.
Di-dalam beragama syariat harus ditegakkan dengan hujjah yaitu berlandaskan dalil shahih, kaidah (cara) Islam dalam mengambil dalil yaitu :
1. Al-Qur’an
2. As-Sunnah
3. Ijma para sahabat
4. Qiyas
Al-Qur’an adalah Kitabullah, landasan hukum paling tertinggi dan harus ditafsirkan dengan As-Sunnah (hadits Shahih, Hasan). Tidak boleh menggunakan Hadits yang sudah ditetapkan derajatnya Dhaif apalagi palsu dan tidak ada asal-usulnya oleh para ulama ahli Hadits. Al-Qur’an dan Hadits shahih selamanya tidak akan bertentangan. Kita tidak boleh menggunakan ayat Al-Qur’an saja (secara mutlak untuk ayat yang bersifat umum) tanpa ada penjelasan, Sunnah-lah yang menjelaskan, misalnya perintah Shalat dalam Al-Qur’an, dengan As-Sunnah kita tahu bagaimana cara mengerjakan Shalat sesuai contoh dari Rasulullah, Subuh 2 rakaat, Maghrib 3 rakaat, dst.
Contoh lainnya,
(14:4)
Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. (QS Ibrahim:4).
Ayat di atas telah di salah tafsirkan oleh seorang dan pengikutnya (di Jawa Timur), mereka shalat dengan menggunakan bahasa Indonesia, padahal ayat tersebut menerangkan bahwa dalam menyampaikan dakwah boleh mengggunakan bahasa kaummnya yang mudah dipahami, bukan shalat menggunakan bahasa kita masing-masing karena Rasulullah bersabda “Shallu kama ra aitumuu nii u shalii” (“Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kalian melihat aku shalat”) – (HR. Bukhari , Muslim dan Ahmad).
Selanjutnya kaidah kita dalam mengambil/menggunakan dalil adalah dengan Ijma para sahabat, generasi/umat terbaik dari Islam. Selanjutnya dengan Qiyas, Qiyas akan batal selama sudah ada nash jelas.
Persoalan dengan zakat harta termasuk dengan adanya zakat profesi, berikut sedikitnya saya nukilkan tulisan berikut,
Allah mengancam keras terhadap orang yang meninggalkan zakat dengan firman-Nya:
(3:180)
Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Ali Imran:180)
Syarat wajib mengeluarkan zakat :
1. Islam
2. Merdeka
3. Berakal dan Baligh
4. Memiliki Nishab
Untuk urutan 1-3, Insya Allah kita sudah mengetahuinya.
Untuk no. 4, Makna Nishab disini ialah ukuran atau batas terendah yang telah ditetapkan oleh syar’i (agama) untuk menjadi pedoman menentukan kewajiban mengeluarkan zakat bagi yang memilikinya, jika telah sampai pada ukuran tersebut (1).
(2:219)
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir, (QS Al-Baqarah:219)
Makna al afwu adalah harta yang telah melebihi kebutuhan. Oleh karena itu, Islam menetapkan Nishab sebagai ukuran kekayaan seseorang (2).
(1). Lihat Syarh Al Mumti ‘Ala Zzaad Al Mustaqni, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin 6/20.
(2). Lihat Al Zakat Wa Tanmiyat Al Mujtama, karya Al Sayyid Ahmad Al Makhzanji, hal 119.
Adapun syarat Nishab :
1. Harta tsb. diluar kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seseorang, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, kendaraan, alat yang dipergunakan untuk mata pencarian, jadi harta kita dikeluarkan zakatnya bila sudah dipotong biaya kebutuhan hidup/nafkah dan sama dengan atau melebihi nishabnya, kalau setelah dikeluarkan untuk biaya hidup masih kurang nishabnya maka seseorang tidak wajib berzakat. Dalilnya Al-Baqarah 219 seperti tertulis di atas dan dalil dari Hadits berikut :
Dari Ali bin Abi Thalib, Sesungguhnya Rasulullah bersabda: Tidak ada kewajiban atas kamu sesuatupun yaitu dalam emas sampai memiliki 20 dinar. Jika telah memiliki 20 dinar dan telah berlalu satu haul, maka terdapat padanya zakat ½ dinar. Selebihnya dihitung sesuai dengan hal itu, dan tidak ada zakat pada harta, kecuali setelah satu haul. (Hadits Ali bin Abi Thalib diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunannya no. 1573, dihasankan oleh Syaik Al Albani).
Ukuran 1 dinar setara dengan 4,25 gr emas. Jadi 20 dinar setara dengan 85 gr emas murni. Misalnya seseorang memiliki harta yang disimpan setara dengan 85 gr emas atau lebih, maka wajib zakat jika telah sampai haulnya sebesar 2,5% dari jumlah harta tersebut.
Demikian dengan ketentuan Nishab dari Zakat lainnya (Zakat Ternak, Pertanian, dsb), dikeluarkan dengan ketentuan syariat dari hadits shahih lainnya.
2. Harta yang akan dizakati telah berjalan selama satu tahun (haul) terhitung dari kepemilikan nishab, dengan dalil hadits :
Rasulullah bersabda : Tidak ada zakat atas harta, kecuali yang telah melampaui satu haul (satu tahun). (Hadits Ruwayat At-Tirmidzi 1/123, Ibnu Majah no. 1793, Abu Daud no. 1573. Di-Hasan-kan oleh Syaeikh Al Albani dalam Irwa Al Ghalil 3//254-258).
Cara menghitung Nishab terjadi perbedaan pendapat. Yaitu masalah, apakah yang dilihat nishab selama 1 tahun atau yang dilihat pada awal dan akhir tahun saja ?,
Imam Nawawi berkata, “Menurut mazdhab kami (Syafi’i), mazdhab Malik, Ahmad, dan Jumhur adalah disyaratkan pada harta yang wajib dikeluarkan zakatnya berpedoman pada hitungan haul (selama satu tahun), sehingga kalau nishab tersebut berkurang pada satu ketika dari haul, maka terputusnya hitungan haul. Dan kalau sempurna lagi setelah itu, maka dimulai perhitungan lagi ketika sempurna nishab tersebut. Inilah pendapat yang lebih rajih. (Dinukil dari Fiqih Sunnah karya Sayyid Sabiq 1/468).
Maraknya pemikiran adanya zakat profesi yang kini berkembang, kiranya menjadi persoalan dan tanda tanya besar bagi kalangan sebagian para pekerja profesional. Di berbagai institusi , zakat profesi ini sudah diberlakukan. Berikut saya tuliskan sebagian fatwa :
Soal :
Berkaitan dengan pertanyaan tentang zakat gaji pegawai. Apakah zakat itu wajib ketika gaji itu diterima atau ketika sudah berlangsung haul (satu tahun) ?
Jawab :
Bukanlah hal yang meragukan, bahwa diantar jenis harta yang wajib dizakati ialah dua mata uang (emas dan perak). Dan diantara syarat wajibnya zakat pada jenis-jenis harta semacam itu ialah bila sudah sempurna mencapai haul. Atas dasar ini, uang yang diperoleh dari gaji pegawai yang mencapai nishab, baik jumlah gaji itu sendiri ataupun dari hasil gabungan uangnya yang lain, sementara sudah mencapai haul, maka wajib dizakatkan.
Zakat gaji ini tidak dapat diqiyaskan dengan zakat hasil bumi. Sebab persyaratan haul tentang wajib zakat bagi dua mata uang merupakan persyaratan yang jelas berdasarkan nash. Apabila sudah ada nash, maka tidak ada qiyas. Berdasarkan itu, maka tidak wajib zakat bagi uang gaji pegawai sebelum memenuhi haul.
(Fatwa no. 1360, Lajnah Da’imah Li Al Buhuts Al Ilmiyah wal Al Ifta’
Soal:
Apabila seorangg muslim menjadi pegawai yang mendapat gaji bulanan tertentu, tetapi ia tidak mempunyai penghasilan lain. Kemudian dalam keperluan nafkahnya untuk beberapa bulan, kadang menghabiskan gaji bulanannya. Sedang pada beberapa bulan lainnya kadang masih terdapat sisa yang tersimpan untuk keperluan mendadak (tak terduga). Bagaimana orang ini membayarkan zakatnya?
Jawab:
Seorang muslim yang dapat terkumpul padanya sejumlah uang dari gaji bulanannya atau dari sumber lain, bisa berzakat selama sudah memenuhi haul, dan bila uang yang terkumpul padanya mencapai nishab. Baik (jumlah nishab tersebut berasal) dari gaji itu sendiri ataupun ketika digabungkan dengan uang lain atau dengan barang dagangan miliknya yang wajib dizakati.
Tetapi apabila ia mengeluarkan zakatnya sebelum uang yang terkumpul padanya memenuhi haul, dengan membayarkan zakat dimuka maka hal itu merupakan hal yang baik saja, Insya Allah.
(Fatwa no. 2192, Lajnah Da’imah Li Al Buhuts Al Ilmiyah wal Al Ifta’
Soal:
Bagaimana seorang muslim menzakati harta yang diperoleh dari gaji, upah, hasil keuntungan dan harta pemberian?, Apakah harta-harta itu digabungkan dengan harta-harta lain milikya? Lalu ia mengeluarkan zakat pada masing-masing harta tersebut mencapai haul? Ataukah ia mengeluarkan zakatnya pada saat ia memperoleh harta itu jika telah mencapai nishab, baik dari nishab harta itu sendiri, atau jika digabung dengan harta lain miliknya, tanpa menggunakan syarat haul?
Jawab:
Dalam hal ini, di kalangan ulama terjadi dua pendapat. Menurut kami, yang rajih (kuat) ialah setiap kali ia memperoleh tambahan harta, maka tambahan harta tersebut itu digabungkan pada nishab yang sudah ada padanya. (Maksudnya tidak setiap harta tambahan dihitung berdasarkan haulnya masing-masing).
Apabila sudah mencapai haul dalam nishab tersebut, ia harus mengeluarkan zakat.
Tidak disyaratkan masing-masing harta tambahan yang digabungkan dengan harta pokok itu harus memenuhi haulnya sendiri-sendiri. Pendapat yang seperti ini mengandung kesulitan yang amat besar. Padahal diantara kaidah yang ada dalam Islam ialah : Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (QS Al Hajj:78).
Sebab, seseorang itu jika memiliki banyak harta atau pedagang akan mencatat tambahan nishab setiap harinya, misalnya hari ini datang kepadanya jumlah uang sekian . Dan itu dilakukan sambil menunggu hingga berputar satu tahun…dst. Tentu hal itu akan sangat menyulitkan.
(Fatwa Syaikh Al Albani diterjemahkan secara bebas dari majalah Al Ashalah no. 5/15 Dzulhijjah).
Wallahu’alam.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Achmad Nurmin Sandjaya
a_pro@plasa.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar