I. Metode Penginformasian Hadits
1. Takhdits : menginformasikan hadits dari satu generasi ke generasi yang ada di bawahnya. Biasanya dengan metode “mu’anana” dan mengawali hadits dengan kata-kata “An….”
2. Kitabah : Metode dengan penulisan kitab, dimulai dari Imam Malik dengan kitab Al Muwatho’.
3. Ijazah : dengan mengijinkan murid / orang lain untuk menginformasikan hadits tertentu. Misal, seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk menginformasikan sebuah hadits.
Sesuatu digolongkan menjadi tasyri’i (digunakan dalam penentuan syari’at) atau ghairu tasyri’i tergantung dari apakah hadits itu menjadi penentu / sumber hukum. Derajat hadits tersebut biasanya adalah shahih atau hasan (terkait dengan ibadah mahdloh).
II. Etika Salafush Sholih dalam Mengkritik Hadits
Dalam Muqaddimmah Ibnu Shalah disebutkan sikap sangat berhati-hatinya Umar ra dalam menerima hadits, tapi ia tidak meragukan sahabat yang merawikannya melainkan berhati-hati terhadap hukum yang disampaikan oleh Nabi SAW, sebagai contoh ia mengatakan hal tersebut kepada sahabat abu Hurairah ra : Innani la atahammuka wa lakinnani uridu an anatsabbat (Saya tidak pernah meragukanmu, semua ini saya lakukan karena ingin menegaskan).
Contoh yang lain, Abu Hurairah ra pernah menyatakan sebuah hadits : Innal mayyita layu'adzdziba bi buka'i ahli 'alaihi (Sesungguhnya mayyit itu diazab karena tangisan keluarganya atasnya), maka Ummul Mu'minin Aisyah ra mengkritik hadits tersebut tidak pada sanadnya, melainkan pada redaksinya. Dimulai dengan mendoakan abu Hurairah ra, ia berkata : Semoga Allah SWT merahmati abu Hurairah, aku tidak pernah mendengarnya dari Nabi SAW, tetapi aku mendengar Nabi SAW bersabda : Innallaha yazidul kafirina 'adzaba (Sesungguhnya Allah SWT akan menambah azab bagi orang-orang kafir). Lalu Aisyah ra berdalih bahwa hadits abu Hurairah tersebut bertentangan dengan ayat al-Qur'an : Wala taziru waziratan wizra ukhra (Dan sesungguhnya seseorang itu tidak akan memikul dosa org lain).
Ternyata hadits abu Hurairah tersebut diperkuat oleh riwayat-riwayat yang lain dari Umar ra, Ibnu Abbas ra dan Ibnu Umar ra. Maka para muhaddits menyimpulkan bahwa dari segi sanad kedua hadits tersebut (hadits Aisyah maupun abu Hurairah) shahih, maka ditafsirkan makna sebenarnya dari layu'adzdziba artinya yata'allama (merasa sedih), artinya mayyit tersebut merasa sedih mengapa keluarganya tidak memahami hakikat hidup tersebut.
III. Kaidah dalam Memahami Hadits
1. Memahami as-Sunnah disesuaikan dengan al-Qur'an (Fahmu sunnah fi Dhau'il Qur'an). Artinya as-Sunnah merupakan penjelas (bayanu taudhih, tafsir) dan juga menambah apa yang tidak ada dalam al-Qur'an (bayanu tsabit), seperti al-Qur'an mengharamkan bangkai, tetapi hukum tersebut dihapuskan oleh as-Sunnah untuk bangkai ikan dalam hadits berbunyi : Thahuru ma'ahu wal hillu maytatahu (Laut/sungai itu suci airnya dan halal bangkainya/ikan).
2. Menggabungkan hadits dalam 1 pengertian (Jam'ul ahadits fi maudhu'in wahid). Jika melihat hadits bertentangan maka digabungkan sehingga didapat 1 pengertian yang benar. Seperti hadits isbalul izar (Kain yang melewati kedua mata kaki di neraka) yang bertentangan dengan dan hadits Abubakar ra yang menyatakan bahwa tidak apa-apa kata Nabi SAW kain Abubakar melewati mata kakinya, ternyata akan masuk neraka adalah jika dilakukan karena sombong, setelah digabung dengan hadits khuyala' (orang-orang yang masuk neraka karena melabuhkan kain karena sombong). Atau hadits yang menyatakan batalnya orang puasa yang berbekam, sementara hadits lainnya menyatakan tidak batal, ternyata setelah digabungkan ditemukan bahwa dalam hadits pertama org tersebut berbekam sambil mengghibbah dan berdusta sehingga batalnya karena hal tersebut dan bukan karena berbekamnya.
3. Melihat hadits berdasarkan sebabnya (Fahmul hadits fi fi dhau'i asbab wal mulabisat). Seperti hadits antum a'lamu bi umuri dunyakum (kalian lebih mengetahui ttg urusan dunia kalian) hadits ini hrs ditafsirkan berdsrkn sebabnya, yaitu Nabi SAW melewati sekelompok kaum di Madinah yang sedang mengawinkan pucuk kurma lalu Nabi SAW mengucapkan kata-kata yang ditafsirkan salah oleh orang-orang tersebut sehingga tahun berikutnya mereka tidak lagi mengawinkan pucuk-pucuk tersebut yang berakibat gagal panen. Sehingga keluarlah sabda Nabi SAW : Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian, artinya masalah-masalah sarana dan teknologi bukan masalah2 dasar2 yang telah ada hukumnya dalam Islam, seperti politik, ekonomi, dsb.
4. Menghukumi hadits-hadits yang bertentangan (Fahmu at-Ta'arudh fil ahadits):
1. Digabungkan (thariqatul jam'i) : Spt dalam suatu hadits disebutkan Nabi SAW meminta dijadikan orang miskin, sementara banyak hadits2 lain Nabi SAW meminta kekayaan. Maka digabungkan bahwa yang dimaksud miskin dalam hadits pertama adalah sikap org miskin yang tawadhu' (rendah hati dan tidak sombong).
2. Dilihat sejarahnya (ta'arikh), jika tidak bisa digabungkan pengertiannya (tetap bertentangan), maka dilihat mana yang lebih dulu dan mana yang belakangan, sehingga yang belakangan adalah menghapus hukum yang duluan. Seperti hadits nikah Mut'ah yang banyak dipakai kaum syi'ah, memang benar Nabi SAW pernah membolehkannya dalam 1 peperangan tapi kemudian dihapus selama2nya oleh Nabi SAW setelah nampak bahaya dan dampaknya. Atau hadits yang melarang ziarah kubur, yang kemudian dihapus sendiri oleh Nabi SAW.
3. Dipilih mana yang lebih kuat (tarjih), jika kedua hal di atas tidak bisa juga, maka barulah dicari mana yang lebih shahih dan dibuang yang kurang shahih (artinya bisa juga keduanya shahih tapi yang 1 lebih shahih dari yang lain, maka yang dipakai yang lebih shahih tersebut).
5. Melihat pada isi hadits tersebut dan bukan pada sarananya (an Nazhru ilal ushul la lil wasa'il), contoh2 nya ;
1. Hadits bahwa Nabi SAW memakai gamis, ternyata banyak hadits yang menyebutkan bahwa Nabi SAW juga memakai kain Yamani, baju Kisrawaniyyah, dll. Ternyata ushul dari hadits ttg pakaian tersebut adalah menutup auratnya dan bukan pada jenis pakaiannya.
2. Hadits bahwa Nabi SAW memerintahkan belajar memanah, yang ushul nya adalah berlatih menggunakan senjata dan bukan pada panahnya. Demikian pula berkuda, yang ushul mengendarai kendaraannya dan bukan kudanya.
3. Hadits bahwa pengobatan terbaik adalah menggunakan kai (besi dipanaskan), ternyata yang ushul adalah metode shock terapy nya spt dengan akupunktur, refleksi, dsb.
6. Menegaskan apa yang ditunjukkan oleh lafazh hadits (Ta'akkud dilalatu alfazh al hadits). Seperti hadits : La'anallahal mushawwirin (Allah melaknat para pelukis), yang dilalah nya adalah jika untuk diagungkan, dipuja, lukisan 3 dimensi (patung), karena ternyata gambar yang telah dipotong dan dijadikan bantal oleh Aisyah ra tidak dilarang oleh Nabi SAW.
7. Membedakan antara hakikat dan majas. Jika hal ini tidak dipahami secara benar maka akan menimbulkan pemahaman yang keliru. Sebagai contoh, hadits “Yang paling cepat bertemu denganku (nabi) adalah yang paling panjang tangannya”. Panjang di sini diartikan : paling banyak amalnya.
Referensi :
[1] Buku ustadz Dr. Yusuf Qaradhawi, “Kaifa Nata’amalu Ma’a As Sunnah” (Bagaimana Berinteraksi dengan Sunnah).
[2] Artikel Dr. Daud Rasyid, M.A., “Ma’alim Wa Dhawabith Fi Fahmi As Sunnah An Nabawiyyah” (Rambu-rambu dan Kerangka dalam Memahami Sunnah Nabawiyyah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar