after 3rd hijriah century) coinaged syariat term being the same as fikih law consisting of ibadah and muamalah, while iktikad is constructed seperately in kalam and tauhid sciences. Ibadah includes the rules managing human relation with the God like sembahyang (praying service), fast, tithe, pilgrimage, etc. Muamalah is the rules managing human relation with others and between human with the other things (id. 3405). Briefly, it can be said that syariat is a law ordering human relation with the God and human relation with the others based on Al-Qur’an and hadis. Whenever, the things do not include in Al-Qur’an and hadis, its law decision based on Ijmak and Kias. Ijmak is ulama’s agreement which is widely acknowledged and virtuous, while Kias is taking analogy in one problem with another problem inwhich a guideline has previously been set up.
4.2.2 Tarekat
Tarekat means road, way or certain ideology (A’ 1 – Yasul’i], 1956: 465). According to Gibb and Kramers, tarekat is defined as follow:
This Arabic term meaning ‘road’, ‘way’, ‘path’, has acquired two successive technical meanings in Muslim Mysticism: 1) In the ninth and tenth centuries A.D. It was a method of moral psychology for the practical guidance of individuals who had a mystic call. 2) After the XIth century, it become the whole system of rites for spiritual training laid down for communal life in the various Muslim religious orders which began to founded at this time (1953 : 573).
Besides, according to LIMTI, tarekat refers to the technical implementation way to approach God led by a teacher or mursyid (1985 : 21). Mursyid is a person who has genealogy relationship with the previous teachers up to Prophet Muhammad. The definition of genealogy relationship in this context does not mean a relationship pointing to an offspring relationship but a relationship in generating knowledge of tarekat from one teacher to another. A person considered having the right to be a tarekat teacher is usually given a license or khirqah from the previous teacher. The definition of tarekat stated by LIMTI in the explanation above seems to be more appropriate with the real meaning of tarekat.
4.2.3 Hakikat
The term Hakikat comes from Arabic haqiqatun that means ‘truth’. It can be associated with the word haq that also has the same meaning; Al-Haq means God. Thus, according to sufi, hakikat means a truth related to the Deity.
According to Ibnu Arabi, the formal hakikat it is to be means one, that is in Jauhar (Eng: real) and God, if it is seen from God’s point of view it means “Haq”, but when it is seen from its characteristic and name it can be defined as creature and nature (Abubakar Aceh, 1984: 67). Therefore in its last progress, there is a change of mind in finding truth in tasawuf ideology. At first, hakikat is mostly achieved by implementing syariat and tarekat but currently the point of view is expanded by taking into account the development of knowledge and technology (LIMTI, 1985: 3), because basically the truth related to creature and nature can be found through scientific rules. So, the scientific base of knowledge is put equally with syariat (Wedhatama syariat concept = sembah raga). Moreover, the explanation above is relevant to the spiritual metaphysics, epistemology and special philosophy (that will not be explained further). Metaphysics is a philosophy of hakikat that backgrounds the physics. It concernes with transcendentally hakikat, something beyond human’s experience (Endang Saifuddin Anshari, 1979: 89).
Spiritualism is a branch of metaphysics philosophy that defines hakikat being something of spiritual nature (id. 90); Whereas, epistemology is a philosophy of knowledge; one example would be the religion philosophy. Thus, hakikat is metaphysically and physically an absolute truth, materially and spiritually.
4.2.4 Makrifat
Makrifat can be related to Arabic ma’rifatun that means ‘knowledge’, ‘identification’, Arif refers to ‘a person who knows’, ‘who identifies’ (Marbawy, 1953 : 17). Makrifat in tasawuf concept refers to
the identification on the greatness of God by spiritual acknowledgement through sincerity in observance of religious duties or gnosis in the western term. Besides, makrifat is also mentioned as jnanasandhi or
the secret knowledge or ngelmu sinengker (Sri Mulyono, 1983:62)
Makrifat is divided into two:
1) Ilmu adna, refers to the knowledge obtained through studying and reading.
2) Ilmu ladunni, refers to a knowledge about the secret of God which is obtained merely as a gift from God (Al-Ghazali in Abubakar Aceh, 1984:69-70).
Someone can achieve makrifat in stages the knowledge is however obtained also in stages too. The highest level is achieved by the Prophet; the lower level is achieved by religious leaders, and so on. Ethically, someone who achieves this knowledge and his inner feeling is opened (kasyaf) in identifying the secret of mystery, he can not tell anyone about that secret except by giving signals.
4. Characteristics of Sufi Literature
In the book of Wedhatama, syariat refers to sembah raga, tarekat refers to sembah cipta (in the first verse is mentioned as sembah cipta, and in eleventh verse is mentioned as sembah kalbu), hakikat refers to sembah jiwa (in the 16th verse is mentioned as sembah katur mring Hyang Suksma) and makrifat refers to sembah rasa (Tanojo, tt: 8-9).
In relation to the previous explanation, it can therefore be described in the diagram as follows:
Note:
S = syariat
T = tarekat
H = hakikat
M = makrifat
X = not included in tasawuf
Y = tasawuf
The diagram above shows that a literarary work which discusses about Y is identified as Sufi literature. However, if it discusses about X it belong to religious literature. There are three things that determine a literary work containing tasawuf:
5.1 It contains tasawuf terms
5.2 There is an expression of approaching God and a unity with God.
5.3 It contains problems of tasawuf but expressed in ambiguous words.
The followings are some examples related to the explanation above:
5.1.1 Suluk Suksma Lelana by R. Ng. Ranggawarsita
Punapa yen wus kakekat
Estu lajeng sarengatnya kawuri
Yen saking pamanggih ulun
Tan wonten kang tinilar
Jer muktamat in hadis ugi kasebut
Kak tanpa sarengat batal
Sarak tanpa kak tan dadi
Paran Gusti yen kapisah
Temah mangke kakalihira sisip
Kang lempeng taksih in kawruh
Sakawanira tunggal
Ngelmuning Hyang sarengat myang tarekatu
Kakekat miwah nakripat
Punika kamil apdoli
(Simuh, 1985:22)
Translation of Suluk Suksma Lelana:
Does someone allow leaving syariat when they had reached hakikat level? According to me and the Hadis there’s nothing to be ignored, because truth or haq without syariat can not be acceptable and vice versa. The journey to be closer to God can not be done only with partial approach, they have to practice four things as one unity such as: syariat, tarekat, hakikat, and makrifat. These are the perfect things.
5.1.2 Serat Wulang Reh by Sri Paku Buana IV
Ginulang sadina-dina,
Wiwekane mindeng basa basuki,
Ujubriya, kibiripun, sumungah tan kanggonan,
Mung sumendhe ing karsanira Hyang Agung,
Ujar sirik kang rineksa,
Kautaman ulah wadi
(Darusuprapta, 1982:70)
Translation of Serat Wulang Reh:
“Being educated through days, hoping that they will be prosperous, they have to make serious efforts to avoid ‘ujub’ (adoring himself/herself), ‘riya’ (being arrogant) and ‘sumungah’ (showing off kindness), ‘ujar sirik’ (keeping words and faith not to be syirik), being a good secret keeper, and surrender themselves to serve God”.
5.1.3 Wedhatama by Mangkunegara IV
Samengko ingsun tutur,
Gantiya sembah ingkang kaping catur,
Sembah rasa karasa rosing dumadi,
Dadine wus tanpa tuduh,
Mung kalawan khasing batos
Kalamun during lugu,
Aja pisan wani ngaku-aku,
Antuk siku kang mangkono iku kaki,
Kena uga wenang muluk,
Kalamun wus padha melok.
(R. Tanojo : 10)
The meaning of Wedhatama:
“Later on, I will give an advice about the type of obedience number 4 that is to praise God fro the deepest side of your heart in which you are able to know something without learning because they have special metaphysical knowledge. If it is not the right time for someone to get the metaphysical knowledge, don’t you ever confess that you have known it already. O my grandchild, you will get the anger from God, the analogy would be: you may eat your food if the food is served in front of your eyes.”
In Suluk Suksma Lelana, there are some tasawuf terms available such as kakekat (hakikat), kak (truth), tarekatu (tarekat) and makripat (makrifat). In Serat Wulang Reh on Pangkur (5.1.2) there are some Arabic words such as ujubriya, kibiripun and sumungah. Ujubriya comes from ‘ujub’ and ‘riya’; ujub means ‘adoring himself / herself’ while ‘riya’ means ‘showing off his / her kindnesses’. ‘kibir’ means ‘arrogant’ and sumungah (sum’ah) means ‘telling everyone about her / his kindnesses’. In the book of Wedhatama, there is a recited Javanese poetry ‘Gambuh’ contains the word sembah rasa that has similar meaning with makrifat (had been discussed in the previous page).
5.2.1 There is a God approach expression (personal mystic), or according to Mangunwijaya (1982) there is a religious substance. For instance:
“Antara Mata dan Alis” by Sumnun
(Between Eye and Eyebrow)
Telah kuenyahkan hatiku dari dunia ini (I’ve chased away my heart from this world)
Namun dengan-Mu hatiku tak pernah tercerai (but with You my heart will never be apart)
Hingga bila untuk sejenak mengatup mataku (until if I close my eyes for a while)
Kusua Kau antara alis dan kelopak mata (I see You between eyebrows and eyelids)
(Abdul Hadi, 1985 : 74)
5.2.2 There is a unity with God (union mystic). For example:
“Mencari” by Sanusi Pane in Madah Kelana
(Searching)
Aku mencari (I’m looking for)
Di kebun India, (in the India garden)
Aku pesiar (I take a trip)
Di kebun Yunani, (in the Greece garden)
Aku berjalan (I’m walking)
Di tanah Roma, (in Rome)
Aku mengembara (I ama wonderer)
Di benua Barat (in the western continent)
Segala buku (all books)
Perpustakaan dunia (in the world’s library)
Sudah kubaca, (I’ve read)
Segala filsafat (all philosophies)
Sudah kuperiksa, (I’ve examined)
Akhirnya ‘ku sampai (then I arrived)
Ke dalam taman (in a garden)
Hati sendiri (of my own heart)
Disana bahagia (feeling happy there)
Sudah lama menanti daku (have been waiting for me for a long time)
(Hooykaas, 1951: 228)
5.3 The ambiguous words in the following example shows a characteristic revealing that there is a relationship between advices for abdi dalem (high-ranking court servant in Central Java) with human that serves Allah in tasawuf doctrine.
5.3.1 Serat Wulang Reh by Sri Paku Buwana IV
“Megatruh”
Wong ngawula ing ratu luwih pakewuh,
nora kena miugrang-minggring,
kudu mantep sartanipun,
setya tuhu marang gusti,
dipunmiturut sapakon.
Ing Aurine yen ati during tuwajuh,
angur ta aja angabdi,
Becik ngindhunga karuhun,
aja age-age ngabdi,
yen during eklas in batos.
Ingkang lumrah yen kerep seba wong iku,
nuli ganjaran denincih,
Yen tan oleh nuli mutung,
iku sewu-sewu sisip,
yen wus mangarti ingkang wong.
Tan mangkono etunge kang sampun weruh,
mapan ta dhatan denpikir,
Ganjaran pan wis karuhun,
among naur sihing gusti,
winales ing lair batos.
(Darusuprapta, 1982 : 74-75)
The meaning:
“People serving the king must be aware, they should not be hesitated, they must have the total loyalty to the king (God), they must obey all of the commands. In the end, if the heart is not yet ‘tuwajuh’ (steedy to serve) then you should not have to, it is better just to give a hand at first if you are not ready with your heart and soul to serve as a servant in the kingdom. Normally, a person becomes a royal servant for a certain purpose that is looking for money or reward for moral conduct, then if they work without being paid than they will be desperate. If you know it, then your principle is wrong. People who understand that problem eventually will realize that money or reward for moral conduct must be given, however the most important thing is to be gratitude to the kindness of the king spiritually and materially”.
The word ‘ratu’ means ‘king’ in the first verse has not been clear to show the ambiguity between king and God. Likewise, the word gusti also shows the similar meaning to ‘king’ while in certain things it is usually used to mention God such as Gusti Allah. However, in the next verse there is an Arabic word tuwajuh which means ‘facing Allah’. This word can be related to the authentic word ‘tawajjuh’ which is in the particular ideology of tarekat institution it refers to ‘facing Allah by doing zikir (repeatedly chant part of the confession of faith, often in unison, as a form of worship)’. It, therefore, is obvious that the poet has employed ‘ambigous’ words of “Ratu” and “Gusti” to mean king and God.
In 5.3.1, the poetry comes from 1st, 4th, 12th and 13th verse. The following is the 10th verse that shows that the word ‘ratu’ and ‘gusti’ are reffered to their denotative meanings by citing the duties of persons who serve the king such as regent, a technician, and soldier etc.
Kang nyantana bupati mantra panewu,
kaliwon paneket miji,
Panalawe lan panajung,
Tanapi para prajurit,
Lan kang nambut karyeng katong.
(id. 74)
The meaning:
“People who are serving the kingdom are bupati, mantra, panewu, paneket miji, panalawe, panajung, the soldier and all the royal officials”.
There is an example of Amir Hamzah’s poetry entitled Doa in 5.3.2 number 2.a. of this paper. In the poetry, God is addressed as lover. Before noticing the title, the word lover is not clear yet pointing the meaning of God but it is meant more as ‘a person who is loved’.
6. Java Sufi Literature and Java Mystic Literature in the Globalization Era
Globalization era which is signed by fast development of technology and communication causes culture transformation so that the Java Sufi Literature and Java Mystical Literature are easy to be accessed by the society. Sufi dogma that at first is the only known by certain people will be a well known doctrine in the society.
The tasawuf doctrine that is an exclusive and sacred teaching in the past will be an open doctrine. Nevertheless, there is something that will always be communicated as a symbolic communication by the sufi people and consequently not all of the doctrine can be communicated verbally.
In the tasawuf doctrine there is an ethic in giving information. According to Sufi’s belief that Sufi people who had arrived in maqam/ last level (muntahi), they will receive a knowledge named makrifat (gnosis). They will receive a vanish message from God similar to the message given to Prophet Kidzir (see Q.S. Al-Kahfi). Such message is not allowed to be informed verbally but symbolically.
In the Javanese leather puppet show, there is a story of Kresna Duta. In the story, a figure of Sri Bathara Kresna that has daily role as a spiritual supervisor of Pandawa Lima is delegated to go to Kahyangan (abode of Hindu Gods) to meet the Dewata (God). At that time Kresna offers Pandawa Lima to make a wish. Then, Pandawa Lima have a discussion, they eventually decided and agreed that the wish would be to win the Bharata Yudha War. Kresna suggests to make another wish but Pandawa Lima feel that it is enough.
However, Kresna was very aware of Pandawa Lima’s weakness that instead of winning the war, they should wish for their children’s safety. However, destiny must happen: Pandawa Lima win the war but they loose their best sons, Gatotkaca and Abimanyu. In the mystical world, Kresna is believed to have known what will happen but he is tied to the mystical World’s ethic to always keep in secret the mysterious things that have not happened yet.
So, the communication between Kresna and Pandawa at that time is a symbolic communication. Thus, the story happened that apparently the death of Gatotkaca and Abimanyu is the result of their mistake in the past. Gatotkaca’s mistake is that he tortured his uncle named Kala Bendana. Before dying, Kala Bendana swore that his soul would revenge in Baratha Yudha War. Likewise, Abimanyu had a bad track record in the past. He did a false oath to Siti Sendari. He swore that if he really already had had a wife, then he would die overwhelmed by a thousand weapons (gaman sewu) in Baratha Yudha War. In fact, Abimanyu had already got a wife. He swore to Siti Sendari because he wanted to marry her.
From the explanation above, we can see that tasawuf doctrine can be communicated verbally and symbolically. If sufi people still obey the ethics of sufi, not all of the knowledge obtained will be communicated to the public. It will create an understanding that the publication of Java Sufi Literature and Java Mystical Literature can be communicated but not all of tasawuf doctrine can be communicated to the society openly. Hence, to know about the doctrine, someone must experience and apply the doctrine. However, the benefits of Sufi doctrine are:
a. Providing examples on moral teaching
b. Teaching people to live modestly because the true life is in the next life, so they will be very diligence in doing business for the hereafter.
c. Training others and their followers to do religious service (based on the understanding that the true tasawuf is always regularly based on the true syariat)
7. Conclusion
Sufi Literature is a literary work that contains problems of tasawuf from and about Sufi people. Sufi Literature is more specific and Mystical Literature is common not only to Moslems but also covers various religions and beliefs in this world. Sufi Literature and Mystical Literature occur as a manifestation of awareness that a deep understanding on religious life should be accomplished.
By the appearance of such literatures, the literature researchers will expand their knowledge in their study to include Sufi and mystical literature as the object of literature and philology study is needed to strive for an approach for the tasawuf on mystical knowledge as one of the supporting knowledge in their researches.
In terms of comprehension, tasawuf is divided into union mystical and personal mystical. While, from religious rules point of view it is divided into nomystic and anomystic. We can know the characteristics of Sufi /Mystical Literature from three things as follows: the used terms, the expressions appear in a work and the use of ambiguity related to the tasawuf or mystical theme and topicality.
Thus, it completes the explanation of the differences between Sufi Literature and Mystical Literature. This paper is completing the previous paper that is written and presented in PIBSI (Pekan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia) XXIII in Ahmad Dahlan University, Yogyakarta, 2002. The writer expects that this discussion can enrich our knowledge to study tasawuf and or mystical work more intensively and professionally.
BIBLIOGRAPHY
Abdul Hadi W.M, 1982, Meditasi, Jakarta: Balai Pustaka.
---------------, 1985, Sastra Sufi Sebuah Antologi, Pustaka Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Abdul Rahman Kaeh, 1991, “Bahasa Jawa Kehadirannya dalam Sastra Indonesia-Malaysia” dalam Ilmu-ilmu Humaniora, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Malaysia” dalam Ilmu-ilmu Humaniora, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Abrams, l999. A Glossary of Literary Terms. 7th. USA: Heinle & Heinle Thomson Learning.
Abrams, l999. A Glossary of Literary Terms. 7th. USA: Heinle & Heinle Thomson Learning.
Abybakar Aceh, 1984, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Sala: Ramadhani.
Al-Marbawy, 1935, Kamus Arab-Arab Melayu, Mesir: Musthafa Al-Babi Al-Habi-wa auladih.
Al-Yasu’I, Al-Abu Luis Ma’luf, 1956, Al-Munjidu fi Lughah wa “I-Adab wa “i- ‘Ulum, Beirut.
Asjwadie Sjukur, 1978, Ilmu Tasawuf I, Surabaya: Bina Ilmu.
Bani Sudardi, 2001, Tonggak-tonggak Sastra Sufistik di Indonesia. Surakarta: UNS Press.
Barmawie Umarie, 1961, Sistimatik Tasawwuf, Sala: Ramadhani.
Baroroh Baried, dkk, 1977, Kamus Istilah Filologi, Laporan Penelitian, Yogyakarta: Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM.
Braginsky, V.I, 1993, “Universe – Man – Text: The Sufi Concept of Literature (with special reference to Malay Sufism}”, Bijdragen: Tot de Taal-, land- En Volkenkunde. Journal of the Royal Institute of Linguistics and Anthropology. Leiden: KITLV.
Danarto, 1982, Adam Ma’rifat, Jakarta: Balai Pustaka.
Darusuprapta, Serat Wulang Reh, Surabaya: Citra Jaya.
Endang Saifuddin Anshari, 1979, Ilmu, Filsafat dan Agama, Surabaya: Bina Ilmu.
Gibb, H.A.R dan Kramers, J.H, 1953, Shorter Encyclopedia of Islam, New York: Cornell University Press, Ithaca.
Hamka, 1952, Perkembangan Tasawuf Dari Abad ke abad, Jakarta: Bulan Bintang.
Hassan Shadily dkk, 1984, Ensiklopedi Indonesia, Jld.6, Jakarta: J.B. Wolters – Gironingen.
Istadiyantha, 1988, :”Pengantar Kajian Sastar Sufi”. Makalah PIBSI X, Sukoharjo-Ska: IKIP Veteran (Sekarang Univ. Bantara).
……….., 2002. “Perbedaan Sastra Sufi dan Sastra Mistik” dalam Bahasa dan Sastra Indonesia menuju Peran Transformasi Sosial Budaya Abad XXI. Editor: Sujarwanto dan Jabrohim, Yogyakarta: Universitas Ahmad dahlan.
LIMTI (Lembaga Ilmiah MEtafisika dan Tasauf Islam), 1985, Isra’ Mi’raj Rasulullah
SAW Ditinjau dari Sudut Ilmu Fisika – Eksakta III, Medan: Universitas Pembangunan Panca Budi.
-----------,1985, Mutiara Al-Qur’an dalam Capita Selecta tentang Agama, Metafisika, Ilmu Eksakta III, Medan: Universitas Pembangunan Panca Budi.
Mangunwijaya, J.B., 1982, Sastra dan Religiositas, Jakarta: Sinar Harapan.
Simuh, 1985, "Gerakan Kaum Sufi”, Prisma nomor 11, Jakarta.
Sri Mulyono, 1983, Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang, Jakarta: Gunung Agung.
Sulastin Sutrisno, 1981, Relevansi Studi Filologi, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam ilmu Filologi pada Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM, Yogyakarta: Liberty.
------------, 1985,” Kuliah Filologi FPS – UGM”, tanggal 21-8-1985, Yogyakarta.
Symposium on the Study of Indonesian Literatures, 1986. “Variation and Transformation Perspective in the Study of Indonesian Literature” tanggal 10-12 September, Leiden.
Tanojo, R., tanpa tahun, Wedhatama, Surakarta.
Teeuw, A.,1982, Khazanah Sastra Indonesia Beberapa Penelitian dan Penyebarluasannya, Jakarta: Balai Pustaka.
------------, 1982a, “Sang Kristus dalam Puisi Indonesia Baru”, dalam Sejumlah Masalah Sastra oleh Satyagraha Hoerip
------------, 1984, Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra , Jakarta: Pustaka Jaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar