Selasa, 16 Maret 2010

IMAM AL-GHAZALY

Muhammad Al-Ghazalî dilahirkan hari Sabtu, 22 Septemebr 1917 M /5 Dzulhijjah 1335 H, desa Nakla al-Inab, kawasan Itâi al-Bârid, provinsi al-Buhairah, Mesir. Beliau anak pertama dari tujuh bersaudara, tumbuh dalam keluarga yang sederhana. Al-Ghazâlî merupakan nama yang diambil ayahnya dari Imam Abû Hâmid al-Ghazâli (Hujjatul Islam), dengan harapan semoga anaknya kelak seperti Imam Ghazâlî.

Ayahnya seorang pedagang, taat beragama, pengikut tarekat sufiyah dan hâfiz al-Qur’an. Sebagaimana yang dikatakan Ibnu Khaldûn dalam bukunya Mukaddimahnya, “al-Rajulu Ibnu Bi’atihi”, seorang adalah anak zaman dari lingkungannya. Hal ini juga terjadi pada diri Muhammad Ghazâlî. Dikarenakan ayahnya seorang hafiz, maka beliau pun didik sejak kecil untuk menghapal al-Qur’an dan ketika belum genap berumur sepuluh tahun (baca: masih duduk dibangku sekolah dasar) beliau sudah hapal al-Qur’an secara keseluruhan.

Pendidikan Muhammad Ghazâli pertama kalinya diawali dengan belajar di Kuttâb (Sekolah Dasar) yang ada didesanya selama 6 tahun, setelah itu beliau melanjutkan pendidikan menengahnya di Ma’had Ad-dîny – cabang Azhar- Iskandariyah dan menyelesaikan pendidikannya itu pada tahun 1932 M. Kemudian beliau melanjutkan pendidikan Tsanawiyah (setara dengan SMU) di ma’had yang sama dan selesai tahun 1937 M/1357 H. Mulai saat inilah bakat dan perhatiannya terhadap dunia dakwah mulai muncul, terlebih setelah beliau mengikuti pengajian Hassan al-Banna yang dilakukan selesai shalat maghrib. Kemudian beliau meneruskan jenjang pendidikannya di Universitas Al-Azhar Kairo dan meneruskan starata S1 pada tahun 1941 M/1361 H di Fakultas Ushûluddîn dan menyelasaikan (tamhîdy) masternya di jurusan Ad-dakwah Wa al-Irsyâd tahun 1943 M/1363 H. Beliau menikah ketika masih menjadi mahasiswa starata S1 dan memiliki sembilan orang anak. Namun, yang dapat hidup bersamanya tujuh orang, dua orang laki-laki dan lima orang putri.

Muhammad Ghazâlî sibuk mengajar dan berkhutbah sejak masih menjadi mahasiswa. Dan ketika selesai menempuh jenjang Stara S1 beliau diangkat menjadi imam dan khâtib di masjid ( al-‘Atabah al-Khadhro’ ) di pusat kota Kairo. Dikarenakan beliu sudah terlatih dalam berdakwah dan orasi sehingga Departemen Kementerian Wakaf memposisikannya sebagai pengawas dan direktur kemasjidan ( 2 Juli 1971 ), dan menjadikannya staf kementerian wakaf dalam hal yang berkaitan dengan dakwah islamiyah ( 8 Maret 1981 ).

Ayah dari dua orang putra dan lima orang putri ini tidak hanya berdakwah dan mengajar di Mesir sekitarnya saja, namun pernah juga menjadi dosen di beberapa universitas Saudi dari tahun 1974-1981 M, dan pernah juga ke Qatar dan menjadi dosen di beberapa universitas pada 1982- 1985 M. Dan pada tahun 1985-1988 beliau diminta menjadi dosen di Universitas Amîr Abdul Qâdir.

Disamping itu, alumnus Universitas Al-Azhar ini pun juga termasuk anggota Mujamma’ al-Buhûts al-Islâmiyah di Mesir, Mujamma’ al- ‘Alimi lilfikri al- Islami di Ordon dan berbagai tempat lainnya.

Muhammad Ghazâli sangat terkesan dengan kepribadian beberapa tokoh. Diantaranya, Hasan al-Banna, pendiri al-Ikhwan al-Muslimun. Disamping beberapa tokoh lainnya, seperti Syeikh Mahmud Syaltût, Syeikh Muhammad Abndullah Daraz, Syeikh Abdul ‘Azim al-Zurqoni, pengarang buku “manâhil al-Urfân Fî Ulum Al-Qur’an”, dan Syaikh Muhammad Abu Zahroh.

Pemuda dari Nakl ‘Inab ini penah dipenjara ketika terjadinya kekejaman dan makar pada kelompok Ikhwanul Muslimun. Beliau dipenjara tahun 1949 di sel al-Thour dalam penjara “Thurroh”, selama diintrogasi beliau selalu bersama Imam Syahîd Hasan al-Banna.

Hari jumat sore, tepatnya tanggal 9 Maret 1996/17 Syawwâl 1416 H “karunia Allâh” ini dipanggil kepangkuan-Nya. Ketika itu beliau sedang barada di Auditorium Raja Fath dalam acara seminar pendidikan dan kebudayaan. Ada suatu hal yang mengagunkan, beliau masih sempat menuliskan beberapa catatan untuk membela dan mempertahankan agama Islam. Dan dikuburkan di pemakaman depan kiri masjid Nabawi, pemakaman Baqi’, Madînah al-Munawwarah.

Muhammad Ghazâli seorang Dai

Ketertarikan Muhammad Ghazâli terhadap Imam Syahîd Hasan al-Banna membuatnya ingin mengikuti jejak perjalanan lelaki kharismatik tersebut. Tidak hanya sampai disitu, pemuda dari provinsi Buhairoh ini pun mempelajari metode dakwah yang pemimpin pergerakannya. Maka Tidak heran jika seluruh umurnya digunakan untuk berdakwah. Pelbagai tantangan terus dihadapinya, dari mengingkannya untuk ikut bergabung – tidak hanya sekali- dengan partai yang berkuasa pada saat itu sampai hal yang menjerumuskannya keadalam penjara (1949 M).

Instrument Dakwah Muhammad Ghazâli

Sebagai dai yang berbakat, pemuda kelahiran 22 september ini tentu memiliki beberapa instrument dalam menyampaikan dakwahnya. Diantaranya:

a.Orasi (khutbah)
Alumnus Azhar jurusan Dakwah Wa al-Irsyad ini mulai menekuni bakat dakwahnya sejak menjadi mahasiswa starata S1. Dengan begitu berbakatnya, sehingga beliau pernah ditunjuk menjadi Direktur Kemesjidan sudah pasti selalu berkaitan masalah Orasi. Muridnya, Syeikh Yusuf Qaradhâwi, menggambarkan metode dakwah beliau dalam buku yang memabahas tentang kepribadian dirinya. Beliau mengatakan: “Awal pertama kali aku mendengarnya ber-orasi ketika beliau baru keluar dari sel al-Thour sampai sekarang tidak pernah menagalami perubahan. Beliau selalu menggunakan topik yang hangat dan ilmiah. Dalam menjelaskan suatu permasalahan beliau selalu akar masalah sampai solusinya.
Al-Qur’an merupakan dalil utama beliau dalam membahas suatu topik, sehingga ketika mendengar ayat-ayat Ilâhi tersebut seolah-olah ayat itu dikarangnya sendiri dikarenakan fasihnya lidah dan penjelasan beliau terhadap kalam ilâhi tersebut.

Ketika membaca hadits Rasululullâh beliau selalu menjelaskan posisinya. Bahasa yanag digunakannya ketika berdakwah penuh dengan estetika dan selalu menjaga gramatikalnya sehingga tidak perlu lagi pada pensyarahan ataupun peneletian terhadap apa yang didakwahkannya. Bahasa yang digunaknya selalu sesuai dengan kondisi orang yang sedang mendengarnya sehingga tidak perlu lagi untuk melihat kamus ataupun mencari-cari arti yang disampaikannya. Ketika beliau melihat suatu hal yang bersifat kemungkaran, metode yang digunakannya untuk menghilangkan hal tersebut selalu menggunakan bahasa yng sopan tanpa menyinggung orang yang melakukan kemungkaran tersebut sehingga dakwah yang disampaikan mempunyai pengaruh.

b. Buku
Mantan sekretaris majalah mingguan “al-ikhwan” ini tidaknya hanya menggunakan instrumen orasi saja dalam menggunakan dakwah, beliau juga menggunakan pena sebagai salah satu alat untuk pengembangan dakwah islamiyah. Karyanya lebih dari 60 buku dengan pelbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan agama Islam. Diantaranya, al-Islam Wa al-Audho’I Wa al-Iqtishad, al-Islam Wa al-Minhaj Wa al-Isytirâkiyah, Turâtsuna al-Fikrî Fî Mîzâni al-Syar’i wa al-’Aql. Bahasa yang beliau gunakan penuh dengan estetika dan keotentikannya. Dr. Yusuf Qaradhâwi sendiri mengakui keindahan bahasa beliau, sehingga mengibaratkannya seperti pedang Khalid Bin Walid ataupun Shalâhuddîn. Bahasanya begitu tajam dalam mengatasi kemungkaran dan begitu kuat dalam mempertahankan kebenaran. Beliau tidak pernah gentar dan takut dalam membahas sesuatu hukum, namun semua itu penuh dengan bahasa sopan dan teratur.

c. Media Massa
Media massa merupakan instrumentnya yang pertama kali dalam mengembangkan dakwah lewat tulisan. Beliau tidak hanya menjadi kolomnis di majalah mingguan “al-Ikhwân” saja. Pengagum Hasan al-Banna ini pun juga rajin mencoretkan tintanya di majalah “al-Mabâhis” setelah keluar dari tumah tahanan tahun 1949. Selain itu, beliau juga rajin menulis di majalah “al-liwa’ al-Islâmî”, Mesir, dan majalah “al-Ummah”, Qatar, selama enam tahun yang akhirnya diberhentikan tanpa ada pemberitahuan.
Disamping sebagai kolomnis, beliau juga memiliki rubrik khusus wawancara di majalah “al-Ummah” seputar masalah Qadâya al-Islâmiyah. Maka, tidak heran jika pendiri Ikhwânul Muslimîn melayangkan surat tanda kekagumannya terhadap artikel beliau dalam salah satu rubrik di majalah “Ikhwan” yang memberikan ide positif terhadap pergerakan Ikhwânul Muslimin dan terus memotivatorinya untuk tetap semangat dalam mencoretkan tintanya guna mensyiarkan dakwah islamiyah.

Inilah profil seorang mujaddid islam yang memiliki semangat yang tinggi dalam menyebarkan dakwah islamiyah. Semoga artikel ini mampu menjadi qudwah bagi para aktivis dakwah untuk selalu menebarkan dakwah dari segala sisi tanpa pernah takut terhadap rintangan yang datang. Insyaallâh.

Rahmat Hidayat Nasution*
• Penulis adalah sekteraris redaksi buletin “GENERASI” dan anggota kajian As-Safiir Kairo, Mesir.

Sumber : http://islam.blogsome.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar