Kamis, 04 Maret 2010

ULUMUL HADITS

Modul Pesantren Virtual : ULUMUL HADITS
Persembahan dari :
PT. ASIA UTAMA WISATA
Jl. Gandaria 1 No. 79
Jakarta 12130 - INDONESIA,
Telp. : (62-21) 720 1061
Fax. : (62-21) 722 1210
Http: www.asiautama.com
E-mail : marketing@asiautama.com

Difinisi Hadits
Secara bahasa Hadits mempunyai arti “Baru”, “Dekat”, atau “Berita”. Makna yang
terakhir inilah yang dipakai oleh para ulama untuk mendifinisikan Hadits sebagai :
“Segala ucapan, perbuatan, keadaan, serta perilaku dan ketetapan
(peneguhan) Nabi Muhammad S.A.W. atas berbagai peristiwa.”
Disamping itu ada beberapa istilah sinonim yang sering dipakai oleh berbagai
kalangan Ulama untuk menyebut Hadits, yakni Khabar, Sunnah, dan atsar. Secara
bahasa arti khabar adalah “Berita”, Sunnah berarti “Jalan”, dan atsar berarti “Bekas”
atau bisa juga “Nukilan”.
Namun ada juga Ulama yang membedakan istilah “Khabar” dan “Atsar” tersebut
dengan Hadits. Khabar di katakan sebagai “Segala sesuatu yang disandarkan atau
berasal dari Nabi S.A.W. maupun selain Nabi S.A.W. bisa dari kalangan sahabat
atau tabiin”. Sedangkan Atsar dipakai untuk perkataan-perkataan selain Nabi SAW,
yakni ; sahabat, tabiin, ulama salaf, dan lain sebagainya”
Maka ada baiknya kita memperhatikan penggunaan istilah-istilah tersebut ketika
mendengar atau membaca buku-buku keagamaan.
Sesuai difinisinya ada tiga macam hadits :
1. Hadits yang berupa perkataan (Qauliyah), contohnya, sabda Nabi SAW ;
"Orang mukmin dengan orang mukmin lainnya bagaikan sebuah bangunan,
yang satu sama lain saling menguatkan." (HR. Muslim)
2. Hadits yang berupa perbuatan (fi’liyah) mencakup perilaku beliau, seperti
tata cara shalat, puasa, haji, dsb. Berikut contoh haditsnya, Seorang sahabat
berkata : “Nabi SAW menyamakan (meluruskan) saf-saf kami ketika kami
melakukan shalat. Apabila saf-saf kami telah lurus, barulah Nabi SAW
bertakbir.” (HR. Muslim)
3. Hadits penetapan (taqririyah) yaitu berupa penetapan atau penilaian Nabi
SAW terhadap apa yang diucapkan atau dilakukan para sahabat yang
perkataan atau perbuatan mereka tersebut diakui dan dibenarkan oleh Nabi
SAW. contohnya hadits berikut, seorang sahabat berkata ; “Kami (Para
sahabat) melakukan shalat dua rakaat sesudah terbenam matahari (sebelum
shalat maghrib), Rasulullah SAW terdiam ketika melihat apa yang kami
lakukan, beliau tidak menyuruh juga tidak melarang kami ” (HR. Muslim)
Berdasarkan sumbernya hadits ada dua macam ; Yaitu hadits qudsi dan hadits
nabawi.
Hadits qudsi, disebut juga dengan istilah hadits Ilahi atau hadits Rabbani, adalah
suatu hadits yang berisi firman Allah SWT yang disampaikan kepada Nabi SAW,
kemudian Nabi SAW menerangkannya dengan menggunakan susunan katanya
sendiri serta menyandarkannya kepada Allah SWT. Dengan kata lain, hadits qudsi
ialah hadits yang maknanya berasal dari Allah SWT, namun lafalnya berasal dari
Nabi SAW.
Sedangkan hadits nabawi, yaitu hadits yang lafal maupun maknanya berasal dari
Nabi Muhammad SAW sendiri.
Sebagai catatan, hadits qudsi berbeda dengan Alquran. Perbedaannya antara lain:
1. lafal dan makna Alquran berasal dari Allah SWT, sedangkan hadits qudsi
hanya maknanya yang berasal dari Allah SWT.
2. Alquran mengandung mukjizat.
3. Membaca Alquran termasuk perbuatan ibadah, sedangkan membaca hadits
qudsi tidak termasuk ibadah.
4. Alquran tidak boleh dibaca atau bahkan disentuh oleh orang-orang yang berhadas,
sedangkan hadits qudsi boleh dipegang dan dibaca juga oleh orangorang
yang punya hadas.
5. Periwayatan Alquran tidak boleh hanya dengan maknanya saja, sedangkan
hadits qudsi boleh diriwayatkan hanya dengan maknanya.
6. Alquran dibaca di waktu salat, sedangkan hadits qudsi tidak boleh dibaca di
waktu salat.
7. Semua ayat Alquran disampaikan dengan cara mutawatir, sedangkan tidak
semua hadits qudsi diriwayatkan secara mutawatir.
Keduanya (hadits qudsi dan hadits nabawi) memang sama-sama bersumberkan
Wahyu dan keduannya dapat menjadi landasan (dalil), namun dapat dikatakan
hadits qudsi lebih istimewa ketimbang hadits nabawi. Dibandingkan dengan hadits
qudsi, hadits nabawi jauh lebih banyak jumlahnya.
Fungsi Hadits
Hadits adalah sumber hukum kedua agama Islam sesuai firman Allah SWT "apa
yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu,
Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras
hukumannya."QS Al-Hasyr ; 7 & "Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai
Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."QS Ali Imran ; 31 Allah memerintahkan kita
untuk menaati Rasul SAW sebagaimana menaati Allah SWT. Kedudukan Hadits
terhadap Alquran sedikitnya mempunyai tiga fungsi pokok :
1. Memperkuat dan menetapkan hukum-hukum yang telah ditentukan oleh
Alquran, misalnya tentang syirik Allah berfirman ; “... jauhilah olehmu
berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta” (QS
Al-Haj ; 30) maka Rasulullah tegaskan lagi dalam hadits berikut ; “....
kuberitahukan kepadamu sekalian tentang sebesar-besarnya dosa besar,
sahut kami, baiklah Rasulullah beliau bersabda ; menyekutukan Allah,...”
2. Memberikan penafsiran terhadap ayat-ayat yang masih bersifat umum dan
mutlak, misalnya perintah shalat, Dalam Alquran perintah shalat hanya
disebutkan dengan : “dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir
sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya
shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS Al Isra’; 78) di sana tidak
ada rincian mengenai ; cara pelaksanaannya. Kapan waktunya yang tepat.
Nah disinilah rasulullah SAW mengajarkan kita rinciannya yang dapat kita
lihat dalam hadits-hadits.
3. Menetapkan hukum aturan-aturan yang tidak didapati/diterangkan dalam
Alquran, misalnya masalah nikah. banyak sekali hadits-hadits tentang
pernikahan yang hukum-hukumnya tidak terdapat dalam Alquran misalnya
soal haramnya menikahi saudara sepersusuan, haramnya mengumpulkan
(poligami) antara seorang perempuan dengan bibinya, dsb
Penulisan Hadits
Berbeda dengan Alquran yang penghapalan dan penulisannya sangat ditekankan
oleh rasulullah SAW kepada semua kalangan sahabatnya, Rasulullah SAW sangat
berhati-hati dalam hal hadits, perintah untuk penulisannya dikeluarkannya secara
hati-hati, ini beliau lakukan agar penulisan Hadits tidak tercampur dengan penulisan
alquran. Oleh karena itu Rasulullah SAW secara khusus mengijinkan sahabatsahabat
tertentu yang beliau SAW yakin akan tingkat kecermatannya untuk
melakukan penulisan hadits. Kehati-hatian ini dipahami oleh para sahabat. Setelah
Nabi SAW wafat dan setelah Alquran selesai di kumpulkan dan dikemas dalam
bentuk mushaf secara sempurna, baru penulisan dan pembukuan Hadits sangat
gencar dilakukan, ini karena sudah tidak ada kecemasan dan kekhawatiran
tercampurnya Alquran dengan Alhadits.
Penghapalan Hadits
Masyarakat Arab sudah terbiasa dengan kegiatan hapal-menghapal sehingga hadits
dapat terekam dengan mudah dibenak para sahabat, apalagi mereka mendengar
langsung kata-kata Rasul SAW juga melihat secara langsung apapun yang Beliau
SAW lakukan. Seperti kebiasaan mereka dan memang telah diperintahkan oleh
rasulullah SAW agar yang tahu menyampaikan kepada yang tidak tahu, para
sahabatpun saling berbagi pengetahuan dan hapalan hadits. Penyampaian ini
lengkap dengan sanadnya misalnya ;
“aku mendengar langsung dari Rasulullah SAW, beliau bersabda,..dst” atau ;
“aku mendengar dari fulan (seorang sahabat) dan dia mendengar dari fulan
(sahabat yang lain) yang mendengar rasulullah SAW bersabda,...dst”
Pembukuan Hadits
Pembukuan Hadits dilakukan sejak masa Nabi SAW namun ketika itu hanya
beberapa sahabat saja yang melakukannya, sedikitnya yang melakukan pembukuan
hadits ini terus berlangsung sampai masa khulafaurrasyidin. Baru pada masa
Khalifah Umar bin Abdul Aziz kira-kira tahun 100 H secara resmi perintah
pembukuan Hadits dikeluarkannya secara resmi dari institusi pemerintahan, sejak
inilah pembukuan Hadits gencar dilakukan.
Unsur-unsur yang selalu terdapat dalam hadits
Suatu hadits mengandung tiga unsur ; yakni rawi (yang meriwayatkan hadits),
sanad (sandaran hadits), dan matan (teks hadits).
Rawi
Rawi ialah orang yang menyampaikan atau menuliskan hadits dalam suatu kitab
yang pernah didengarnya atau diterima dari seseorang (gurunya). Menyampaikan
hadits disebut merawikan hadits.
Sanad
Sanad adalah jalan yang menyampaikan kita pada matan hadits atau rentetan para
rawi yang menyampaikan matan hadits. Misalnya Imam Buchory memberitakan dari
tabiin (murid seorang sahabat Nabi SAW) A yang mendengar dari sahabat B yang
mendengar dari sahabat C yang mendengar Nabi bersabda.....dst. pada contoh
tersebut rentetan mulai dari Imam Buchory sampai sahabat (C) disebut sanad
Matan
Adapun matan adalah materi atau teks hadits atau isi suatu hadits, berupa ucapan,
perbuatan, dan takrir, yang terletak setelah sanad terakhir. Matan dikatakan juga
sabda Nabi SAW yang dinyatakan setelah menyebutkan sanad.
Klasifikasi hadits
Klasifikasi hadits dari segi sedikit atau banyaknya rawi.
Ditinjau dari segi sedikit atau banyaknya rawi yang menjadi sumber berita, hadits
itu terbagi dua yakni Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad.
Hadis ahad ialah hadis yang diriwayatkan oleh orang perorang (ahad = satu) yang
tidak mencapai tingkat mutawatir, dapat diriwayatkan oleh seorang atau lebih.
Hadits mutawatir adalah hadits yang dirwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang
menurut adat kebiasaan dan logika mustahil mereka berkumpul dan bersepakat
untuk berdusta.
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila memenuhi tiga syarat berikut ;
1. Warta yang disampaikan itu harus benar-benar hasil pendengaran atau
penglihatan sendiri, bukan hasil pemikiran terhadap sesuatu.
2. Jumlah rawi-rawinya harus mencapai suatu ketentuan yang tidak
memungkinkan mereka bersepakat bohong, para ulama berbeda pendapat
tentang batasan yang diperlukan, ada yang menetapkan 4, 5, 10, 20, 40, 70
bahkan ada yang berpendapat 313 orang dua orang perempuan.
3. Adanya keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam tingkatan sanad
pertama dengan jumlah rawi-rawi dalam tingkatan sanad berikutnya.
Hadis mutawatir dibagi atas mutawatir lafzi dan mutawatir ma’nawi. Mutawdtir lafzi
ialah hadis mutawatir yang bunyi teks atau lafal hadisnya sama antara satu riwayat
dan riwayat-riwayat lainnya. Adapun mutawatir ma’nawi ialah hadis mutawatir yang
bunyi teks hadisnya berbeda-beda tetapi mengandung makna yang sama.
Contoh mutawatir lafzi yang sering disebutkan dalam buku-buku hadis ialah
“Barangsiapa yang sengaja berdusta atas nama-ku, maka tempatnya adalah neraka”
(HR. Bukhari dan Iain-lain). Hadis ini diriwayatkan oleh lebih dari 70 sahabat dengan
teks yang sama (bahkan menurut as-Suyuti, tidak kurang dari 200 sahabat yang
meriwayatkannya).
Adapun contoh mutawatir ma’nawi ialah hadis yang menyatakan bahwa Nabi SAW
selalu mengangkat kedua tangannya dalam berdoa. Masing-masing teks hadis
tentang berdoa tersebut berbeda satu dengan yang lainnya, akan tetapi hadis-hadis
tersebut mengandung pengertian yang sama, yaitu Nabi SAW mengangkat kedua
tangannya dalam berdoa. Hadis mengenai cara Nabi SAW berdoa tersebut
diriwayatkan oleh lebih dari seratus sahabat.
Klasifikasi Hadis dari segi kualitas sanad dan matan hadits
Penentuan tinggi rendahnya suatu hadits bergantung kepada tiga hal, yaitu jumlah
rawi, kualitas rawi, dan keadaan matan. Jadi andaikata ada dua hadits yang
memiliki keadaan rawi dan matan yang sama maka hadits yang diriwayatkan oleh
rawi yang lebih banyaklah yang lebih baik tingkatannya. Apabila dua buah hadits
memiliki keadaan matan dan jumlah rawi yang sama, maka hadits yang
diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya lebih tinggi tingkatannya daripada
hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah ingatannya. Bila dua hadits memiliki
rawi yang sama keadaan dan jumlahnya, maka hadits yang matannya paling selaras
dengan Alquran lah yang lebih baik tingkatannya.
Hadits yang tinggi tingkatannya berarti memiliki tingkat kepastian yang tinggi
bahwa hadits itu berasal dari Rasulullah SAW. Tinggi rendahnya tingkatan hadits
menentukan tinggi rendahnya kedudukan hadits sebagai sumber hukum atau
sumber ajaran Islam.
Para Ulama membagi hadits ahad* dalam tiga tingkat, yaitu hadits sahih, hadits
hasan, dan hadits daif.
Hadits Sahih.
Secara bahasa Sahih berarti bersih dari cacat. Secara istilah ; Hadits Sahih adalah
hadits yang susunan lafadznya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat
Quran, hadits mutawatir, atau ijmak, serta para rawinya adil dan dabit.
Hadits Hasan
Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut istilah ; Hadits Hasan
adalah hadits yang sanadnya baik, tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta,
matan haditsnya tidak janggal, diriwayatkan melalui sanad yang lain pula -yang
sederajat
Hadits Daif
Menurut bahasa daif berarti lemah, jadi hadits daif adalah hadits yang lemah, yakni
; para ulama memiliki dugaan yang lemah (kecil/rendah) tentang benarnya hadits
itu berasal dari Rasulullah SAW. hadits ini tidak memenuhi persyaratan sebagai
hadits sahih maupun hasan.
Keterangan lebih detail mengenai hadits sahih, hasan dan daif ini akan disampaikan
pada bab tersendiri.
* Mulai kini yang dibicarakan selalu hadits ahad. Penelitian terhadap keadaan sanad
dan matan tidak diperlukan lagi terhadap hadits mutawatir.
Pembagian hadits dari segi kedudukan dalam hujah (dalil)
Hadits ahad ditinjau dari segi dapat diterima atau tidaknya dia sebagai hujah terbagi
dua, yaitu golongan Hadits maqbul dan Hadits mardud.
Hadits Maqbul
Maqbul secara bahasa berarti ; yang diambil, yang diterima, dan yang dibenarkan.
sedangkan secara istilah ulama hadits mendifinisikan hadits maqbul dengan; "Hadits
yang menunjuki suatu keterangan bahwa Nabi Muhammad Saw menyabdakannya."
Para ulama mengatakan hadits ini wajib diterima namun demikian para ulama
menetapkan bahwa tidak semua hadits maqbul itu harus diamalkan karena dalam
kenyataannya banyak juga hadits-hadits yang tidak berlaku lagi (hadits dalam
golongan ini di sebut hadits mansukh) atau dihapuskan hukumnya oleh hadits yang
datang sesudahnya (nasikh). selain itu terdapat juga hadits-hadits maqbul yang
saling berlawanan maknanya, dalam hal ini yang lebih kuat dinamakan hadits rajih,
yang lemah dinamakan hadits marjuh.
Maka menurut intruksi pengamalannya hadits maqbul terbagi dua ; hadits
maqmulun bihi dan hadits gairu maqmulun bihi. hadits maqmulun bihi adalah hadits
yang dapat diamalkan, yang termasuk hadits ini ialah:
• Hadits muhkam, yaitu hadits yang tidak mempunyai perlawanan
• Hadits mukhtalif, yaitu dua hadits yang pada lahirnya saling berlawanan yang
mungkin dikompromikan dengan mudah.
• Hadits nasikh
• Hadits rajih
Hadits gairu maqmulun bihi ialah hadits maqbul yang tidak dapat diamalkan, yang
termasuk hadits ini ialah:
• Hadits mutawaqaf, yaitu hadits yang tidak dapat dikompromikan, tidak dapat
ditansikhkan dan tidak dapat ditarjihkan.
• Hadits mansukh
• Hadits marjuh
Hadits Mardud
Menurut bahasa mardud berarti ; ditolak, tidak diterima. Sedangkan menurut istilah
hadits mardud ialah ; “Hadits yang tidak menunjuki keterangan yang kuat akan
adanya dan tidak menunjuki keterangan yang kuat atas ketiadaannya, tetapi adanya
dengan ketiadaannya bersamaan.” Hadits dalam jenis ini tidak boleh diterima dan
tidak boleh diamalkan.
Klasifikasi Hadits dari segi perkembangan sanadnya.
Dari segi ini Hadits terbagi dua yakni ; Hadits Muttasil dan Hadits Munqati’.
Hadits Muttasil kadang juga disebut Hadits Mausul artinya; Hadits yang didengar
oleh masing-masing rawinya dari rawi yang diatas sampai kepada ujung sanadnya
baik hadits marfu (Hadits yang sampai kepada Nabi SAW) atau hadits mauquf
(Hadits yang hanya sampai kepada sahabat). Ada ulama yang memasukkan hadits
maqtu (Hadits yang hanya sampai kepada tabiin) sebagai hadits Mausul ada pula
yang tidak menggolongkannya sebagai hadits mausul.
Munqati’ secara bahasa berarti terputus. Secara difinisi banyak terdapat perbedaan
para Ulama, namun yang paling, tepat menggambarkan kondisi hadits Munqati ialah
yang dikemukakan oleh Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr ; Hadits Munqati adalah setiap
hadits yang tidak bersambung sanadnya baik yang disandarkan kepada Nabi SAW
maupun disandarkan kepada yang lain. Jadi Hadits dalam golongan ini memiliki
masalah di sanadnya (Terputus) seorang atau beberapa Rawi di tingkatan (Tabaqat
/ generasi) manapun.
Lebih detail tentang Hadits Ahad.
Dilihat dari segi rawi, Hadits ahad terbagi dalam tiga bagian, yaitu hadits masyhur
(hadits mustafid), hadits aziz, dan hadits garib. Ada ulama yang membedakan
hadits mustafid dengan hadits masyhur jadi menurut mereka pembagian hadits
ahad itu ada empat.
Hadits Masyhur.
Masyhur menurut bahasa artinya sudah tersebar atau populer. Mustafid juga berarti
yang telah tersebar luas. Inilah sebab banyak ulama yang menyamakan hadits
masyhur dengan hadits mustafid. Secara istilah ulama hadits mendifinisikan hadits
masyhur atau hadits mustafid dengan “hadits yang diriwwayatkan oleh tiga rawi
atau lebih, dan belum mencapai derajat mutawatir.”
Contoh hadits masyhur :
“Rasulullah SAW bersabda ; “seorang muslim adalah orang yang muslim lain tidak
terganggu oleh lidah dan tangannya.””
Hadits tersebut sejak tingkatan pertama (tingkat sahabat nabi) sampai ketingkat
imam-imam yang membukukan hadits (Bukhari, Muslim dan Tirmizi) diriwayatkan
oleh tidak kurang dari tiga rawi dalam setiap tingkatan. Sedangkan ulama yang
membedakan hadits mustafid dari hadits masyhur mendifinisikan hadits mustafid
dengan “Hadits yang diriwayatkan oleh empat orang rawi atau lebih dan belum
mencapai derajat mutawatir.”
Hadits Aziz.
Menurut bahasa Hadits Aziz artinya hadits yang mulia atau hadits yang kuat atau
hadits yang jarang, karena hadits jenis ini memang jarang keberadaannya. Secara
istilah para ulama hadits mendifinisikan hadits aziz sebagai ; “Hadits yang
diriwayatkan oleh dua orang rawi kendati dua rawi itu pada satu tingkatan saja, dan
setelah itu diriwayatkan oleh banyak rawi”
Contoh hadits aziz ; “Rasulullah SAW bersabda, “Kita adalah orang-orang yang
paling akhir (di dunia) dan yang paling terdahulu di hari kiamat.”” Hadits ini pada
tingkat pertama diriwayatkan oleh dua orang sahabat Nabi, yaitu Hudzaifah dan Abu
hurairah. Walaupun pada tingkat selanjutnya hadits tersebut diriwayatkan oleh lebih
dari dua orang namun hadits tersebut tetap dipandang sebagai hadits aziz.
Hadits Garib.
Secara bahasa hadits gharib berarti hadits yang terpisah atau menyendiri dari yang
lain. Secara istilah para ulama memberikan difinisi sebagai berikut ; “Hadits Gharib
adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang rawi pada tingkatan maupun
sanad.” Jadi walaupun sebuah hadits memiliki rawi yang banyak di tingkatan yang
lain namun hanya memiliki satu orang rawi di tingkat pertama maka hadits tersebut
tetap tergolong hadits gharib.
Contoh hadits gharib ; “Nabi SAW bersabda ; Iman itu (bercabang-cabang menjadi
73 cabang). Malu itu salah satu cabang dari iman.” ” (HR. Buhkhari dan Muslim).
Klasifikasi hadits ahad : Sahih, Hasan dan Dla’if.
Sebelumnya kita sudah sempat membahas tentang hadits sahih secara ringkas.
secara bahasa Sahih berarti bersih dari cacat. Secara istilah ; Hadits Sahih adalah
hadits yang susunan lafadznya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat
Quran, hadits mutawatir, atau ijmak, serta para rawinya adil dan dabit. Nah pada
sesi berikut kita akan lebih detail membahas tentang hadits sahih ini.
Syarat hadits sahih.
Suatu hadits dapat dinilai sahih, apabila telah memenuhi lima syarat :
1. Rawinya bersifat adil.
2. Sempurna ingatannya.
3. Sanadnya tidak terputus.
4. Tidak ber ‘illat.
5. Tidak janggal.
Ad.1. Rawinya bersifat adil.
Keadilan seorang Rawi harus memenuhi empat syarat ; (1)selalu memelihara
perbuatan taat dan menjauhi perbuatan maksiat. (2)menjauhi dosa kecil yang dapat
menodai agama dan sopan santun. (3)tidak melakukan perkara mubah yang dapat
menggugurkan iman kepada kadar dan mengakibatkan penyesalan. (4)tidak
mengikuti pendapat salah satu mazhab yang bertentangan dengan dasar syara’.
Atau seperti yang diungkapkan oleh Ar’ Razi : “adil ialah tenaga jiwa yang
mendorong untuk selalu bertindak takwa, menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi
kebiasaan-kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil dan meninggalkan perbuatanperbuatan
mubah yang dapat menodai keperwiraan (muru’ah) seperti makan di
jalan umum, buang air kecil di tempat yang bukan disediakan untuknya dan
bergurau secara berlebihan.”
Adil dalam batasan seorang periwayat hadits adalah : Ia Islam, periwayatan dari
seorang kafir tidak dapat diterima, ia Mukallaf (dewasa/sudah baligh dan layak
mendapat beban tanggung jawab syariat) karena periwayatan dari seorang anak
yang belum dewasa tidak dapat diterima, begitu pula periwayatan dari orang gila.
Yang terakhir, ia bukan seorang yang fasik dan cacat pribadinya.
Ad.2. Sempurna ingatannya.
Dlabit adalah istilah yang diberikan oleh para ulama hadits, artinya adalah perawi
yang memiliki ingatan yang kuat. Dalam khazanah ilmu hadits seseorang memiliki
ingatan yang kuat, sejak dari menerima hadits sampai kepada menyampaikan
kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan dan dimana saja
dikehendaki, periwayat itu di juluki dlabithu’sh shadri. Kalau apa yang
disampaikannya itu berdasar pada buku catatan maka periwayat seperti ini disebut
dlabithu’l kitab.
Para muhaditsin mensyaratkan dalam mengambil hadits, hendaklah diambil dari
rawi yang bersifat adil lagi dlabit. Periwayat hadits yang memiliki kedua sifat itu
disebut Tsiqah. Orang fasik, ahli bidah, dan orang yang tidak dikenal kelakuannya,
walaupun ia seorang yang kuat ingatannya, tidak dapat diterima periwayatannya.
Begitu pula orang yang pelupa dan banyak keliru, kendatipun ia dikenal sebagai
orang yang jujur lagi adil, tidak dapat diterima periwayatannya.
Jadi seorang yang dlabit adalah ;
Tidak pelupa.
Hafal terhadap hadits yang didiktekan kepada muridnya, dan terjaga buku
catatannya apabila ia memberikan hadits itu dari sana.
Menguasai hadits yang diriwayatkannya, memahami maksudnya dan mengetahui
maknanya.
Ad.3. Sanadnya tidak terputus
Maksudnya ialah, sanad hadits tersebut selamat dari keguguran, yakni bahwa tiaptiap
rawi dapat saling bertemu (Hidup sezaman, memungkinkan untuk bertemu,
dsb) dan menerima langsung dari guru yang memberinya hadits tersebut.
Ad.4. Tidak ber ‘illat
Dalam istilah ilmu hadits ‘illat hadits artinya adalah suatu penyakit yang samar,
yang dapat menodai keshahihan suatu hadits. Misalnya bila terdeteksi terdapat
sisipan pada matan hadits tersebut.*
Ad.5. Tidak janggal
Kejanggalan suatu hadits terletak kepada adanya perlawanan antara suatu hadits
yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul (yang dapat diterima periwayatannya)
dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajih (kuat) daripadanya,
disebabkan dengan adanya kelebihan jumlah sanad atau kelebihan dalam ke-dlabitan
rawinnya atau adanya segi-segi tarjih yang lain.*
*Masalah ini akan dibahas di bab lainnya.
Kita akan sedikit review supaya kesinambungan materi terjaga. Pertama kita bahas
tentang difinisi hadits, lalu kita kenal dengan hadits nabawi dan kudsi, fungsi hadits
sebagai penjelas dan perinci Quran, kemudian sedikit kita singgung tentang
kodifikasi hadits, baru kita lanjutkan sedikit ke teknis ilmu hadits yaitu diawali
dengan unsur-unsur yang terdapat dalam hadits, kemudian pembagian hadits dari
segi banyaknya rawi, kualitas sanad dan matan, kedudukannya sebagai hujah, dan
terakhir yakni pembagian hadits berdasarkan perkembangan sanadnya.
Sebelumnya kita sudah cukup dengan hadits Mutawatir, pada sesi-sesi berikutnya
kita mulai lebih detail bicara tentang hadits Ahad, mulai dari difinisinya sampai ke
klasifikasinya yakni Sahih, Hasan dan Dla’if. Terakhir kita telah membahas tentang
hadits ahad sahih, sekarang kita masuk dalam pembahasa hadits ahad berkategori
hasan.
Kita mulai dari difinisi hadits Hasan, menurut At-Turmudzy ; “hadits yang pada
sanadnya tidak terdapat orang yang tertuduh dusta, tidak terdapat kejanggalan
pada matannya dan hadits itu diriwayatkan tidak dari satu jurusan (diriwayatkan
pula melalui sanad yang lain yang sederajat).”
Ada pula difinisi yang jadi pegangan umum oleh jumhur ulama hadits, yakni ;
“Hadits yang dinukilkan oleh seorang adil, tapi tak begitu kokoh ingatannya,
bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat ‘illat serta kejanggalan pada
matannya.”
Jadi perbedaan antara hadis shahih dan hadits hasan ini terletak pada syarat
kedlabitan rawi. pada hadits hasan kedlabitannya lebih rendah (tidak begitu kuat
ingatannya) jika dibandingkan hadits shahih.
Kedudukan hadits hasan
Tingkatan hadits hasan berada sedikit dibawah tingkatan hadits shahih, tetapi para
ulama berbeda pendapat tentang kedudukan hadits hasan sebagai sumber ajaran
Islam atau sebagai hujjah dalam bidang hukum apalagi dalam bidang Aqidah, ada
yang menolak hadits hasan sebagai hujjah ada yang menerimanya sebagai hujjah
baik untuk bidang hukum maupun bidang Aqidah, pendapat inilah yang paling
banyak dianut.
Minggu depan kita masuk dalam bahasan tentang Hadits dlaif.
Hadits Dlaif
Difnisi Hadits Dlaif adalah : “Hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari
syarat-syarat hadits shaih atau hadits hasan.”
Hadits dlaif banyak macamnya, masing-masing memiliki derajat yang berbeda satu
sama lain. Hadits dlaif yang memiliki kekurangan 1 syarat dari syarat-syarat hadits
shahih dan hasan lebih baik daripada Hadits dlaif yang memiliki kekurangan 2 syarat
dari syarat-syarat hadits shahih dan hasan. Begitu seterusnya.
Ada Muhaditsin (Ulama Ahli Hadits) yang membagi hadits Dlaif menjadi 42 bagian
ada pula yang membaginya menjadi 129 bagian.
Hadits dlaif diklasifikasikan berdasarkan :
1. Kecacatan rawinya.
1. Hadits maudlu’
2. Hadits matruk
3. Hadits munkar dan ma’ruf
4. Haddits muállal
5. Hadits mudraj
6. Hadits maqlub
7. Hadits multharrib
8. Hadits maharraf
9. Hadits mushahhaf
10.Hadits mubham, majhul dan mastur
11.Hadits syadz dan mahfudh
12.Hadits mukhtalith
2. Hadits dlaif diklasifikasikan berdasarkan ; Gugurnya Rawi.
1. Hadits muallaq
2. Hadits mursal
3. Hadits mudallas
4. Hadits munqathi
5. Hadits mu’dlal
3. Hadits dlaif diklasifikasikan berdasarkan ; Sifat matannya
1. Hadits mauquf
2. Hadits maqthu
Minggu depan kita akan merinci secukupnya masing-masing klasifikasi tersebut.
Insya Allah.
Hadits Maudlu
Ialah ; “Hadits yang dicipta dan dibuat oleh seseorang (pendusta) yang ciptaannya
itu di katakan sebagai kata-kata atau perilaku Rasulullah SAW, baik hal tersebut
disengaja maupun tidak”
Yang dikatakan sebagai rawi yang berdusta kepasa Rasulullah SAW ialah mereka
yang pernah berdusta dalam membuat hadits, walaupun hanya sekali seumur
hidupnya. Hadits yang mereka riwayatkan tidak dapat diterima, walaupun mereka
telah bertobat.
Para ulama hadits menentukan beberapa ciri-ciri untuk mengetahui ke maudlu an
sebuah hadits, diantarannya :
1. adanya pengakuan si pembuat hadits maudlu itu sendiri, pernah seorang
ulama menanyakan suatu hadits kepada perawinya dan perawi tersebut
mengakui bahwa ia memang menciptakan hadits tersebut untuk suatu
keperluan.
2. Adanya indikasi yang memperkuat, misalnya seorang rawi mengaku
menerima satu hadits dari seorang tokoh, padahal ia belum pernah bertemu
dengan tokoh tersebut, atau tokoh tersebut sudah meninggal sebelum perawi
itu lahir.
3. Adanya indikasi dari sisi tingkah laku sang perawi, misalnya diketahui bahwa
ada tingkah laku yang menyimpang dari diri sang perawi.
4. Adanya pertentang makna hadits dengan Alquran, atau dengan hadits
mutawatir, atau dengan ijma’atau dengan akal sehat.
Hadits Matruk
Ialah ; “Hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang
yang tertuduh dusta dalam perhaditsan.”
Yang disebut dengan rawi yang tertuduh dusta ialah seorang rawi yang terkenal
dalam pembicaraan sebagai pendusta, namun belum dapat dibuktikan bahwa ia
sudah pernahh berdusta dalam membuat hadits.
Hadits Munkar
Ialah ; “Hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang
yang banyak kesalahannya, banyak kelengahannya, atau jelas kefasikannya yang
bukan karena dusta.”
Istilah “banyak kesalahannya”, “banyak kelengahannya”, dan “jelas kefasikannya”
artinya yakni ; Lengah, biasanya terjadi dalam penerimaan hadits, sedangkan
banyak salah biasanya terjadi dalam hal ; menyampaikan hadits. Yang dimaksud
dengan fasik ialah kecurangan dalam amal bukan itikad (keyakinan / aqidahnya)
Hadits Muálal
Ialah ; “Hadits yang setelah diadakan penelitian dan penyelidikan, tampak adanya
salah sangka dari rawinya, dengan mewashalkan (menganggap bersambung suatu
sanad) hadits yang munqathi’ (terputus) atau memasukkan sebuah hadits pada
suatu hadits yang lain, atau yang semisal dengan itu.”
Mengetahui hadits mualal ini sangat sulit karena hadits ini tampaknya tidak memiliki
cacat tetapi setelah diteliti lebih mendalam terdapat penyakit, penyakit itu kadang
terletak pada sanad terkadang juga pada matan
Hadits Mudraj
Ialah ; “Hadits yang disadur dengan sesuatu yang bukan hadits atas perkiraan,
bahwa saduran itu termasuk hadits”
Misalnya tercampurnya matan (kata-kata dalam hadits) yang tercampur dengan
kata-kata si perawi, ini berarti ucapan rasul SAW menjadi bertambah redaksi yakni
tersisipi atau tertambah kata-kata si periwayat hadits tersebut.
Hadits Maqlub.
Yaitu hadits yang terjadi padanya mukhalafah (menyalahi hadits lain) dengan cara
mendahulukan dan mengakhirkan.
Maksudnya hadits yang didalamnya entah matan atau sanad terjadi kesalahan yang
sifatnya terbalik balik, misalnya hadits muslim dari Abu Hurairah berikut ;
"dan seseorang yang bersedekah dengan suatu sedekah yang disembunyikan,
hingga tangan kananya tak mengetahui apa yang telah dibelanjakan oleh tangan
kirinya."
Hadits ini memiliki kesalahan redaksi dalam matannya ada kata yang terbalik, yakni
pada kata "hingga tangan kananya tak mengetahui apa yang telah dibelanjakan oleh
tangan kirinya." yang benar ; "hingga tangan kirinya tak mengetahui apa yang telah
dibelanjakan oleh tangan kanannya." hal ini diketahui dari hadits hadits lain yang
semakna.
Hadits Mudltharrib
Yaitu hadits yang terjadi padanya mukhalafah (menyalahi hadits lain) tetapi tidak
dapat disimpulkan mana yang benar.
jadi hadits mudltharib ini adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi
dengan beberapa jalan yang berbeda-beda, yang tidak mungkin dapat dikumpulkan
dan ditarjihkan.
misalnya hadits berikut :
"Dari Anas r.a. mengabarkan bahwa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar r.a.
konon sama memulai bacaan shalat dengan bacaan Alhamdulillahirabbil alamin"
hadits dengan makna seperti ini banyak (dengan lafadz yang berbeda-beda). dan ini
bertentangan dengan hadis yang juga bersumber kepada Anas r.a. berikut ;
"Mereka sama mengeraskan bacaan Bismillahirrahmaanirrahiim"
dengan demikian hadits tersebut adalah hadits mudltharrib tidak dapat dijadikan
hujah oleh siapapun.
Hadits Muharraf
yaitu hadits yang mukhalafahnya (menyalahi hadits lain)terjadi disebabkan karena
perubahan syakal kata (tanda baca ; fatah, dlomah, kasroh, dsb), dengan masih
tetapnya bentuk tulisan (huruf hijaiyahnya). Misalnyakalimat basyir dibaca busyair
atau kalimat nashir dibaca nushair, kasus ini terkadang terjadi pada matan maupun
sanadnya.
Contoh yang terjadi pada matan ; hadits Jabir ra ; “Ubay (bin kaáb) telah dihujani
panah pada perang Ahzab mengenai lengannya, lantas Rasulullah mengobatinya
dengan besi hangat.”
Ghandar mentahrifkan hadits tersebut dengan Aby (artinya ; ayahku), padahal yang
benar adalah Ubay. Disini terjadi kekeliruan mestinya fathah dibaca dlommah.
Kekeliruan Ghandar Menjadi jelas karena apabila dibaca Aby artinya yang terkena
panah itu adalah ayah Jabir, padahal ayah Jabir telah meninggal pada perang Uhud
yakni perang yang terjadi sebelum perang Ahzab.
Hadits Mushahaf.
Ialah hadits yang mukhalafahnya karena perubahan titik kata, sedangkan bentuk
tulisannya tidak berubah.
contoh hadits mushahaf pada matan, ialah hadits Abu Ayyub Al-Anshary ; "Nabi
SAW bersabda: siapa yang berpuasa Ramadlan kemudian diikuti dengan puasa 6
hari pada bulan syawal, maka ia seperti puasa sepanjang masa."
perkataan "sittan" yang artinya enam, oleh Abu Bakar As-Shauly diubah dengan
syai-an, yang berarti sedikit. dengan demikian rusaklah makna karenanya.
Mushahaf dalam hadits tersebut terjadi pada matan, kalau terjadi pada sanad
disebut dengan mushahaf fis-sanad.
Hadits Mubham, majhul dan mastur
Hadits Mubham adalah hadits yang di dalam matan atau sanadnya terdapat seorang
(atau rawi) yang tidak jelas identitasnya atau tidak jelas apakah ia laki-laki atau
perempuan.
Kesamaran tersebut dapat terjadi karena beberapa sebab ; tidak disebutkan
namanya, atau disebutkan sebuah nama tetapi tidak dapat dipastikan juga jenis
kelaminnya dari nama tersebut, atau hanya disebut pertalian keluarga seperti ibnun
(anak laki-laki), ummun (ibu) dsb yang sebutan-sebutan itu belum menunjuk ke
pribadi seseorang. kesamaran ini dapat terjadi pada matan atau sanad.
Berikut adalah contoh hadits mubham pada matan, hadits dari Abdullah bin Amr bin
'Ash r.a. ; "Bahwa seorang laki-laki telah bertanya kepada Rasul SAW, katanya;
perbuatan Islam yang manakah yang paling baik? Jawab Nabi ; ialah kamu
merangsum makanan dan memberi salam kepada orang yang telah kamu kenal dan
yang belum kamu kenal."
Berikut adalah contoh hadits mubham pada sanad, hadits Abu Daud yang
diterimanya dari "Hajaj dari seorang laki-lak dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi
Muhammad SAW. sabda Rasulullah ; Orang mukmin itu adalah orang yang mulia
lagi dermawan." dalam hadits itu Hajaj tidak menerangkan nama rawi yang
memberikan hadits kepadanya. oleh karena itu sulit sekali untuk menyelidikinya.
Jika nama seorang rawi disebutkan dengan jelas, akan tetapi ternyata ia bukan
tergolong orang yang sudah dikenal kadilannya dan tidak ada rawi tsiqah yang
meriwayatkan hadits daripadanya,selain seorang saja, maka rawi yang demikian
eadaannya disebut dengan Majhulul'ain, dan hadits yang diriwayatkannya disebut
dengan Hadits Majhul.
Jika seorang rawi dikenal keadilannya dan kedlabithannya atas dasar periwayatan
orang-orang yang tsiqah, akan tetapi penilaian orang-orang tersebut belum
mencapai kebulatan suara, maka rawi tersebut dinamai Majhul'lhal, dan hadits yang
diriwayatkannya disebut dengan Hadits Mastur.
Hadits Mukhtalith
Yaitu hadits yang rawinya buruk hafalannya, disebabkan sudah lanjut usia, tertimpa
bahaya, terbakar atau hilang kitab-kitabnya.
Hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang seperti itu tidak dapat diterima sebagai
hujah. apabila ada hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang hafalannya
telah buruk karena berusia lanjut atau karena adanya sebab yang lain, maka hadits
yang diriwayatkannya tersebut harus ditolak. tetapi hadits-hadits yang
diriwayatkannya sebelum keadaan yang membuatnya jadi pelupa, tetap dapat
diterima.
Macam - macam hadits dlaif berdasarkan gugurnya rawi.
Hadits mu'allaq
"Ialah hadits-hadits yang gugur rawinya seorang atau lebih dari awal sanad."
maksudnya gugur yakni tidak disebutnya nama sang rawi dalam suatu periwayatan
hadits. misalnya Imam muslim meriwayatkan suatu hadits sanadnya dari A, dari B
dari C. kemudian Imam Buchori meriwayatkan hadits yang sama tapi hanya disebut
sanadnya dari A, dari B tidak disebutnya si C. nah hadits yang dikeluarkan oleh
Imam Buchory inilah yang disebut hadits Mu'allaq karena Imam menggugurkan
seorang rawi dalam sanad hadits tersebut.
ada hadits mu'allaq yang dibuang seluruh sanadnya oleh Imam hadits, yakni apabila
seorang imam hadits secara langsung mengatakan ; "Rasulullah SAW
bersabda,...dst". hadits mu'allaq pada prinsipnya digolongkan sebagai hadits dlaif
disebabkan karena sanad yang di gugurkan itu tidak dapat diketahui sifat-sifat dan
keadaannya secara meyakinkan, baik mengenai kedlabithannya maupun
keadilannya, kecuali bila yang digugurkan itu adalah seorang sahabat yang memang
sudah tidak diragukan lagi keadilannya.
Namun demikian hadits mu'allaq bisa dianggap sahih bila sanad yang digugurkan itu
disebutkan oleh hadits yang bersanad lain. seperti hadits mu'allaq yang terdapat
dalam shahih buchory sebanyak 1341 buah. dan dalam shahih muslim sebanyak 3
buah telah disebutkan sanad yang digugurkan oleh Imam Buchory tersebut. juga
harus dihukumi shahih apabila hadits-hadits yang digugurkan sanadnya oleh Imam
Bushory tersebut ada pada kitab-kitab hadits lain yang telah dihukumi sebagai
hadits sahih, walau harus diberi catatan sebagai hadits yang shahihnya tidak mutlaq
atau perlu diadakan penelitian lebih lanjut.
Hadits mursal
Yaitu hadits yang gugur dari akhir sanadnya, seseorang setelah tabi'iy.
Maksudnya apabila ada tabiin yang menegaskan tentang apa yang telah dikatakan
atau diperintahkan oleh Rasul SAW tanpa menerangkan dari sahabat mana berita
itu. diperolehnya. maka hadits tersebut di sebut sebagai hadits mursal.
Hadits mursal terbagi tiga ; mursal jally, mursal shahaby, dan mursal khafy.
• Mursal Jaly yaitu bila pengguguran yang telah dilakukan oleh rawi adalah
jelas sekali, dapat diketahui oleh umum, bahwa orang yang menggugurkan
itu tidak hidup sezaman dengan orang yang digugurkan yang mempunyai
berita.
• Mursal shahaby yaitu pemberitaan sahabat yang disandarkan kepada Rasul
SAW tetapi ia tidak mendengar atau menyaksikan sendiri apa yang ia
beritakan, lantaran di saat Rasulullah hidup ia masih kecil atau terakhir
masuknya ke dalam Islam.
• Mursal Khafy ialah hadits yang diriwayatkan oleh tabiiy dimana tabiin yang
meriwayatkan hidup sezaman dengan sahabat tetapi ia tidak pernah
mendengar sebuah haditspun daripadanya.
Soal berhujah dengan hadits Mursal ini para Ulama berbeda pendapat menjadi enam
golongan:
1. Hadits Mursal dapat dipakai hujjah secara mutlak.
2. Tidak dapat dipakai hujjah secara mutlak.
3. Dapat, asal yang meng-irsal-kan ulama abad ketiga.
4. Dapat, bila yang meng-irsal-kan itu orang adil.
5. Dapat, bila yang meng-irsal-kan itu Saíd bin Musayyab.
6. Dapat asal ada penguatnya.
7. Dapat, bila dalam bab tidak ada yang lain.
8. Dapat apabila ia lebih kuat daripada musnad.
9. Dapat untuk amalan-amalan yang sunnat.
10.Dapat, asal yang meng-irsal-kan itu sahabat.
Sebagian Ulama membatasi hadits mursal itu kepada yang hanya diriwayatkan oleh
tabiin besar saja, sedang yang diriwayatkan oleh tabiin kecil disebut hadits
munqati. Sebagian Ulama yang lainnya menyamakan keduanya.
Hadits Mudallas
Apabila hadits mursal khafy adalah pengguguran rawi karena tidak hidup sezaman,
maka dalam kasus hadits mudallas ini yang digugurkan dan yang menggugurkan
hidup sezaman atau pernah bertemu. motiv pengguguran rawi mungkin terdorong
oleh maksud tetentu misalnya menutupi aib gurunya atau menutupi kelemahan
haditsnya. jadi hadits mudallas yaitu "hadits yang diriwayatkan menurut cara yang
diperkirakan, bahwa hadits itu tidak bernoda." Rawi yang berbuat cara demikian,
disebut mudallis. hadits yang diriwayatkan oleh mudallis, disebut hadits mudallas.
dan perbuatannya disebut dengan tadlis.
Hadits Munqathi’
Adalah hadits yang gugur seorang perawi sebelum sahabat, di satu tempat atau gugur dua orang
pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut‐turut. Misalnya hadits berikut “Konon Rasulullah
SAW apabila masuk masjid memanjatkan doa ; “Dengan nama Allah, shalawat dan salam atas
Rasulullah. Ya Allah ampunilah dosa‐dosaku dan bukalahan rahmat untukku. ”” sanad hadits
tersebut yaitu ; dari Abu Bakar Abi Syaibah, dari Ismail bin Ibrahim, dari Al‐Laits, dari Abdullah bin
hHasan, dari Fathimah binti Husein, dari Fathimah Az‐Zahra (putri rasul SAW). Di sanad tersebut
terdapat pemutusan yakni rawi sebelum Fathimah Az‐Zahra, sebab Fathimah binti Husein tidak
pernah bertemu dengan Fathimah Az‐Zahra yang telah wafat sebulan setelah Rasul SAW wafat.
Hadits seperti ini tidak dapat digunakan sebagai Hujah.
Hadits Mudlal
Hadits Mudlal adalah “Hadits yang gugur rawi‐rawinya, dua orang atau lebih, berturut‐turut , baik
sahabat bersama tabiíy, tabiíy bersama tabiít‐tabiín, maupun dua orang sebelum shahaby dan
tabiíy.”
Hadits mudlal itu tak dapat dibuat hujah. Ia lebih buruk daripada hadits munqathi’.
Perbedaan keguguran rawi dalam hadits mursal khafy, mudallas dan munqathi’adalah sebagai
berikut :
1. Kalau hadits mursal khafy ; rawi yang meriwayatkan hadits dengan rawi yang
mempunyai hadits, hidup sejaman tetapi tidak pernah bertemu dan mendapat
hadits dari rawi yang mempunyai hadits.
2. Dalam hadits mudallas kedua rawi yang meriwayatkan hadits dan rawi yang
memberikan hadits hidup sezaman dan pernah bertemu, akan tetapi rawi
yang meriwayatkan hadits enggan menyebutkan nama rawi yang telah
memberikan hadiots padanya.
3. Dalam hadits munqathi keduanya tidak hidup sezaman dan tidak pernah
berjumpa satu sama lain.
Hadits Mauquf & Hadits Maqthu
Disamping kedlaifan suatu hadits itu terletak pada sanadnya (cacat rawinya, baik keadilannya,
kedlabitanya, atau pengguguran) dapat juga kedlaifan itu disebabkan karena matannya. Yakni
apakah matannya hanya terhenti sampai kepada apa yang dikatakan dan diperbuat sahabat saja
(Mauquf). atau hanya terhenti sampai ke tabiin saja (Maqthu). keduanya tidak sampai kembali
kepada Nabi SAW. dengan kata lain, dalam hadits Mauquf dan Maqthu ini semua perkataan dan
atau perbuatan yang dikabarkan itu tidak ada bukti dan petunjuk yang menegaskan bahwa
perkataan dan atau perbuatan itu adalah perkataan dan atau perbuatan Rasul SAW.
Hadits Maqthu tidak dapat digunakan sebagai hujah, sedangkan hadits Mauquf masih dapat
asalkan terdapat qarinah / indikasi yang menunjukanya marfu. (akan dijelaskan pada bahasan
tentang hadits marfu).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar